"Bi Ira."
"Apa Non?"
"Menurut Bibi kalau aku nikah sama Naka cocok nggak?" Bi Ira menatap majikan kecilnya itu.
"Cocok aja kata Bibi mah."
Nara mengaduk-aduk nasi gorengnya. Naka itu bagaimana yah. Dia terlalu tertutup hidupnya. Nara kan ingin menjadi sandaran untuk Naka. Seperti apapun yang Naka lakukan di luaran sana Nara tahu. Nara hanya ingin hubungan mereka itu saling menghargai. Mereka akan menikah dan tentu saja jangan ada rahasia. Belum lagi pembahasan tentang anak membuat Nara pusing.
Bi Ira yang melihat Majikan kecilnya itu melamun tersenyum. "Kenapa atuh Non? Kemarin kegirangan mau nikah sama Den Naka sekarang kok wajahnya kaya nggak yakin gitu."
Nara memanyunkan bibirnya, "Kalau nikah itu berarti nggak boleh ada rahasia di antara pasangan kan yah Bi?"
"Iya yah atuh Non. Gimana pun juga kan nanti kalian hidup satu atap."
"Tapi Naka kok ngeseliin yah Bi."
"Ngeselin gimana Non?"
"Naka itu anaknya suka ilang-ilang nggak jelas dan itu udah bukan lagi hal umum buat orang terdekat dia. Aku slalu nanya dia kemana tapi jawaban dia nggak jelas. Yah aku tahu sih mungkin ini privasi tapi kan seenggaknya kasih kabar Bibi."
Bi Ira sudah tahu bagaimana kelakuan Nara. Dari kecil anak ini hidup bersama dengannya. Dan lagi semenjak Orang Tuanya meninggal Nara hanya punya Bi Ira yang akan menjadi tempat berkeluh kesah nya. Dan Bi Ira juga tahu bagaimana baik buruk Nona kecilnya ini. Hanya orang-orang terdekatnya lah yang tahu bagaimana aslinya Nara. Terlihat kekanak-kanakan namun dia memiliki pikiran yang dewasa. Keadaan yang membuat Nara harus memiliki dua karakter seperti ini.
"Non udah coba ngomong sama Den Naka?"
"Belum."
"Coba atuh kalau ketemu bicarain. Masa mau nikah harus ada rahasia-rahasiaan."
"Iyakan Bi? Kalau semisalkan Naka nya bilang ini privasi, aku juga nggak akan mau ikut campur kok. Aku cuman khawatir takut dia kenapa-kenapa. Adi juga ngeselin banget masa sampe sekarang belum ada informasi apapun tentang Naka."
Bi Ira memberikan segelas s**u pada Nara. "Non boleh Bibi kasih saran?"
Nara mendongak, "Saran apa?"
"Tapi Non jangan nangis atau ngambek yah?"
"Iya."
"Beneran yah Non?"
"Iya ih Bibi."
Bukan apa-apa Bi Ira hanya takut jika saat mendengar saran nya Nara malah menangis lalu setelahnya mogok makan. Siapa lagi yang repot? Tentu saja Bi Ira. Nara sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri bahkan di banding anak-anaknya Bi Ira lebih memprioritaskan Nara. Sejak kecil Nara slalu di tinggalkan oleh Orang Tuanya. Main sendirian, makan sendirian bahkan untuk mengambil rapot saja Bi Ira yang pergi.
"Menurut Bibi lebih baik Non Nara pikirin lagi buat nikah sama Den Naka." Dengan hati-hati Bi Ira mengatakannya.
Wajah Nara berubah sendu. "Kenapa? Bibi nggak suka yah sama Naka?"
"Nggak Non, bukan gitu. Tadi Non cerita kan sama Bibi kalau Den Naka itu ilang-ilangan terus belum lagi banyak rahasia. Seenggaknya tunggu dulu sampai Den Naka mau cerita sama Non. Rumah tangga kan yang jalanin dua kepala Non masa nanti pas nikah berantem terus."
Nara terdiam. Benar. Pernikahan itu bukan ajang lomba dimana siapa yang paling duluan menikah dia yang menang. Nara merasa ucapan Bi Ira ada benarnya. Mereka akan menikah. Mereka akan berjalan kejenjang yang lebih serius namun Naka masih berperilaku padanya seperti orang asing. Nara tahu dia yang terlalu semangat sampai melupakan fakta, kenapa Naka tiba-tiba berubah pikiran? Apa yang membuat pria itu berubah?
Nara tanpa pamit langsung pergi meninggalkan ruang makan. Dia ingin bertanya pada Hana. Hana pasti tahu jawabannya. Berlari naik ke lantai atas untuk mencari ponselnya. Nara benar-benar tidak sabar mendengar jawaban dari sang sahabat. Membuka pintu kamar kasar, meneliti dimana letak ponselnya berada. Di sofa. Dengan cepat melangkah, meraih beda pipih itu dan mencari nomor Hana.
"Hallo Hana."
"Kenapa?"
"Lagi dimana?"
"Gua kan kerja jam segini."
"Pulang kerja ke rumah yah, Lo nginep sini."
"Males ah."
"Gua gojekin."
"Oke." Nara mendengus.
"Cepetan pulangnya."
"Gua kerja yah monyet. Mana ada bisa pulang cepetan." Nara berdecak.
"Udah di bilang mending buka jasa online kagak mau."
"Nggak usah mulai yah Ra." Hana tahu jika Nara baik akan meminjamkan uang modal padanya namun dia belum yakin jika bisa melakukan nya seorang diri.
"Nyeyeyeye ... nanti kalau mau dateng kesini sekalian beli Mcflurry yah."
"Kenapa nggak pesen online aja sih Ra?"
"Nggak apa-apa, pengen aja."
"Anak monyet. Dahlah, gua mau kerja lagi."
"Yoyoyo semangat." Panggilan terputus.
Nara menatap ponselnya dengan seksama. Jika dia menelepon Naka apa pria itu akan menjawabnya? Nara tidak tahu pekerjaan apa yang Naka lakukan di luaran sana tapi yang pasti sepertinya memang dia harus tahu. Benar kata Bi Ira, mereka akan menikah dan tentu saja dia harus tahu apa yang di lakukan Naka di luaran sana.
***
Tok tok tok
Ketukan di pintu rumah membuat Nara berdecak. Siapa yang malam-malam mengetuk pintu rumahnya dengan brutal? Dia menatap jam di dinding pukul 08.15 malam. Hana pulang pukul 10 malam lalu siapa yang mengetuk pintu rumahnya?
"Biiii." Nara mencoba memanggil Art nya.
"Bi Ira?" Panggilnya sekali lagi namun tidak ada sahutan.
"Masa Bibi jam segini udah tidur sih?"
Tok tok tok
Kembali ketukan itu semakin brutal. Nara menyimpan toplesnya. Dia bangkit berdiri untuk membuka pintu siapa yang bertamu namun langkahnya terhenti. Bagaimana yang mengetuk itu orang jahat? Atau bisa saja Aryo kembali mendatangi nya? Nara menatap sekitar, tidak ada satu pun benda yang bisa dia gunakan untuk menyerang. Berlari ke arah dapur mengambil wajan besar lalu kembali ke depan pintu rumah.
Nara berdiri di balik pintu. Dia menarik napas, takut sekali jika waktu membuka pintu ternyata orang itu sudah menodongkan senjata. Dia dengan hati-hati memutar pintu kunci. Tangannya sudah siap-siap untuk memukul. Hitungan ketiga Nara membuka pintu dan siap melayangkan wajan jika seseorang tidak menahan lengannya.
"Naka?" Nara menatap pria di depannya.
"Heh? Kamu kenapa?" Wajan yang ada di tangannya terlepas begitu saja saat melihat wajah Naka babak belur.
Naka mendorong Nara kesamping lalu masuk ke dalam rumah. "Kenapa lama banget sih buka pintunya?"
"Takut pencuri."
"Mana ada pencuri ngetuk pintu."
Iya juga yah tapi kan tetap saja Nara merasa was-was.
"Kamu sendiri yang bilang harus hati-hati."
"Yah Lo bisa intip di jendela." Nara meringis. Dia memang bodoh jika urusan begitu.
"Lo sendirian di rumah?"
"Ada sama Bibi tapi nggak tahu kemana." jawab Nara sambil mengikuti langkah Naka.
Naka menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia memejamkan matanya. Nara duduk di samping Naka menatap wajah tampan itu yang sudah babak belur disana sini. Tangannya terangkat lalu menekan sudut bibir Naka.
Naka membuka matanya lalu melotot kan mata, "Sakit bego."
"Eh maaf. Kamu kenapa lagi ini? Ada yang nagih hutang lagi terus di gebukin?"
"Kalau iya, kenapa?"
"Ngutang buat apalagi sih Naka? Nggak cukup yang kemarin kamu di gebuk sampai babak belur? Sekarang di ulang lagi. Apa nggak sakit tuh badan sama muka?"
"Bawel." Gemas mendengar jawaban Naka, Nara mencubit bibir pria itu.
"Nih bawel, bawel, bawel." Nara itu anaknya geregetan.
Dia paling senang melakukan skin ship. Sempat dulu Hana dan Nara di katakan lesbian karena kemana-mana slalu berdua. Belum lagi Nara yang begitu manja pada Hana yang membuat semua orang salah paham. Mereka berdua sih tidak peduli, Hana mungkin masih bisa bersabar mendengar ucapan orang lain tapi beda cerita jika Nara yang mendengar. Anak ini bisa kapan saja menjadi barongsai yang tentu membuat semua orang akan panik karena kekuasaannya.