Rich Women 3

1280 Words
Nara mengigit kuku jarinya dengan gelisah. Matanya memandang ke arah sosok yang sekarang berdiri menjulang di depannya. Nara sosok gadis tengil seketika hilang di landa rasa shock. Dia hanya bisa diam dengan pikiran yang terus berputar di sana.  "Jadi?"  "Apa?" "Ck!"  "Naka! K-kamu ... maksudnya kenapa kamu minta aku nikahin? Harusnya aku kan yang minta kamu nikahin?!"  "Karena lo emang harus tanggung jawab." "Tanggung jawab?" Nara menatap Naka bingung.  Nara yang tidak mendapatkan jawaban dari Naka berdecak. "Tanggung jawab apanya Naka? Emangnya aku hamilin kamu? Seharusnya aku dong yang kamu hamilin dan aku yang minta tanggung jawab. Kenapa malah kebalik, sih?! Kamu sebenarnya punya pikiran itu darimana? Kam—" "Lo mau apa nggak?"  "Naka! Suka kebiasaan deh. Nggak suka, sebel, bete, kamu tuh slalu aja potong ucapan aku." "Mau apa nggak?" "Nakaa! Bete, ihhhh." "Sekali lagi gua tanya mau apa ngg—" "Iya mau." Nara menatap mata Nama yang berbinar menatapnya. Senyum miring tersungging di bibirnya.  Namun Nara tidak sebodoh itu, dia ingin tahu alasan apa yang membuat Naka mengatakan hal mustahil itu padanya. "Tapi aku punya syarat buat kamu?" "Syarat? Ck!" "Mau apa nggak, nih?"  "Apa? Cepat bilang?"  "Kamu harus jujur, setia, tanggung jawab, dan yang pasti cinta sama aku." Naka melotot kan matanya mendengar kata-kata itu. Dia mendengus sebal, Nara bukan gadis bodoh dan pasti akan banyak pertanyaan yang sekarang bersarang di dalam otaknya.  Nara melihat tatapan malas Naka. Dia yakin ada sesuatu di balik semua ini. Dan dia akan meminta Adi untuk mencari tahu apa yang akan di lakukan pria itu di luaran sana. Tapi ke mungkinan jangan Adi yang bertugas mengingat Naka tahu jika dia sedang di intai oleh mata-matanya.  "Nggak masalah."  "H-hah? K-kamu serius?"  "Kenapa?"  "B-bukan ... maksudku, kamu nggak ada masalah atau syarat buat aku gitu?" "Basi." Nara berdiri lalu berkacak pinggang.  "Nyebelin banget sih kamu. Bisa nggak kamu jangan pasang muka dingin gitu? Aku nggak suka, bete, sebel."  "Gua ini yang punya muka." Nara menghentakkan kakinya. Dia pergi berlalu meninggalkan Naka begitu saja di dalam kamarnya.  Nara menutup pintu kamarnya dengan bantingan membuat suara dentuman keras terdengar. Beberapa bodyguard yang ada di sana hanya bisa terdiam melihat Nonanya yang mengomel sepanjang jalan. Terkadang melihat Nara yang mengomel seperti itu terlihat sangat lucu. Namun mereka tidak bisa mengatakan apapun karena Nara jika sudah dalam kondisi tidak senang slalu mengatakan 'Kamu mau aku cubit gatel?' dan mereka langsung menggelengkan kepalanya.  "Non mau makan sama apa?" Bi Ira mendekat saat melihat Nara menarik kursi Bar dengan kasar.  "Mau makan bayi."  "Kunaon lagi atuh si Non teh? Tiap hari bawaanya teh slalu aja pasang muka butek."  "Bibi aku sebel sama Naka. Kesel, nggak suka, bete." Bi Ira mengangguk paham. Sudah dari 7 tahun dia mendengar kata-kata itu yang tidak akan pernah berubah.  "Kunaon lagi sama Den Naka, Non?"  "Dia ngajak nikah aku kaya yang ngajak kambing kawin. Bibi tahukan kalau aku pengen di tembak di atas sungai, pengen di lamar di keindahan alam, pengen nikah di suasana hutan tapi ihh boro-boro. Naka tuh laki-laki nyebeliin yang brengseknya bikin aku jatuh cinta." Bi Ira terkejut mendengar celotehan Nara.  "M-maksudnya Non, Den Naka ngajak Non nikah?"  "Iya!" Bi Ira mengerjapkan matanya. Benarkah? Tapi bukankah laki-laki yang Nonanya sukai ini tidak pernah mengubrisnya. Lalu kenapa tiba-tiba mengajaknya menikah? "Maafin Bibi yah Non kalau salah ngomong. Bukannya Den Naka itu nggak cinta sama Non, yah?"  "Bibiiiiiii jangan bikin aku tambah bete ihhh."  "B-bukan begitu, Non." Nara menangis seperti anak kecil.  Bi Ira mengaruk kepalanya melihat Nonanya menangis untuk kesekian kalinya. Dia hanya diam tanpa mencoba untuk menenangkannya. Semakin di tenangkan, Nara akan semakin menangis. Air mata terus menerus keluar dan bibir terus berceloteh. Kebiasaan yang tidak akan pernah bisa di hindari.  Uhuk! "Cengeng banget sih lo." Nara tersedak air matanya. Dia terkejut saat sebuah tangan membekap mulutnya.  "Den tolong lepasin kasihan atuh si Nonnya." Naka memutar bola matanya. Dia melepaskan bekapan tangannya.  "K-kamu kenapa suka banget bekap mulut aku sih? A-aku ke sedak jadinya, sakit tahu."  "Suruh siapa lo nangis?"  "N-nggak ada yang nyuruh ihh."  "Ya udah diam, berisik." "Jahatnya." "Baru tahu lo?!" Nara memanyunkan bibirnya.  "Gua harus pergi buat beberapa waktu, jadi lo urus sendiri acara pernikahan kita." Naka beranjak berdiri dan berlalu pergi begitu saja.  Nara melongo mendengarnya. Dia dengan cekatan berdiri sampai kursi Bar terjatuh membuat beberapa Assiten di sana tersentak. Sudah biasa ucap mereka dalam hati.  Nara mengejar langkah Naka yang lebar. Dia merentangkan tangannya lalu mendongak untuk menatap mata pria itu. "Memangnya kita mau nikah kapan?" "1 bulan dari sekarang."  "A-apa? Tapi itu terlalu cepet Naka."  "Terserah."  "Nakaaaa! Masa aku urus sendirian, sih? Harusnya kamu juga ikut bantu." "Ini kan pernikahaan impian lo jadi lebih baik lo sendiri yang urus." "Nggak suka, bete, sebel." Naka tidak menggubris ucapan gadis itu. Dia harus cepat-cepat pergi dari sini.  Baru beberapa langkah sebuah lingkaran tangan di pinggangnya membuatnya berhenti. "Kamu juga harus ikut serta. Masa cuman aku aja, sih."  "Gua ka— awwwww."  "Sekali lagi ngomong." "Sialan! Terserah lo ma— awwww."  "Ayo kamu ngomong lagi?" "Oke, oke, oke gua bakal ikut ngurusin pernikahan kita bareng lo."  "Nah gitu dong." Naka mendengus saat tangan gadis itu sudah melepaskan belitannya. Rasanya dia ingin menonjok gadis itu karena dengan kurang ajarnya mengigit punggungnya dengan kuat.  Nara meringsek maju ke depan lalu memeluk Naka dari depan. Kepalanya mendongak membuat Naka menundukkan kepalanya.  "Jadi kapan kita bakal urus pernikahaan kita ke WO?"  "Terserah." "Kok terserah?" "Yah terserah."  "Kamu ... ihhhh." "Awwwwww, sialan." Naka mencoba mendorong bahu Nara dengan kasar namun gadis itu mendekapnya dengan erat.  "Oke, oke, oke senin depan kita urus pernikahaan kita." Setelah mengatakan itu Nara tersenyum dengan lebar bahkan tanpa dosanya dia cengegesan.  Naka dengan kesal menjitak kening gadis itu membuatnya berteriak. Sungguh dia sebal karena untuk ketiga kalinya gadis itu memakai jurus andalannya. Masih mending dua kali dia di gigit dari belakang tapi sekarang, Astaga! Payudaranya yang bahkan memiliki pentil kecil menjadi sasaraanya.  "Lepasin! Gua harus pergi."  "Mau kemana?" Naka tidak menjawab.  "Kamu mau kemana?"  "Gua harus pergi." Naka mendorong bahu Nara. "Jawab dulu mau kemana?" "Lo bawel banget yah jadi cewek." "Biarin. Gini-gini kan aku bakal jadi istri kamu nanti." Nama memutar bola matanya.  Jika Naka tidak membutuhkan bantuan gadis ini sungguh tidak sudi dia berurusan dengannya. Hanya saja ada sesuatu yang mesti dia urus dan sepertinya gadis ini yang mampu membantunya. Sekarang dia harus mencari banyak informasi sebelum kehidupannya berubah. Naka berjanji dia akan membuat ke adilan yang seadil adilnya. Tidak peduli siapapun dia di hidupnya akan tetap di seret pada jalurnya. Naka sekarang hanya ingin memastikan jika memang benar adanya maka perang akan di mulai dari sekarang.  Naka menatap mata hazel itu. Dia menundukkan kepalanya semakin kebawah lalu memangut bibir mungil itu untuk di rasakan kedua kalinya. Dia bisa merasakan tubuh gadis itu menegang tapi siapa yang peduli. Tangan Naka yang awalnya menggantung mendekap tubuh itu, memperdalam ciuman mereka. Mungkin sekarang seseorang di sana masih leha-leha menikmati hasilnya namun beberapa saat kemudian Boom semuanya musnah oleh ledakan dahsyat yang dia berikan.  Hidup di dunia tidak akan pernah slalu di atas. Seseorang yang merebut sesuatu yang bukan miliknya akan mendapatkan sebuah ganjaran. Entah dari Tuhan atau entah dari orang masalalu nya. Uang yang dia pinjam bukan hanya sekedar untuk dia hamburkan. Namun untuk sesuatu yang membuatnya muak ingin segera melenyapkan itu semua. Hasil tidak akan pernah salah dan salah tidak akan pernah berhasil. Nama melepaskan tautan bibirnya, matanya menatap tajam mata hazel itu.  "Istirahatlah." Setelah mengatakan itu Naka mencium kening Nara lalu melepaskan dekapannya. Tanpa menoleh lagi dia berjalan pergi dengan langkah tergesa-gesa.  Nara mengerjapkan matanya. Nafasnya masih terengah-engah, namun kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. Nara menepuk pipinya dengan kasar dan dia memekik kesakitan.  "Ya Tuhan! Apa aku lagi mimpi? Ini kenyataankan, kyaaaaaaaaaaaaa!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD