"Masih jauh kah?" Sudah kesekian kalinya Nara bertanya namun tidak mendapat jawaban.
Nara menatap sekitar, tempat ini begitu asing untuknya namun udaranya benar-benar sejuk. Susah di jelaskan, yang pasti Nara bisa mencium aroma hutan. Hutan? Nara membuka kaca mobil lalu menyembul kan kepalanya keluar.
"Loh, loh, loh ini kenapa kita ke hutan?"
"Mau buang Lo."
Nara menatap Naka dengan pandangan terkejut. "Nggak usah nakut-nakutin deh."
"Ngapain gua nakut-nakutin Lo. Disini tempatnya jauh dari keramaian, jadi kalau gua buang Lo nggak akan ada yang nyari juga."
"Naka seriusan kamu mau buang aku?"
"Yah iya."
"Aku loncat nih?"
"Loncat aja." Nara menatap Naka dengan pandangan cemas.
Kenapa aura Naka terlihat bersungguh-sungguh? Benarkah Naka akan membuangnya? Nara rasa memang tempat ini cocok untuk pengasingan tapi masa iya Naka mengatakannya dengan gamblang?
"Seriusan nggak sih kamu?" Terkadang pertanyaan hal sepele seperti ini saja Nara slalu bertanya.
"Pantes dijuluki mahasiswa bodoh."
"Heh?!"
"Emang iya kan? Masa semua nilai dari dosen D semua."
"Kenapa sih suka jelekin otak aku? Aku juga nggak mau kali dapet nilai D."
"Itu karena Lo nya aja yang males belajar."
"Iya tahu yang slalu dapet nilai A." Sindir Nara.
Nara tahu kok di balik kekayaannya tersimpan otak yang dangkal. Karena apa-apa uang, Nara jadi lupa bagaimana cara menggunakan otaknya. Masuk ke kampus ini saja Nara menyogok karena tidak lulus SBMPTN. Nara masuk jurusan Ekonomi juga karena mengikuti Hana. Mana pernah dia punya keinginan lain. Eh ada deh, keinginan nya yah jadi Istri Bayanaka.
"Belajar Lo jangan malu-maluin gua."
"Males loh Naka. Kamu pikir belajar itu nggak capek apa."
"Terus Lo kuliah buat apa?"
"Buat pamer sama orang kalau aku udah Sarjana." Naka cuman geleng kepala.
Terserah Nara saja. Suka-suka gadis ini mau apapun. Perusahaan Nara baru 2 tahun sekarang menjadi donatur tetap disana. Jadi malu saja jika Universitas sana tidak memberikan yang terbaik untuk Nara. Setidaknya walaupun Nara malas belajar dia masih sering masuk kelas. Itu pun kalau masuk kelas paling leha-leha tanpa memperhatikan dosen.
Berbeda dengan Naka yang hanya anak seorang Beasiswa. Dia sangat memperhatikan nilai kuliahnya. Terlepas dari kelakuan Naka di luar kampus itu bukan urusan Universitas. Asalkan tidak memakai almamater kampus, melalukan apapun di luar sana tidak menjadi masalah. Naka hanya ingin lulus kuliah dengan nilai terbaik supaya saat dia melamar pekerjaan ke perusahaan yang diinginkannya dengan mudah diterima.
Mobil akhirnya berhenti membuat Nara menoleh. Wow ... dia berdecak kagum saat melihat ada begitu banyak tanaman Bunga disana. Jalan setapak disana juga bukan terbuat dari tanah melainkan sudah berubah menjadi jalan beraspal. Entah berapa hektar taman ini karena semua jenis bunga tumbuh bermekaran sangat indah. Belum lagi ada beberapa Pohon tinggi yang menyejukkan.
"Ayo keluar." Nara membuka safety belt nya lalu ikut turun, mengikuti langkah Naka.
Nara berdecak kagum. Sungguh tidak sia-sia dia mengikuti Naka pergi. Perjalanan yang memakan waktu 2 jam itu terbalaskan dengan harum bunga dan pemandangan yang indah. Ini taman bunga yang mengagumkan. Nara menyukainya. Ada beberapa tanaman bunga di rumahnya dan Nara bisa merawat mereka sampai tumbuh banyak. Sekarang matanya di suguhi banyaknya bunga ini membuatnya tidak bisa mengatakan apapun. Mereka terus berjalan sampai ada sebuah panggung kecil yang sudah di hias sangat indah.
Jantung Nara tiba-tiba berdetak kuat. Apa ini? Jangan bilang Naka akan melamarnya di tempat ini? Jika pemikiran nya itu benar, Nara berjanji akan menjadi kesayangan Naka yang baik. Nara menoleh ke samping, ada sebuah Ayunan disana. Tambangnya terlilit bunga membuatnya terlihat semakin indah dan cantik. Kakinya begitu saja melangkah kesana dan Nara sudah menduduki ayunan itu. Kakinya bergerak untuk berayun dan dia tertawa. Tawa yang benar-benar terdengar bahagia bagi yang mendengarnya. Tawa pertama tulus Nara setelah di tinggalkan oleh Orang Tuanya. Tawa bahagia bagi Nara juga.
Naka yang mendengar tawa menoleh. Dia melihat Nara yang berayun dengan lembut. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya. Nara cantik. Di balik sifatnya yang sombong dia masih sama seperti wanita pada umumnya. Nara hanya merasa di tinggalkan. Dia hanya ingin mendapat banyak perhatian dari orang sekitar sampai berbuat kegaduhan. Padahal tanpa membuat kegaduhan Nara sudah menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba kedua sudut bibir Naka tertarik namun tidak lama senyum itu hilang.
"Turun dari sana." ujar Naka membuat Nara memelankan ayunan kakinya.
"Kenapa? Ini kan ayunan nggak ada yang pake."
"Yah tetep itu punya orang dan Lo belom izin." Nara akhirnya menghentikan ayunannya.
"Tapi disini nggak ada orang."
"Ada."
"Mana?"
"Ya udah sini makanya." Nara cemberut.
"Kamu jadi manusia, kenapa mematahkan kebahagiaan orang sih?" Sambil menggerutu Nara turun dari ayunan.
Yah Nara juga tahu ini bukan tempatnya. Tapi kalau ada orang dia juga pasti izin. Naka membawanya ke tempat ini dan hanya ada mereka berdua. Bagaimana caranya Nara meminta izin? Padahal sudah lama sekali Nara tidak menaiki Ayunan. Mau ke taman bermain saja dan mengajak Hana, sahabatnya itu sering menolak karena bekerja.
"Bagus nggak?" tanya Naka setelah Nara ikut berjalan di sampingnya.
"Apanya?"
"Tempatnya."
"Oh bagus." Mood Nara sudah tidak baik-baik saja.
"Lo suka?"
"Hm."
"Kalau pesta pernikahan nya di sini gimana?"
"Bol- eh gimana maksudnya?" tanya Nara sambil menarik lengan Naka.
"Kayanya tempat ini cocok buat pernikahan kita."
"Tempat ini emang bagus tapi ini jauh banget dari jalan raya. Terus nanti tamu undangan gimana datangnya?" Naka terdiam.
"Gua mau pernikahan kita di gelar secara privat."
Nara mendongak, "Kenapa?"
"Nggak apa-apa." Bibir Nara melengkung ke bawah.
Naka menarik dagu Nara, mata mereka saling bertatapan. "Cuman sementara, setelah urusan gua selesai kita adain resepsi secara besar-besaran."
"Urusan apa?"
"Rahasia." Slalu saja kata Rahasia itu yang Nara dengar.
Tapi yang namanya Cempaka Kinara mana pernah bisa menolak keinginan Bayanaka Jayanegara. Nara terlalu mencintai Naka sampai dia tidak peduli akan apa yang di lakukan pria itu. Nara percaya jika Naka tidak akan berbuat jahat padanya. Yang Nara harapkan sekarang Naka membalas cintanya, hanya itu.
Nara menunduk saat merasakan jari manisnya tersemat sesuatu. Keningnya berkerut melihat sebuah cincin melingkar di jarinya.
"Apa ini?"
"Hadiah."
"Kok nggak ada permata nya?"
Raut wajah Naka berubah dingin dan Nara yang melihat itu tertawa.
"Nggak sayang, nggak, becanda hahaha." ujar Nara sambil menangkup wajah Naka.
"Gua bukan orang kaya jadi cuman itu yang bisa gua kasih sama Lo."
Nara memperhatikan tangannya. Cincin ini terlihat sederhanaz mungkin harganya tidak ada 1 juta. Terlihat kuno dan sangat pas di jarinya.
"Itu cincin peninggalan Ibu gua." Oh pantas, terlihat biasa saja.
"Ibu pernah bilang kalau gua udah nemuin seseorang yang spesial, beliau suruh kasih cincin itu." Oh orang spesial.
Tunggu ...
"Hah? Jadi aku spesial buat kamu?" Naka langsung pergi meninggalkan Nara.
Nara meraih sikut Naka, "Jawab dulu pertanyaan aku. Aku berarti spesial dong buat kamu?"
"Awas ah." Naka langsung menghempaskan tangan Nara, meninggalkan gadis itu yang wajahnya sudah merah padam.
Nara tersenyum malu-malu. Tidak apa-apa jika cincin murahan ini tersemat di jarinya, setidaknya Cincin ini di berikan untuk orang spesial. Nara mengigit bibir bawahnya, ini kemungkinan sekian persen Naka sudah membuka hati untuknya. Nara meloncat kegirangan, setidaknya sekarang dia tahu posisinya untuk Naka.