10. Naluri seorang ayah

1245 Words
“Kenapa coklatnya jadi dua?” Mila menatap dua coklat yang ada di tangan Talita. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, tapi mereknya pun berubah. “Yang dikasih Dokter Andev mana?” Dokter spesialis jantung itu jelas tidak akan memberikan makanan tanpa mengetahui komposisi yang ada di dalamnya, khususnya Talita. Gadis yang mengidap gagal jantung sejak masih bayi itu tidak boleh sembarangan mengkonsumsi makanan, yang mungkin akan berpotensi memperburuk jantungnya. Salah satunya coklat, makanan dengan kadar gula tinggi itu harus dihindari Talita dan yang diberikan Dokter Andev jelas coklat khusus dengan kadar gula rendah dan aman dikonsumsi Talita, tentunya dengan jumlah yang dibatasi. “Jatuh, seseorang tanpa sengaja menabraknya.” Jelas Ibu. “Dia menggantinya dengan coklat ini,” “Banyak ibu,” Talita tersenyum, memamerkan dua coklat miliknya. “Sangat banyak.” Terlihat kegembiraan di kedua sorot matanya. “Orang itu memberikan satu kardus coklat, tapi ibu ingat, Talita harus membatasi asupan gula setiap harinya. Jadi, kami hanya ambil dua saja.” Ibu tau, reaksi Mila saat mengetahui Talita mendapatkan banyak coklat, oleh karena itu ia hanya mengambil dua saja dan menolak pemberian satu dus coklat dari orang yang tidak dikenal itu. “Nggak apa-apa, jangan marah. Nanti Ibu atur jadwal makan coklatnya, nggak boleh dihabiskan dalam satu hari.” Mungkin karena ketakutan yang kerap membuat Mila lebih hati-hati dalam menjaga kesehatan Talita, tapi terkadang hal tersebut justru membuat gadis kecilnya merasa terkekang. Banyak hal yang tidak boleh dilakukan Talita, tidak hanya aktivitas yang dibatasi, makanan pun sama. Mila menatap sedih ke arah Talita, dimana ia nyaris saja protes dan kesal, padahal gadis kecilnya itu tidak melakukan kesalahan. Hanya menerima coklat dari seseorang. “Maafin Ibu ya,” Mila mengecup pipi Talita. Takut kembali merasakan kehilangan, Mila keras bersikap keras pada putrinya. “Talita bilang apa sama orang itu?” Mila berusaha mencairkan suasana. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada menggemaskan. “Anak baik,” Mila mengusap puncak kepala Talita. “Sekarang kita pulang, ayo!” Ajaknya. Sementara itu di salah satu kamar, di rumah sakit yang sama, Dimas dan Donna mengunjungi ayah Donna yang bernama Ilyas. Lelaki paruh baya itu mengalami gangguan pada salah satu orang tubuhnya, yakni jantung. Sudah lebih dari satu minggu, Ilyas di rawat. Tentunya sebagai seorang anak, Donna menginginkan yang terbaik dari mulai fasilitas kamar dan perawatan, untuk masalah biaya, Donna dan keluarga tidak mempermasalahkan. Berapapun akan mereka bayar, untuk kesembuhan sang Ayah. “Bagaimana kondisi Ayah?” Donna menghampiri lelaki yang tengah terbaring lemas dengan banyak alat menempel di tubuhnya, tapi Ilyas masih dalam keadaan sadar. “Baik,” jawabnya dengan suara lemah dan senyum. “Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Dimas ikut menghampiri, memegang tangan Ilyas sebentar dan tersenyum. “Semoga Ayah lekas sembuh.” “Benar, ayah harus sembuh. Aku ingin semua keluarga menghadiri acara pernikahanku nanti.” Seolah menjadi sebuah semangat untuk berjuang melawan sakitnya, Ilyas pun tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Ayah akan segera sembuh.” Di usianya yang sudah tua, dengan penyakit yang dideritanya saat ini tentu saja tidak mudah. Fasilitas terbaik, Dokter berbaik bahkan segala hal yang masuk dalam kategori terbaik pun tidak akan mampu melawan jika takdir sudah berkehendak. Segala usaha yang dilakukan aka sia-sia, saat kematian itu datang menyapa. “Aku mau satu,” Dona mengulurkan satu tangannya ke arah Dimas, dimana lelaki itu masih memegangi kotak coklat di pangkuannya. “Kenapa belinya banyak banget. Cukup satu atau dua saja.” Dona mengambil satu batang coklat dan membukanya. “Aku pikir anak itu akan senang mendapat banyak coklat, ternyata dia hanya mengambil dua saja.” Dimas tersenyum samar, saat kembali teringat akan sosok anak kecil yang sempat ditemuinya tadi. Sebuah kebetulan yang sedikit aneh, sebab Dimas merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya tapi tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Nggak biasanya kamu seperti itu.” selidik Donna, “Bahkan kamu nggak pernah mau gendong Kiandra, anaknya Albi, tapi tadi nyaris aja nggak mau lepasin anak itu.” Kedua mata Donna memicing, menatap penuh selidik ke arah Dimas. “Hanya perasaanmu saja.” Dimas tersenyum, menaruh kotak coklat itu di meja dan merangkul Donna. “Kenapa cemburu sama anak kecil sih?” Goda Dimas. “Beda aja. Nggak kayak biasanya kamu peduli sama anak kecil, tapi tadi.” Donna menjeda ucapannya. “Bahkan saat kamu menatapnya pun beda.” “Masa sih?!” “Iya.” Donna melepas rangkulan Dimas, memasang wajah kesal yang dibuat-buat. “Cemburu aja gitu liatnya.” “Aneh, cemburu sama anak kecil.” Dimas mengusap lembut wajah Donna, tapi seketika ia kembali teringat akan kelembutan dan halusnya kulit Mila. Jantungnya bergemuruh seketika. Buru-buru ia melepaskan tangannya di wajah Donna. “Jangan cemburu, mungkin hari ini suasana hatiku sedang baik, jadi mempengaruhi sikapku pada anak kecil itu.” Dimas membetulkan posisi duduknya, bahkan hanya mengingat betapa halusnya kulit Mila, sesuatu dibawah sana kembali mengeras. Sial! “Tapi, anak kecil itu kasihan sekali. Dengan usianya yang masih sangat muda, ia harus merasakan sakit yang luar biasa.” “Sakit? Kamu tahu darimana gadis kecil itu sakit?” “Lihat dari name tag yang dikenakannya. Dia salah satu pasien gagal jantung, sama seperti Ayah.” Kening Dimas mengerut, ia tidak menyadarinya. “Bayangkan gadis sekecil itu melawan rasa sakit yang luar biasa dan ia tidak bisa beraktivitas dengan normal seperti anak seusianya.” “Orang tuanya pasti sangat luar biasa menjaga dan merawatnya, mereka pasti orang tua pilihan.” Balas Dimas. “Benar.” Donna mengangguk. “Aku harap anak kecil itu mampu bertahan sampai dewasa nanti.” Mendengar penuturan Donna tentang sakit yang diderita anak kecil itu, Dimas merasa tersentuh. Anak kecil yang memiliki mata bulat dan jernih itu harus menanggung sakit di usianya yang masih sangat kecil, kenapa harus dia? Tiba-tiba saja Dimas ingin tahu tentang gadis kecil itu. Selama menjalin hubungan dengan Donna, ia tahu persis bagaimana perjuangan Ilyas melawan sakitnya. Sangat tidak mudah, bahkan beberapa kali lelaki paruh baya itu mengamuk, hanya karena merasa orang-orang tidak becus mengobati penyakitnya. Tapi berbanding terbalik dengan gadis kecil murah senyum tadi, ia tidak sedikitpun menunjukkan rasa sakit. Justru ia terlihat baik-baik saja ditengah rasa sakit yang mungkin akan merenggut segalanya yang ia miliki. “Aku mau keluar dulu, mau ngerokok.” “Masih belum berhenti?” Sindir Donna. “Masih dalam tahap berhenti, sayang. Nggak bisa berhenti langsung dong,” Donna menghela, menggerakkan tangannya, mengusir Dimas keluar. Dimas mencari area yang bisa digunakannya untuk merokok. Area yang cukup jauh, lokasinya ada di taman, di dekat parkiran. Disana Dimas bisa menikmati sebatang rokok tanpa harus merasa bersalah, sebab taman adalah satu-satunya tempat yang terdapat tulisan izin merokok. Dimas juga membeli sebotol kopi kemasan untuk menemaninya. Dari jarak yang cukup jauh, Dimas melihat sosok wanita yang begitu dikenalnya. Sosok wanita yang mengikat asal rambutnya dan mengenakan pakaian biasa saja itu terlihat berjalan menuju sebuah mobil yang ada di seberang jalan. Dengan senyum yang begitu manis, senyum yang tidak pernah ditunjukkan padanya, wanita itu melambaikan tangan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya. Dimas masih memperhatikan keduanya, sebelum senyum licik itu kembali terlihat di wajahnya. “Rupanya dia punya kekasih.” Dimas menyeringai. “Bahkan semalam dia baru saja melakukan itu denganku.” Dimas berjalan mendekat, tapi tidak sampai memberitahukan keberadaannya. “Ah,,, rupanya lelaki cupu itu yang menjadi kekasihnya.” Dimas mengenali sosok lelaki itu, ialah sosok yang sejak dulu menyukai Mila. “Kasihan sekali lelaki bodoh itu, masih saja mendapatkan sisa.” Memperhatikan mobil yang membawa Mila dan Tanto, tanpa sadar membuat Dimas mengepalkan kedua tangannya, meremas rokok di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD