Rich Women 1

1517 Words
"Sebel, sebel, sebel, sebel, sebelllllll. Apa coba kurangnya gua? Gua cantik? Iya. Gua kaya? Iya. Gua pinter? Emm ... bisa di katakan cuman setengah. Gua jago masak? Iya. Terus apa coba kurangnya dari gua?" Nara menghentakkan kakinya sebal, bibirnya mengerucut tidak terima. "Udahlah, Ra. Lagian ngapain juga lo masih ngejar Naka, dia kan udah bilang kalau lo bukan tipenya." Ujar Hana enteng. "Nggak bisa gitu, Hana. Masa gua kalah sama si cupu Aleta, sih. Gua yang cinta sama dia, kenapa si Aleta yang jadi pacarnya dia."  "Gua koreksi yah, Ra. Aleta itu cuman sahabatnya Naka, jadi buat apa lo cemburu sama dia." Hana menjelaskan dengan nada sabar. "Nggak mau. Naka harus jadi pacar gua pokonya, berapapun yang dia pengen bakal gua kasih asalkan dia jadi cowok gua." Kekeuh Nara. Hana menghela nafas, memberi tahu Nara memang tidak akan pernah di dengar oleh gadis itu."Ra ini bukan masalah uang. Ini nih yang buat Naka nggak suka, karena lo slalu aja mengagungkan uang yang lo punya."  "Habisnya gua kesel sama Naka. Giliran si Leoni yang deketin, dia biasa aja tapi giliran gua, lo bisa lihat kan?" Hana menganggukkan kepalanya mencoba mengerti maksud dari perkataan Nara. Nara mendudukkan dirinya dengan kasar, wajahnya cemberut, keningnya mengerut tanda dia sedang berpikir. Terkadang di waktu seperti ini Nara terlihat menggemaskan namun nyatanya jangan berharap dia akan bertingkah seperti kucing yang manis. Nara itu kasar, dia gadis yang memiliki obsesi yang kuat, dia gadis yang slalu menginginkan sesuatu dengan catatan harus bisa di milikinya tidak peduli jika sesuatu itu sulit di dapat. Terlahir dari keluarga kaya dan penerus satu-satunya membuat Nara menjadi gadis egois. Menjadikan uang untuk membeli apa yang dia inginkan, dia paling tidak suka adanya penolakan.  "Apa gua mesti ngasih obat perangsang buat Naka?" Ujar Nara, Hana membulatkan matanya.  "Lo gila?"  "Lo denger ucapan gua? Padahal gua cuman bisik-bisik." Hana memukul bahu Nara, "Bisik-bisik kepala lo, lo ngomong udah kaya Toa masjid Kinara."  "Nggak peduli lah yang penting gua harus bisa dapetin dia."  "Ra! Dengan cara kaya gitu sama aja lo mencari keuntungan. Jangan berpikir pendek karena sesuatu menolak lo tapi usahakan supaya lo bisa menjadi yang terbaik."  "7 tahun, Han. Bayangin dong dari masa gua pake putih biru sampe gua sekarang udah mau nginjek usia 22 tahun, kapan sih Naka lirik gua? Kapan sih Naka natap gua? Gua nggak tahu salahnya dimana. Apa gua salah ingin memperjuangkan cinta gua? Coba letak salah gua dimana, Han." Nara menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya terguncang membuat Hana meringis melihatnya.  Hana memeluk bahu Nara mencoba menenangkan gadis cantik itu. "Udah, Ra. Mungkin emang udah saatnya lo lupain Naka, lagian masih banyak cowok yang ngantri buat jadi pacar lo."  "T-tapi gua nggak bisa t-terima mereka. Gua c-cintanya sama Naka."  Hana menarik nafas, Nara jika ke inginan nya tidak terpenuhi akan terus bertingkah menyebalkan. Hal ini yang membuat Hana terkadang geram pada sahabatnya. "Oke, kalau lo masih kekeh dengan keinginan lo ini, sekarang lo ikut gua."  "Kemana?"  "Ayo. Mau nggak mau lo harus melakukannya karena ini cuman satu-satunya cara supaya Naka lirik lo." Nara menghapus air matanya, dia ikut bangkit berdiri mengikuti langkah Hana.  Entah akan di bawa kemana dia karena Hana terlihat berjalan ke arah yang berlawanan. Nara sudah berjanji di dalam hatinya, jika apapun rintangannya, hatinya tidak akan berpaling pada pria lain. Hanya ada Bayanaka Jayanegara yang akan terpatri di hatinya. Nara mengingat awal pertama dia bisa jatuh hati pada pria itu. Jangan salahkan dia karena semenjak orang tuanya meninggal tidak ada satupun orang yang berbaik hati padanya selain Hana.  Banyak orang yang ingin berteman dengannya namun mereka hanya memanfaatkan kekayaan yang orang tuanya miliki. Nara tidak pernah ambil pusing jika mereka menginginkan uangnya. Nara tidak pernah menggubris jika mereka menjelekkan dia di belakang. Karena yang Nara yakini akan ada sosok yang menariknya dari kubangan mengerikan itu dan ternyata Naka lah yang menyadarkannya. Naka mengatakan jika dia tolol, bego, bodoh dan sebagian kata kasar keluar dari mulut pria itu. Namun entah kenapa semenjak Naka menariknya keluar dari teman-teman lamanya dia malah menempel pada pria itu.  Naka, pria dingin yang hidupnya tidak bisa di sentuh dengan sembarang orang. Dia menjaga jarak dari orang-orang sampai rasanya Nara sebal dengan tingkah pria itu. Salahkah Nara jika ingin berkenalan dekat dengan pria itu? Salahkah Nara jika dia ingin berteman? Tapi respon pria itu begitu mengejutkan, bahkan Nara pernah di bentak beberapa kali olehnya. Namun namanya juga Cempaka Kinara, dia gadis tangguh dengan ke inginkan nya sendiri tanpa peduli jika hatinya remuk.  "Apa ini?" Nara berteriak saat kakinya menginjak sesuatu yang membuat heelsnya seketika kotor.  "Kyaaaaa apa yang lo lakuin, Hana?" Nara menarik lengannya meminta di lepaskan namun Hana mencengkeramnya dengan erat.  "Bukannya lo pengen deket sama Naka?" Tanya Hana. "Tapi nggak masuk ke lingkungan kotor begini. Apa lo nggak tahu? Gua paling jijik sama tempat kumuh kaya gini. Omg, Tuhan! Ini tuh sarang bakteri. Kuku guaaaaaaaaaa." Hana tidak peduli akan jeritan kencang Nara, dia terus menyeret gadis itu untuk berjalan.  Nara terus mengomel tiada henti saat kakinya benar-benar kotor, dia hampir menangis saat melihat heels kesayangannya sudah tidak berbentuk lagi. Nara meringis jijik melihat tempat yang menurutnya ini sarang sampah. Banyaknya sampah bertumpuk membuat lalat berterbangan, belum lagi genangan air akibat hujan membuat suasana semakin pengap.  "Ya tuhan, Hana. Gua nggak suka! Gua sebel! Gua bete! Gua nggak mau di sini." Rengekan Nara membuat Hana memutar bola matanya, sebal. Namun dia tidak mengatakan apapun pada gadis itu dengan cara menyeretnya.  "Hana gu-" Nara tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya membulat saat melihat siapa yang ada di depan sana. Matanya mengerjap dan wajah Nara seketika memanas. Rengekan itu hilang dalam sekejap mata. Nara melepaskan genggaman tangan Hana. Dia berjalan dengan tergesa-gesa, tangannya yang menenteng tas mahalnya seketika melayang dengan kasar. "Bajingan. Lepasin pacar gua brengsek."  Nara memukuli beberapa pria yang sedang berkerumun. Dia menendang kaki pria yang ada di depannya dengan heelsnya yang runcing. "Lepasin dia. Kenapa lo semua pukuli dia, ih lepasin."  Nara kesal karena mereka hanya meringis, dia membuka heelsnya lalu memukul mereka dengan kasar, sampai salah satu di antar mereka berteriak akibat hantaman heelsnya sampai kepalanya berdarah. "Oh May good!"  "Sialan! Siapa sih lo, hah? Jangan macam-macam sama gua yah."  "Apa? Lo duluan yang pukuli pacar gua."  "Apa lo bilang? Pacar? Heh, sadar. Masa lo mau pacaran sama cowok miskin kaya si Naka?"  "Mau dia miskin atau apapun itu bukan urusan lo. Sekarang lepasin tangan kalian dari dia, kalau nggak gua tanjebin nih heels ke mata elo semua satu persatu." Semua warga yang ada di kampung itu langsung berkumpul melihat aksi seorang gadis yang berani menantang preman di sini.  "Lo tahu lagi berurusan sama siapa?"  "Nggak peduli lo siapa."  "Heh, lo tahu kalau pacar lo ini punya hutang sama kita?"  "Berapa hutang yang dia punya sama lo?"  "Emangnya lo mampu bayar?" "Bahkan harga diri lo pun gua bisa bayar!" Orang-orang di sana berbisik-bisik mendengar ucapan Nara. Hana mendekat dia berbisik di telinga Nara membuat mata gadis itu membulat. Matanya menajam lalu bergerak ke arah pria yang masih terbatuk-batuk dengan wajah penuh lembab.  Bug! "Argggggg." Erangan kencang terdengar kuat membuat siapapun yang mendengar merasakan prihatin.  "Kamu! Buat apa uang sebanyak itu? Aku kan udah bilang kalau kamu butuh sesuatu tinggal minta. Kenapa kamu malah minjam sama orang-orang jelek kaya mereka sih?" Nara menatap tajam gadis yang dengan kurang ajar memukul dadanya dengan kuat.  "Lo nggak usah ikut campur urusan gua." Jawab Naka ketus. "Aku nggak akan ikut campur kalau kamu baik-baik aja." Naka memalingkan wajahnya lalu meludah saat di rasakan amis dalam mulutnya.  "Ayo bangun." Nara menyodorkan tangannya. "Gua bisa sendiri." Tolak Naka. "Bandel banget sih."  "Argggggg." Nara tidak peduli, dia langsung menarik tangan Nama dengan kasar membuat pria itu berteriak kembali.  "Jangan so jagoan makanya." Nara menatap mata hitam itu yang menatapnya dengan tajam, dia tersenyum, berjinjit untuk mencium sudut bibir pria itu.  "Lo ...."  "Nona apakah anda baik-baik saja?" Nara menoleh. Wajahnya yang tersenyum langsung datar seketika.  "Aku nggak mau yah kejadian kaya gini keulang lagi. Aku udah pernah ngomong sama kalian bereskan mereka yang ganggu Naka." "Maaf, Nona. Tapi Tuan Naka slalu memaksa kami untuk tidak ikut campur dalam urusannya." "Aku nggak peduli. Pokonya aku mau kalian bereskan mereka, aku akan bayar semua hutang yang Naka miliki."  "Baik No-" Dengan kasar Naka menarik sikut Nara untuk berhadapan, "Lo apa-apaan sih. Lo nggak perlu bayarin hutang gua, gua mampu bayar tanpa bantuan lo sama sekali."  "Dengan cara apa? Mau jual ginjal kamu?" "Kalau emang itu di perlukan, kenapa nggak?"  Kesal, Nara mencubit lengan Naka dengan kuat. "Awwwww."  "Baru di cubit aja langsung teriak." "Tapi lo nyubit di bekas pukulan tadi." Bentak Naka. "Nggak peduli." Naka mendengus, dia kesal pada gadis mungil ini yang dengan seenaknya slalu saja mengatur kehidupannya.  Naka sudah lelah untuk menjauhi gadis ini yang nyatanya dia slalu saja mendekat. Harus bagaimana lagi Naka katakan, Nara itu gadis bebal yang pertama kali dia temui. Hanya karena dia menolong gadis itu, dia harus di intai selama 7 tahun berturut-turut. Semua kehidupannya yang tenang dulu seketika hancur saat datang gadis itu pada kehidupannya. Naka heran apa yang gadis itu inginkan darinya, karena selama ini dia biasa saja tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat gadis itu bangga. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD