Ting Tong Ting Tong
Nara mendengus sebal saat suara bel terus berbunyi. Dia menarik selimut untuk menutup tubuhnya namun suara dentingan bel terus menggema. Membuka selimut dengan kesal lalu menurunkan kakinya. Nara turun ke bawah dengan perasaan marah. Dia mengutuk Bi Ira karena jika wanita paruh baya itu tidak ada artinya dia sedang berbelanja keperluan bulanan. Dengan wajah masih mengantuk Nara berjalan sempoyongan. Matanya dikerjapkan untuk terbuka dengan lebar.
Nara memutar kunci rumah lalu membukanya, saat itulah dia merasa dunia hancur seketika. Dengan reflek dia ingin menutup kembali pintunya namun terhalangi oleh sepatu.
"Mau apa lo kesini?"
"Apa seorang calon istri bisa bersikap kurang ajar pada calon suaminya?"
"Demi Tuhan gua nggak akan pernah sudi jadi Istri bahkan calon pun rasanya menjijikkan."
"Apa kah kamu lupa kalau di sana ada wasiat tentang kamu harus nikah sama aku?"
"Lo tuh jadi orang ngehalu ketinggian. Percuma lo kuliah di luar negri tapi pikiran kosong kaya bocah yang punya angka sebelas di hidungnya."
"Terserah apa katamu tapi yang jelas kamu akan tetap menikah denganku."
"Nggak peduli! Sebelum itu kejadian gua udah bakal jadi Istri orang lain." Nara mendorong dengan kekuatan yang dia miliki.
Nara benar-benar mengutuk semua orang yang entah kemana perginya. Adi, pengawal pribadinya pun tidak terlihat dimana-mana. Biasanya dia akan ikut makan bersama jika sarapan pagi. Atau tidak dia akan stand by di ruang tamu menunggunya bangun. Awas saja, Nara akan menarik kuping Adi dengan kencang supaya pria itu tidak mengulanginya lagi untuk meninggalkannya sendirian.
"Dengar, Kinara. Dengan siapapun kamu menikah, kamu akan tetap kembali padaku. Ingat pesan terakhir Orang Tuamu tentang menyerahkan tanggung jawabnya padaku."
"Kambing. Harus berapa kali gua bilang, Om Irvan nggak bilang apapun tentang surat wasiat selain warisan untuk Paman gua. Lagian bukannya orang tua lo dan gua bermusuhan di dunia Bisnis mana ada kita bisa nikah, yang ada tuh perusahaan gua ancurin."
"Kinara?!" Nara terdorong ke belakang. Dia memutar bola matanya saat seorang pria bertubuh tinggi kekar berdiri di depannya. Masih gantengan calon suami gua kemana-mana kali gerutu hatinya.
Nara menyilang kan tangannya di depan d**a. Dia menatap pria di depannya dengan dagu terangkat. "Pagi-pagi datang ke rumah orang malah bikin rusuh. Apa lo nggak punya kerjaan Aryo?"
Pria yang bernama Aryo menyeringai. Dia mendekat dan hal itu membuat Nara melangkah semakin jauh menjaga jarak. Setiap Aryo melangkah dia akan mundur berkali lipat. Nara tahu bagaimana predikat pria yang ada di depannya ini. Aryo Gumilang, anak dari Gilang Gumilang yang bersaing dengan perusahaan Papanya semenjak masa dulu. Entah apa yang menjadi acuan orang tua Aryo karena sedari dulu slalu saja tidak ingin kalah oleh Ayahnya.
Aryo memiliki sepak terjang yang luar biasa memikat. Dia dengan kurang ajarnya memiliki sebuah Affair dengan beberapa wanita di luaran sana. Yang Nara tahu terakhir kali pria itu berciduk keluar dari hotel bersama Istri sahabatnya. Dan beberapa minggu kemudian seorang Ken Adipati menceraikan istrinya begitu saja. Sungguh pria ini begitu licik seperti seekor belut.
"Aku dengar-dengar minggu depan kamu akan menikah?"
"Hmm, terus masalah gitu buat lo?"
"Bagaimana kalau sebelum pernikahan itu berlangsung, aku mencicipi tubuh pengantin wanitanya?" Mata Nara melotot garang. Apa katanya tadi?
Nara benci melihat tatapan Aryo yang melecehkan tubuhnya. Dia ingin menghunus kedua mata itu dengan sebuah benda tajam atau kalau bisa memukul kepalanya dengan benda keras. Nara tanpa berkata berkelit, berlindung di sebuah meja panjang di ruang tamunya. Dia memiliki reflek yang bagus, maka dari itu sebelum kejadian menyerangnya, dia sudah berlindung. Namun sialnya jika berhadapan dengan Naka sikap refleknya hilang begitu saja membuatnya terkadang sering muak namun bahagia secara bersamaan.
"Well, jangan harap lo bisa sentuh gua seujung rambut pun. Kalau hal itu terjadi, gua nggak akan segan-segan minta calon suami gua buat kebiri lo sampe habis."
"Bayanaka Jayanegara pria yang terlilit hutang beratus-ratus juta, kerja part time sebagai waiters di sebuah kafe, really? Apakah itu pilihanmu?"
"Memangnya kenapa sama pilihan gua? Cowok gua ganteng, dia nggak gatel, nggak murahan juga, walaupun dia banyak hutang nggak masalah. Karena gimana pun dia gua mencintainya." Nara mengejek Aryo membuat pria itu menggepalkan tangannya. Nara meraih guci puluhan jutanya bersiap-siap jika Aryo berlari ke arahnya.
"Baiklah kalau itu pilihanmu, kita lihat saja pria yang akan mendapatkanmu atau kamu yang berlari padaku untuk membantumu."
"Nggak akan pernah. Seburuk apapun dia, gua nggak akan pernah lari ke arah lo, karena bagaimana pun, dia suami masa depan gua."
"Kamu ...."
"Kyaaaaaaaaa." Nara berlari saat Aryo bergerak cepat ke arahnya. Dia melempar guci yang di pegang nya, tidak peduli sama sekali akan kekacauan rumahnya.
Ini yang Nara benci. Aryo pria nekad yang bisa melakukan apapun padanya. Untuk kesekian kalinya pria itu mendatanginya, bahkan jika Adi tidak ada mungkin dia sudah berakhir di ranjang pria b******k itu. Nara tidak tahu apa yang membuat seorang Aryo Gumilang berpaling pada sosoknya yang jauh dari kriterianya. Bahkan saat pertama kali bertemu, pria itu tidak sama sekali tertarik padanya. Berkenalan pun seperti malas saat bersentuhan dengannya. Tapi sekarang saat Orang Tuanya sudah meninggal, Aryo lebih sering mendatanginya dengan dalih wasiat. Persetan dengan wasiat. Sampai kapan pun Nara tidak akan sudi.
Nara berlari ke luar rumah namun baru beberapa langkah meninggalkan pintu rumah, tubuhnya bertabrakan dengan benda keras di depannya.
"Aduhhhhh."
"Lo nggak apa-apa?"
Suara itu? Nara mengenduskan hidungnya dan seketika dia memekik kegirangan. Kepalanya mendongkak lalu berteriak memeluk leher orang yang ada di depannya.
"Nakaaaaaa?! Ya ampun kamu emang penyelamat aku." Nara tidak menduga jika Naka akan datang ke rumahnya dan di waktu yang tepat pula.
"Ada apa?"
Sebelum mengucapkan kata, sebuah suara memanggil Nara membuat keduanya menoleh.
"Kinara?!"
Nara semakin mengeratkan pelukannya. Dia menenggelamkan wajahnya di d**a Naka.
"Wah ternyata ada pangeran ke siangan di sini."
"Mau apa lo datang ke tempat calon istri gua?"
"Hahaha niatnya gua mau cicipin tubuh dia sebelum gua serahkan sama lo, sampah."
"Sampah teriak sampah." Naka menyeringai membuat Aryo semakin berang.
Aryo melangkah, ingin menarik Nara yang dengan nyaman memeluk Naka. Naka meraih pinggang Nara, mendekap gadis itu dalam pelukannya lalu meraih tangan Aryo yang hendak menyentuh Nara.
"Jangan coba-coba buat sentuh dia." Ancam Naka dengan nada dingin.
Aryo menghempaskan tangan Naka. "Lo sekarang boleh ngerasa menang tapi lain kali, gua pastiin lo bakal hancur ke akar-akarnya."
"Gua tunggu permainan lo." Tantang balik Naka.
Aryo membenarkan letak jasnya lalu pergi berlalu begitu saja.
Nara berjinjit mengintip dari balik bahu Naka. Dia bisa melihat punggung Aryo menjauh pergi membuat kedua sudut bibirnya tertarik.
"Siapa dia?"
"H-hah?"
"Siapa dia?"
"O-oh itu ... dia orang yang ngaku-ngaku jadi calon suami aku. Dia bilang kalau Orang Tua aku ngasih surat wasiat supaya aku nikah sama dia. Oh may good! Bahkan Om Irvan aja nggak bilang apa-apa tentang surat wasiat itu. Lagian siapa juga yang mau sama cowok kaya dia. Kamu tahu kan kalau dia sering berkeliaran di infotaimen dengan gosip yang jelek. Aku nggak suka."
"Di pagi buta kaya gini dia datang ke sini?"
"Heem. Dia tuh pengganggu banget."
"Lalu kemana semua Assisten lo?"
"Nggak tahu. Nggak biasanya mereka kosongin rumah kaya gini. Adi juga, biasanya dia slalu stand by di sini." Nara sama sekali enggan melepaskan pelukan hangat ini. Kapan lagi pelukannya di balas? Seketika Nara senyum-senyum.
"Lain kali kalau emang nggak ada siapa-siapa di rumah, jangan pernah buka pintu."
"Kalau itu orang penting gimana?"
"Terserah kalau lo mau kejadian ini kembali terulang."
"Nggak mau." Cukup lama mereka berpelukkan dengan pikiran kemana-mana.
Nara melonggarkan pelukannya lalu memandang sosok pria yang ada di depannya. "Btw, kamu ngapain pagi-pagi dateng ke sini?"
"Oh. Gua mau ngajak lo ke suatu tempat."
"Kemana?" tanya Nara antusias.
"Ada."
"Yah kan tujuannya harus tahu kemana ganteng."
"Kalau lo nggak mau, ya udah."
"Ihhhhh belum juga jawab." Nara memanyunkan bibirnya.
"Sana siap-siap, gua tunggu di sini." Nara akan membuka mulutnya namun dia langsung mengurungkan niatnya.
Ya sudahlah, namanya juga Naka kalau nggak iri bicara yah sifatnya dingin seperti kulkas berjalan. Mau gimana lagi coba Nara sekarang jungkir balik pun Naka mana peduli.