11. Bos baru

1161 Words
Menatap ragu pada penampilannya hari ini. Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” Keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” Bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang. “Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” Ajak Tanto, menarik tangan Mila menuju sebuah restoran bintang lima yang ada di hotel tersebut. Nadia, wanita cantik yang memiliki senyum indah itu menyambut kedatangan Mila dan Tanto. Kebahagiaan terpancar jelas dari senyum dan sorot matanya. Benar yang diucapkan Tato, wanita itu sengaja memilih tempat istimewa bukan untuk pamer atau mempermalukan teman yang tidak bernasib sama dengannya, tapi justru untuk membuat temannya bisa merasakan kemewahan yang mungkin belum pernah mereka rasakan. “Lo kurus banget, Mila.” Nadia menghampiri Mila, menggeser kursinya agar lebih dekat. “Bagaimana keadaanmu selama ini? Baik?” Nadia penasaran, bahkan sebelum Mila menceritakannya, wanita itu pasti sudah tahu apa yang terjadi pada kehidupan Mila. “Gue baik, Nad. Kalau Lo masih lihat gue di dunia ini, artinya gue masih baik-baik aja.” Mila tersenyum, meyakinkan bahwa keadaannya baik-baik saja. “Anak Lo gimana? Sehat kan?” Nadia tahu bagaimana kondisi Talita, bahkan beberapa kali Nadia kerap memberikan bantuan pada Mila dalam bentuk uang. Mila sempat menolak, karena tidak ingin membebankan orang lain yang ada disekitarnya, tapi Nadia memaksa. Hanya saja, sampai detik ini, Nadia belum tau siapa ayah kandung biologis Talita. Mila tidak pernah menceritakannya, dan tetap merahasiakannya, sebab dulu, saat Mila mendekati Dimas, Nadia adalah salah satu orang yang sangat menentang hubungan mereka. Tapi karena cinta dan keinginannya terlalu tinggi, hingga akhirnya Mila mengabaikan segala bentuk larangan itu, dengan harapan Dimas akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Ternyata Mila salah, lelaki itu tidak pernah berubah. “Nad, Lo pasti punya banyak relasi bisnis, apalagi suami Lo kan salah satu top pebisnis ternama. Lo bisa cariin kerjaan untuk Mila?” “Lo butuh kerjaan? Kenapa nggak bilang, gue bisa minta suami untuk.” “Nggak!” Mila segera menyela. “Gue nggak mau kerja di Dirgantara group.” Bekerja di tempat itu hanya akan membuat dunianya semakin sempit. Mila tidak mau bertemu lelaki itu dalam kesempatan apapun, termasuk di tempat kerja. “Di perusahaan lain misalnya, nggak harus di Dirgantara group.” Lain halnya dengan Nadia, Tanto justru sangat mengenal dengan baik siapa ayah kandung Talita. Mila terpaksa menceritakannya, sebab saat itu hanya Tanto satu-satunya orang yang bisa membantunya. “Dimana ya, coba nanti aku tanya Arik. Siapa tahu dia punya informasi lowongan kerja. Memangnya selama ini Lo kerja apa?” Mila menyesap minuman dingin miliknya, “Serabutan, Nad. Kadang kerja kadang tidak. Kadang berpenghasilan, kadang tidak.” “Ya ampun. Kenapa baru cerita sekarang sih?! Gue bisa bantu Lo dari lama kalau tahu Lo kesulitan.” Nadia kesal, Karena selama ini ia merasa tidak benar-benar dekat dengan Mila, padahal Nadia selalu berusaha mencari tahu kabar wanita itu dan berharap bisa membantunya. Memiliki anak tanpa suami pasti sangat berat, oleh karena itu Nadia selalu memastikan temannya itu baik-baik saja. “Gue ngerasa Lo nggak anggap gue temen, Mil!” Protesnya. Mila hanya terkekeh pelan “Lo temen gue yang paling baik, Nad. Sumpah deh!” “Tapi Lo nggak mau cerita apapun!” “Ini cerita,” Mila masih bersikukuh membela diri. “Tanto yang bilang, bukan Lo!” Nadia tetap bersikukuh. “Sama aja, kami kan udah kaya besti.” Mila terkekeh, yang membuat Nadia menghela kesal. “Kalau butuh apapun, Lo bilang ke gue Mil. Jangan sungkan.” “Gue butuh suami kaya raya, ganteng dan mapan ada?” Nadia menatap tajam “Lo nggak pernah serius!” Kesalnya. “Hidup gue udah terlalu menakutkan, Nad. Kalau gue selalu serius dan nggak ada bercandanya, gue bisa masuk rumah sakit jiwa.” Mila mengusap punggung tangan Nadia. “Gue mau salad buah itu ya,,, mau bawa pulang. Talita suka banget,” ia tersenyum, membujuk Nadia. “Boleh. Nanti aku pesankan.” Perlahan suasana mencair, dari Nadia yang selalu kesal setiap kali Mila menolak bantuannya atau menyembunyikan kesulitan hidup yang dirasakannya, tapi hubungan persahabatan itu terlalu kuat hingga membuat mereka bisa dengan nyaman saling berbincang. Di tengah-tengah obrolan, tiba-tiba saja Mila mendapatkan pesan singkat dari Wiwi. Teman satu profesi nya itu memberi kabar, bahwa nanti malam ada pekerjaan. Dia hari Mila absen, ia sengaja meliburkan diri untuk menghindari Dimas yang mungkin masih ingin menuntut balas padanya. Cara berpikir lelaki itu memang sulit dimengerti, bagaimana mungkin ia menyimpan dendam yang begitu besar padahal yang paling dirugikan adalah Mila. Tapi lelaki itu seolah menempatkan dirinya sebagai korban. “Gue nggak bisa lama, ada keperluan mendadak.” Mila merapikan pakaian, mengambil tas yang disimpannya di bawah meja. “Gue belum pesan salad buahnya, tunggu dulu sebentar.” Nadia bergegas menuju ke arah pelayan untuk memesan salad buah, tapi di waktu yang bersamaan Nadia juga bertemu Donna. Karena selain bertemu kedua temannya, Nadia pun sudah memiliki janji bersama Donna dan Isyana. Mereka akan bertemu di salah satu kamar hotel untuk membicarakan perihal pakaian yang akan dikenakan nanti, di cara bahagia Donna dan Dimas. “Donna, kenalin ini Mila dan Tanto, sahabat aku.” Tidak lupa Nadia pun memperkenalkan kedua temannya pada Donna. “Mila,” Mila pun mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri “Donna.” Balas wanita itu dengan senyum ramah. “Senang bisa bertemu kalian berdua,” lanjutnya. Wanita cantik berpenampilan sexy itu sangat ramah. Yakin dia berasal dari salah satu keluarga konglomerat negri ini, tidak membuat Donna bersikap angkuh. “Aku pulang duluan ya, ada kerjaan.” Meski enggan meninggalkan Nadia dan masih ingin berlama-lama, tapi Mila tetap harus pulang, mempersiapkan diri untuk kerja nanti malam “Kerja apaan? Bukannya pengangguran?” “Ada deh!, rahasia!” Mila pamit pergi bersama Tanto, kini hanya tinggal Nadia dan Donna saja. “Teman kamu itu pengangguran?” Tanya Donna, sesaat setelah Mila dan Tanto pergi. “Iya, lagi cari kerjaan.” “Ohh,, dia bisa apa?” Nadia menoleh, “Dia salah satu karyawan terbaik Dirgantara, dulu.” “Benarkah? Kebetulan sekali aku sedang mencari seseorang yang bisa membantuku di kantor. Asisten pribadi.” “Benarkah?” Nadia antusias saat mendengarnya. “Iya. Asisten pribadi yang lama mengundurkan diri karena hamil, jadi selama tiga bulan ini aku tidak memiliki asisten.” “Aku akan menghubungi Mila segera, nanti kalian bisa berkomunikasi selanjutnya.” “Oke. Aku setuju.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD