Rich Women 2

1295 Words
"Lo bisa pelan-pelan kan ngobatinnya? Kalau nggak suka ya udah biar gua sendiri." "Ih baperan." Naka mendelik pada gadis di depannya. Dia menatap gadis itu dengan pandangan menilai.  Memang tidak ada yang salah dengan Nara, dia cantik, menarik, kaya dan dia gadis yang sempurna untuk di miliki laki-laki manapun. Namun anehnya di saat semua laki-laki kaya mendekat padanya, Nara malah mendekat padanya. Entah apa yang menjadi tujuan gadis itu, yang pasti selama ini Naka tidak terlalu banyak ambil pusing. "Fiuhh." Naka melototkan matanya saat sebuah angin segar berbau stoberi menguar ke hidungnya.  "Ck!"  "Kamu lihatin aku terus, udah mulai jatuh cinta yah?"  "Jangan harap."  "Jahat banget sih. Tapi, nggak apa-apa nanti juga kamu bakal cinta kebangetan sama aku." Naka tidak menggubris. Dia memejamkan matanya sambil menyadarkan tubuhnya di sandaran sofa.  Lelah dengan kehidupan yang di jalaninnya namun dia tidak bisa mengeluh. Lelah dengan keadaanya yang seperti ini namun dia harus berjuang. Lelah dengan apa yang Tuhan takdir kan tapi mungkin inilah takdirnya. Bayanaka Jayanegar, yah itu namanya. Hidup Naka tidak seindah kebanyakan anak seusianya yang bermain-main dengan kehidupan mereka. Dia seorang anak yatim piatu yang sedang berjuang dalam hidupnya. Di tinggalkan sejak kecil membuat Naka mengerti arti hidup yang sebenarnya. Orang tuanya sama sekali tidak meninggalkan sepeser pun uang padanya.  Naka menghela nafas. Sekarang dia memiliki hutang dimana-dimana. Harus kemana dia mencari uang untuk menutupinya. Hutangnya bukanlah puluhan juta lagi namun ratusan juga bahkan mungkin bisa miliar. Bagaimana pun Naka hanya manusia biasa yang membutuhkan uang. Sepintar nya dia mengatur uang tetep saja jika ada kepetingan mendesak mau tidak mau harus mengeluarkannya. Menggantungkan hidupnya jadi pelayan kafe memangnya berapa gajinya? Hal itu tidak akan menutupi hutangnya. Sebuah usapan lembut di pipinya membuat Naka membuka mata. Matanya berpandangan dengan bola mata hazel milik Nara.  "Kamu nggak perlu khawatir semua hutang kamu sudah Adi lunasi. Aku heran, kenapa kamu bisa minjem uang sebesar itu, untuk apa?"  "Thanks." Nara mendengus. Dia benci dengan sifat Naka yang slalu dingin padanya.  "Kamu menyebalkan. Aku nggak suka. Bete. Terserahlah." Nara bangkit, berlalu pergi meninggalkan Naka seorang diri.  Naka menatap punggung mungil itu yang menjauh. Kakinya di hentak-hentakkan sampai ruangan yang hening ini terdengar oleh langkah kakinya. Naka menggelengkan kepala, matanya berpindah ke arah lain lalu tertegun saat melihat dimana dia sekarang. Naka mengerjapkan matanya tidak percaya. Apakah ini rumah Nara? Astaga! Jadi benar jika gadis ini anak konglomerat. Pantas saja dia mengatakan sudah melunasi hutangnya yang entah berapa. Mengingat uang yang di keluarkan Nara tidak sesuai dengan kehidupannya. Naka tercenung, sampai beberapa menit kemudian senyumnya tersungging di bibirnya. Tangannya terkepal, matanya menggelap, hatinya bergejolak kesenangan.   Nara menjatuhkan tubuhnya di ranjang miliknya. Tidak lama bahunya terguncang, untuk kesekian kalinya dia menangisi seseorang yang sama sekali tidak memiliki perasaan padanya. Nara melemparkan guling, bantal, selimut, boneka dan seketika semuanya menjadi berantakan.  "Tuhan, kenapa aku harus jatuh cinta sama cowok dingin kaya Naka coba. Kesel! Sebel! Nggak suka! Bete!"  "Gua nggak minta lo buat jatuh cinta sama cowok dingin kaya gua." Nara terperanjat, dia langsung bangkit dari rebahannya.  "Kamu ngapain di sini? Ini kan kamar perempuan, sana keluar."  "Ada yang perlu gua omongin." "Ya udah di luar aja, kenapa mesti masuk ke kamar." Nara beringsut ke sudut ranjangnya saat melihat tatapan Naka yang menggelap. Dia meneguk ludah, baru pertama kali dia melihat tatapan pria itu yang seperti ini.  "Apa lo serius cinta sama gua?" Nara mengerjapkan matanya. "A-apa?"  "Gua tanya lo serius cinta sama gua?"  "H-hah?" "Ck! Sekali lagi gua tanya, apa lo serius cinta sama gua?" Nara mengigit bibir bawahanya.  Kok gua jadi takut yah Naka bilang gitu. Seharusnya gua seneng dong kalau di nanya begitu. Haduh, gua juga nggak paham kenapa gua bisa cinta sama dia coba. Ini gimana kejadiannya Naka bisa nanyain hal gitu. 7 tahun dong bayangin cinta gua bertepuk sebelah tangan tapi sekarang dia ngomong gitu.  "K-kamu nggak lagi kerasukkan setan atau kena benturan apa gitu?"  "Lo pikir gua lagi bercanda." Untuk kedua kalinya Nara mengerjapkan matanya.  "K-kamunya jangan melotot gitu. Aku nggak suka!"  "Banyak omong. Cepetan jawab pertanyaan gua, lo serius cinta sama gua?"  "Hmm ... kamu kan udah tahu dari awal aku suka sama kamu. Da—" "Oke gua pastiin kalau lo emang beneran cinta sama gua." "Aku kan belum selesai Naka." Nara menjerit tidak terima ucapannya terpotong.  Naka melangkah mendekat. "Jangan deket-deket ih. Ini kamar nggak baik buat anak cewek sama cowok berduaan." Nara bisa melihat senyum miring yang di tampilkan Naka padanya. Dia meremas seprai yang ada di dekatnya. "Naka! Aku peringatin jangan deket-deket! Kalau nggak aku bakalan teriak."  "Teriak aja."  "Nakaaaaa." Nara merengek. Aslinya dia memang sering mengejar Naka tapi sungguh jika di dekati seperti ini hatinya takut luar biasa.  "Bukannya lo mau gua jadi milik elo, kan?"  "Tapi jangan kaya gini. Aku nggak suka!" Naka tidak menggubris ucapan Nara. Dia terus mendekat, matanya menatap tajam ke arah Nara yang wajahnya sudah berubah pias.  "Naka aku mohon." Nara melirik kesana kemari untuk bisa keluar dari sini. Dia bangkit berdiri dari duduknya dengan secepatnya melangkah menjauh namun baru dua langkah di atas ranjang kakinya di tarik dan Nara menjerit saat tubuhnya terjatuh sempurna.  Mata Nara membulat. "Naka! Apa yang kamu lakuin? Ya tuhan, Naka. Kalau kamu mau apa-apain aku kita harus nikah dulu. Aduhhh plis aku belum siap! Aku belum sanggup pecah perawan, aku masih mau pacaran kaya orang lain nggak mau pacaran dewasa kaya gini. Ak—" "Lo ternyata selain cerewet pikirannya pun mesum." Nara mencoba melepaskan bekapan tangan Naka yang ada di atas tubuhnya. Dia mengeliat untuk keluar dari kukungan pria itu.  "Shit! Apa yang lo lakuin bodoh." Mata Naka semakin menggelap membuat tubuhnya mengigil.  "Lo mau gua jadi milik lo, kan?"  "Hmpp."  "Kalau lo mau gua jadi milik lo, gua punya syarat yang mesti lo turutin." "Hmpp."  "Lo ngomong apa?"  "Hmpp." Tangan Nara merontak lalu melepaskan bekapan di mulutnya.  "Kamu mau bunuh aku, hah? Kamu tuh yah kalau nggak boleh aku jatuh cinta, kenapa sejak awal harus bantu aku? Kenapa kamu nggak abaikan aja aku dulu? Kenapa kamu mesti jadi sosok pahlawan yang menyadarkan aku dari jaman putih biru? Kenapa kamu harus ada di hidup aku kalau ka—mptt." Mata Nara membulat. Jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya di iringin dengan hatinya yang meletup bahagia.  Nara menatap mata hitam itu yang menggelap. Tatapan mereka terkunci satu sama lain. Tangan Nara terkulai lemas, dia tidak melakukan apapun selain tubuhnya terasa lunglai. Sebuah sapuan di bibirnya seketika membuat tubuhnya panas. Bahkan rasanya pipi Nara sudah merah semerah cabai. Nara menutup matanya saat bibirnya di permainkan oleh Naka. Astaga! Ini adalah ciuman pertamanya. Apakah ini yang di rasakan oleh Hana saat dia berciuman dengan kekasihnya? Oh ya ampun, kenapa ini sungguh nikmat sekali. Kenapa dia malah mengabaikan kesenangan seperti ini? Jika senikmat ini Nara akan berlaku kurang ajar pada Naka. Oh may good! Rasanya kupu-kupu yang ada di dalam perutnya berterbangan mengelitik organ tubuhnya.  "Berhenti jugakan lo." Nara menatap Naka dengan pandangan menyipit. Namun seketika dia berteriak.  "Kyaaaaaaaa, Naka. Oh may good! Kamu menyebalkan, aku sebel, aku nggak suka, aku bete, yakkkkkkk kenapa kamu cium aku? Kamu tahu kalau itu ciuman pertama aku? Kamu ... ihhhhhh nggak sukaaaaaaaa." Nara merengek dengan wajah menggemaskan. Naka mengerjapkan matanya melihat gadis itu yang menggeliat di bawah tindihan tubuhnya.  Rambutnya yang panjang menutupi wajahnya, karena dia menggelengkan kepalanya heboh sambil berceloteh. Naka melihat bibir gadis itu yang terus berbicara tiada henti. Apa yang di lakukannya barusan? Naka menutup matanya. Dia dengan cepat membekap kembali mulut gadis itu supaya tidak banyak berbicara.  "Sekarang lo pilih nikahi gua atau gua rusak lo tanpa ikatan?!" Nara melotot kan matanya untuk kesekian kalinya. Dia yang akan kembali berteriak tidak bisa karena bekapan di mulutnya. Dia berontak minta di lepaskan dan Naka melepaskannya. "M-maksud kamu apa?"  "Lo cinta sama gua, kan?" Kepala Nara mengangguk mantap. "Kalau gitu nikahin gua." "H-hah?!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD