Rich Women 5

1659 Words
"NAKAAAAAA?!" Teriakan cempreng milik Nara bergema di sepanjang lorong fakultas Bisnis. Merasa namanya di panggil, Naka menolehkan kepala. Alisnya terangkat satu saat melihat Nara berjalan tergesa-gesa menghampirinya. Dia meringis melihat kaki jenjang itu yang di lapisi oleh heels menghentak lantai seakan menandakan jika sang penguasa sudah datang. Naka berdehem saat melihat tatapan semua orang menatapnya. Sudah bukan hal biasa jika semua penghuni kampus mengetahui tentang bagaimana sifat Nara yang mengejarnya. Sudah bukan hal biasa lagi jika Nara menjadi primadona di kampus. Nara berkacak pinggang saat sudah ada di hadapan Naka. "Ngapain kamu berduaan sama dia?" Nara menunjuk seorang gadis yang sedang duduk bersama Naka. "Aku nggak suka. Bete. Sebel. Aku kan udah bilang jangan deket sama perempuan lain." Naka memutar bola matanya. Namun dia sama sekali tidak menggubrisnya. Naka malah kembali melanjutkan diskusi dengan gadis yang ada di hadapannya, yang bernama Karina. Nara menghentakkan kakinya sebal, dia menendang tong sampah yang ada di dekatnya. Tong itu terjatuh membuat suasana gaduh, sudah tahu siapa pelakunya namun tidak ada satupun orang yang menegurnya karena mereka tidak ingin berurusan dengan setan cantik itu. "Naka?!" Nara merengek. Wajahnya yang putih sudah merah padam. Karina merasa tidak nyaman saat matanya bertatapan langsung dengan Nara. "Emm ... kita sudahi aja pembelajaran ini. Gua nggak enak sama Nara." "Abaikan aja dia." "Tapi—" "Udah cepetan, gua harus tahu apa aja yang mesti gua pelajari." Karina menatap ke arah Nara lalu menundukkan kepalanya. Dia kembali membantu Naka mengajarkan pembelajaran yang sudah pria itu lewati. Nara di abaikan. Dia menghembuskan napas lalu pergi berlalu begitu tanpa mengatakan apapun. Matanya mulai berkaca-kaca, dia benci di abaikan. Kenapa sih Naka begitu baik pada beberapa perempuan di sekitarnya sedangkan padanya? Nara menghembuskan napas kembali. Nara berbelok naik ke lantai atas dimana hanya ada gedung kosong tempat dia menyendiri meratapi nasib hidupnya. Nara menjatuhkan tubuhnya di sofa lalu memejamkan matanya tanpa peduli saat air mata membahasi pipinya. Nara memang cengeng dan dia membenci dirinya sendiri. Nara meremas tas mahalnya dengan kesal. Dia benci semua orang yang ada di dunia. Dia benci kepada Orang Tuanya karena mereka meninggalkannya seorang diri. Dia benci kepada Orang Tuanya karena terlahir menjadi anak tunggal. Nara mengusap air matanya kasar, Paman dan Bibirnya sama sekali tidak peduli padanya. Mereka hanya memperdulikan harta warisan yang Orang Tuanya tinggalkan padanya. Mereka terus merongrongnya untuk memberikan haknya namun Pengacara Orang Tuanya mengatakan jika Nara lah yang akan memberikan haknya setelah dia menikah dan ada yang bertanggung jawab padanya. Nara menatap jari manisnya, dia memutar cincin itu. Dia terkekeh pelan, menarik cincin itu lalu melemparkannya kasar. Nara menarik kedua lututnya lalu membenamkan wajahnya di sana. Bahunya terguncang dan dia berteriak tanpa suara. Beberapa menit sudah dia menangis meratapi hidupnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar lalu saat itulah matanya mengerjap melihat satu sosok yang berdiri di hadapannya menghalangi panasnya sinar matahari. Tangannya ditarik lalu sebuah cincin kembali melingkar di jari manisnya. Nara memandang orang di depannya dengan dalam lalu memalingkan wajah. Sebuah tarikan di lengannya membuat Nara memberontak tidak suka. Tapi dia tetap ikut berdiri namun menjaga jarak. "M-mau apa kamu?" Nara menggerutu di dalam hatinya tentang kekesalannya pada pria di depannya. Isakan masih terdengar dari bibirnya namun air matanya sudah kering. "Udah nangisnya?" "Belum. Ngapain juga kamu nanya begitu?" Ketusnya. "Siapa tahu lo butuh ember buat nampung air mata Lo itu." Nara membulatkan matanya. Dia menghentakkan kakinya namun tidak menjawab. Kebiasaan Nara jika kesal, marah atau dalam mood yang jelek dia akan menghentakkan kakinya. "Lo nangis makin jelek." Nara menyipitkan matanya. Dia berdecak sebal, "Iya aku emang jelek, terus kenapa?" "Makanya kalau udah tahu jelek ngapain lo nangis? Coba kalau lo senyum, gua yakin kecantikan lo berlipat ganda." Nara terdiam mendengar ucapannya, mencari kesadaran yang ada dalam dirinya. "K-kamu ...." "Ayo kita harus fitting baju." Setelah mengatakan itu dia pergi meninggalkan Nara yang hanya bisa diam mematung. Air matanya seketika kering, bahkan kedua sudut bibirnya saling tertarik membentuk sebuah senyuman. Pipi Nara bersemu merah tanpa tahu malu, dia menundukkan kepalanya dengan kaki bergerak gelisah. Tanpa di sadari apa yang di ucapkan oleh Naka barusan mengatakan supaya dia tidak harus menangis namun dalam artian yang berbeda. Di pikir kembali memang Naka memberikannya perhatian namun tidak menunjukkan secara langsung. Nara mengigit bibir bawahnya sambil memejamkan mata. Dia tertawa pelan lalu berteriak kegirangan. "Woy, lo udah gila? Cepatan ngapa, gua masih banyak urusan." Teriakan itu membuat Nara langsung mengerjap. Dia berbalik melihat Naka ada di pintu. Yah orang yang menyusulnya itu Naka. Entah bagaimana bisa kejadiannya seperti barusan. Bukannya Naka sibuk dengan perempuan tadi bahkan mengabaikannya? Lalu kenapa Naka tahu jika dia ada di sini? Ah tidak akan memikirkan bagaimana pria itu ada di sini, yang pasti sekarang mereka akan mencari gaun pengganti. Uhuyyyy aku padamu Naka sayang <3 *** "Ganti." "Ganti." "Ganti." "Ganti." "Ganti." "Ganti." Ganti. Ganti. Ganti. Ganti. Ganti. Ganti Entah untuk ke berapa kalinya Nara harus bulak balik ke ruang ganti. Dia mengerucutkan bibirnya sebal. Dia capek harus bulak balik ke dalam dengan perasaan kesal. Bagaimana Naka menyuruhnya berganti terus menerus tiada henti? Bagaimana Naka berkata ganti setiap dia keluar? Bahkan belum menunjukkan sepenuhnya. "Nakaaaaaaaa! Aku capek! Kamu mau nyiksa aku apa? Dari tadi masa nggak ada yang cocok sih?" "Karena gua nggak ada yang suka." "Yah makanya angkat p****t kamu, terus cariin gaun mana yang cocok." "Semua gaun nggak ada yang cocok buat lo." Nara menganga tidak percaya mendengar ucapan Naka barusan. "Lalu gaun apa yang Mas inginkan untuk Mbaknya?" Sang pemilik butik tidak mungkin melepaskan mangsanya, mengingat perempuan yang akan memesan gaun pengantinnya adalah putri konglomerat. "Memangnya anda mampu untuk membuat gaun dalam waktu 1 minggu?" tanya Naka. "Nakaaa! Kita masih ada waktu selama 3 minggu buat persiapannya. Aku rasa waktu selama 3 minggu itu udah pas buat bikin gaun yang kamu inginkan." "Sayangnya pernikahan kita di majukan." "A-apa? T-tapi gimana bisa?" Nara shock bukan main mendengar ucapan Naka. Bagaimana bisa pernikahan mereka di majukan? "Kami akan berusaha untuk membuat gaun yang Mas inginkan." "Saya nggak butuh berusaha. Karena saya mencari orang yang mampu dan bertanggung jawab." Sang pemilik butik bungkam mendengar ucapan Naka yang tidak berperasaan. Nara bisa melihat aura gelap yang sekarang di keluarkan oleh Naka. Naka memang bisa di katakan pria luar biasa sempurna namun di balik kata itu tersimpan banyaknya misteri di dalamnya. "Ya udah kalau kamu mau pernikahan kita dimajukan, pilihannya cuman satu gaun mana yang menurut kamu bagus?" "Nggak ada!" "Terus mau kamu apa?" Naka berdiri dari duduk nyamannya. Dia melangkah mendekat ke arah Nara membuat gadis itu gugup seketika. Jarak mereka hanya tinggal beberapa senti dan itu membuat kejut jantung Nara berdetak dua kali lipat. "Gua mau lo pake gaun yang udah gua pilihkan." Cup Nara mematung mendengar bisikkan itu. Matanya mengerjap untuk menarik dirinya dari alam bawah sadar. Dia mendongak dan mata mereka saling bertatapan. "K-kenapa kamu nggak bilang?" "Bukannya lo yang ngotot pengen pilih gaun sendiri sedangkan gua udah pilih sendiri gaun mana yang cocok buat lo pake." "K-kamu ...." "Gua tunggu lo di luar." Naka berjalan pergi meninggalkan Nara seorang diri. Untuk kedua kalinya dia di tinggalkan oleh pria itu. Nara mendesah. "Ya Tuhan! Kenapa engkau memberikanku jodoh sedingin Naka sih? Kulkas 100 pintu aja kayanya kalah sama dia." *** Nara berdecak kagum melihat sebuah gaun berdiri di hadapannya yang di pasang pada Mannequin. Mulutnya membulat tidak percaya mendapatkan gaun seindah ini. Nara mendekat, memegang gaun itu yang begitu halus saat tersentuh kulitnya. Dia mengelilingi gaun itu lalu menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Gua pengen di pesta pernikahan ini lo pake gaun itu." "Kenapa kamu nggak bilang sejak awal kalau kamu punya pilihan sendiri?" "Gua ngasih waktu buat lo milih gaun mana yang cocok." "Tapi setiap gaun yang aku pake kamu nggak pernah suka!" Protes Nara. "Karena gua udah punya kecocokan tersendiri." "Ck! Kamu harusnya bilang supaya aku nggak ribet." "Biasanya juga ribet sendiri." Nara melotot kan matanya saat mendengar jawaban Naka barusan. Dia merasa malu mendengar suara tawa dari sang desainer yang baru pertama kali ditemuinya. "Jadi, gaun mana yang akan kamu pilih?" Nara menatap sang Desainer yang bernama Delisa. "Aku gimana sama Naka aja. Kalau dia udah siapin gaun ini, yah aku pake." jawab Nara. "Masalahnya Banyu nggak buat hanya satu baju buat pernikahan kalian." "Maksud Kak Delisa apa?" Delisa memerintah karyawannya untuk membuka tirai dan saat tirai terbuka Nara terdiam tidak percaya melihat koleksi jajaran gaun-gaun yang begitu indah terpasang di etalase. "Oh my good! Ini buat aku semua, Kak Del?" Delisa menganggukkan kepala. Dia mendekat pada lemari kaca itu lalu menggesernya. "Semua gaun ini milik calon Suamimu. Dia memberikan ku waktu kurang lebih 1 minggu. Dan gimana kalang kabutnya aku buat memberikan yang terbaik buat pesanan dia." Nara menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berkaca-kaca melihat begitu indahnya gaun itu. "Ini indah banget dan aku suka semua gaunnya." "Yah aku bersyukur kalau kamu suka. Semua gaun ini akan kamu pakai di hari pernikahanmu." Nara menolehkan kepalanya, "Maksudnya? Aku bakal pakai semua gaun ini? Gimana bisa? Bukannya gaun ini terlalu banyak buat aku pakai di hari pernikahanku?" "Kamu bakal tahu apa yang aku maksud tapi nanti."Ujar Delisa pada Nara. Nara memutar tubuhnya lalu menghadap pada Naka yang menyilangkan tangannya di depan d**a. "Maksud Kak Delisa apa Naka?" "Bukan apa-apa." "Aku nggak suka main rahasia-rahasiaan ah." "Nggak ada yang mesti di rahasiakan." "Bohong?" Naka tidak menjawab. Nara mendekat tangannya berada di sisi tubuh Naka. "Sekarang kamu jujur sama aku, rahasia apa yang kamu sembunyikan?" "Nggak ada." "Bohong?!" "Terserah." "Nakaaaaa!" Jurus merengek Nara kembali terdengar. Naka mengeram menarik pinggang Nara lalu menundukkan kepalanya. "Apapun yang gua lakuin itu jadi rahasia gua." Nara menggembungkan pipinya. "Nggak suka ah." "Nanti lo bakal tahu apa yang gua rahasiakan." Nara memutar bola matanya. Apa-apa slalu saja rahasia. Nara juga penasaran konsep apa yang akan di pakai Naka untuk pernikahan mereka. Bilangnya Nara yang mengurus semuanya tapi setelah dia mengurus malah di hancurkan oleh Naka. Lantas apa yang harus Nara lakukan? Protes juga percuma. Naka memandang tajam ke arah luar ruangan, senyum miring tersungging dari bibirnya. Semuanya akan berubah dalam beberapa waktu ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD