Nara menggembungkan pipinya. Ada beberapa bekas minuman di depannya. Tangannya mengipasi wajah, gerah, capek, panas, semuanya menjadi satu. Jika bukan karena Hana yang memaksa, lebih baik Nara jalan-jalan saja di Mall menghabiskan waktunya. Nara menghentikan tangannya yang mengibas, matanya menyipit saat melihat satu sosok yang di kenalnya sedang tertawa. Nara membulatkan matanya lalu bangkit dari duduknya membuat teman-temannya yang lain kaget.
Hana menatap Nara, matanya tertuju pada tatapan Sahabatnya. Gawat. Hana ikut bangkit lalu menghadang Nara saat gadis itu akan melangkah.
"Mau kemana Ra?"
"Gua harus samperin Naka."
"Mana ada Naka disini."
"Ada. Itu dia lagi selingkuh." Nara mendorong Hana ke samping.
Hana memegang lengan Nara, "Jangan sekarang plis Ra."
Nara menatap Hana dengan pandangan tidak percaya. Apa katanya tadi? Jangan sekarang. Gila kali Hana ini, bagaimana bisa Nara diam saja saat melihat Naka berduaan dengan wanita lain? Nara ini calon Istrinya Naka jadi sekarang mau mengamuk pun tidak ada masalah. Dia punya hak.
"Lo tega liat gua nangis?"
"Bukan gitu Ra."
"Terus apa?"
"Ra ...."
"Bilang aja kalau sejak awal emang Lo nggak suka gua berhubungan sama Naka kan? Lo slalu aja bersikap kaya gini sama gua di saat gua tahu kalau Naka main belakang. Nggak nyangka gua Han, Lo bener-bener tega."
Hana geregetan, "Harusnya gua yang bilang begitu, Lo tega buat hancurin usaha anak BEM?"
"Hubungannya apa?"
"Yang Naka temuin itu Manager Artis. Mahasiswa kita sendiri yang milih Fiona buat tampil di acara tahunan kita. Buat hubungi Fiona itu susah Nara jadi tolong jangan bikin runyam."
"Yah terus kenapa harus Naka yang ketemuan? Mana berduaan pula."
"Nara, Calon Suami Lo itu wakil ketua BEM, wajar kalau dia yang ketemu." Nara yang awalnya terlihat marah terdiam.
Nara melupakan satu fakta lagi jika walaupun Naka anaknya urakan tapi dia itu wakil ketua BEM. Naka bisa di katakan berpengaruh di Universitas karena nilainya memuaskan dan anaknya bergerak aktif. Jika di bandingkan Naka dan Nara mereka itu banyak kebalikannya. Jadi jangan heran jika seluruh kampus tahu siapa Bayanaka Jayanegara.
Teman-teman Hana awalnya sudah menahan napas karena takut jika Nara berbuat nekad. Sejak awal mereka tidak setuju jika Nara ikut mereka tapi Hana menegaskan akan baik-baik saja. Mereka tahu bagaimana Nara. Tadi saja menawarkan makanan terlihat memaksa. Mana ada penjual yang memaksa tapi anehnya yang di tawarin ikutan membeli. Daya tarik Nara sebagai gadis cantik memang tidak di ragukan lagi.
"Tapi beneran kan dia bukan selingkuhan Naka?"
"Nggak Nara. Tanya yang lain, itu bukan selingkuhan Naka kan?" ujar Hana menanyakan pada teman-temannya.
Mereka semua mengangguk kompak. Memang benar adanya jika Naka di tugaskan oleh Johnny (ketua BEM) untuk dia yang bertemu dengan Manager Fiona. Johnny memiliki tugas lain, jadi mau tidak mau yah wakilnya yang menggantikan.
Nara menatap semua teman-teman Hana. "Awas kalau kalian bohong, liat aja."
Hana memukul lengan Nara, "Udah ah, percaya sama gua, dia bukan selingkuhan Naka."
"Kalau dia suka sama Naka gimana?"
"Wajar, Naka kan ganteng."
"Hana?!" Nara menghentakkan kakinya.
"Becanda, becanda, becanda." Hana mengusap lengan Nara, membujuk gadis itu untuk tidak merajuk.
Nara kembali menatap ke depan. Lihat saja, sampai Naka ketahuan selingkuh Nara tidak akan segan-segan menghukum Naka. Mereka mau menikah, masa hanya karena orang ketiga harapan Nara pupus begitu saja. Mana bisa. Bagaimana pun hasilnya Naka dan Nara harus menikah, titik.
***
Naka memasuki beberapa kertas ke dalam tasnya. Perbincangan tadi ternyata lumayan membuat dia gerah. Hanya karena mahasiswa nya banyak mau, Naka harus berdiskusi secara alot. Yah walaupun Manager Fiona orangnya asik tapi Naka rasa membuang sekali waktunya. Jika mau hah katakan, jika tidak ya sudah biar Naka mencari lagi Artis untuk mengisi acara tahunan kampus. Tiba-tiba seseorang menggebrak mejanya membuat dia terkejut dan mendongak. Naka mendengus lalu kembali pada aktifitasnya.
"Cewek tadi siapa?"
"Temen."
"Bohong ih."
"Yah emang."
"Kenapa ketawa sama dia?"
"Tertawa lah sebelum ada yang melarang."
"Naka nyebeliin ah."
"Emang." Naka melirik wajah gadis di depannya yang cemberut.
Wajahnya memerah dengan beberapa keringat yang membasahi dahinya. Keningnya mengerut, dari mana Nara? Tumben sekali gadis ini terlihat berantakan.
"Darimana Lo?"
"Apa?"
"Tuh." Naka menunjuk dengan dagunya.
"Apaan?"
"Keringet Lo." Nara mengusap keningnya lalu meringis saat merasakan basah pada lengannya.
Yah bagaimana, Nara tadi berjualan panas-panasan. Nara baru tahu kalau tugas anak danusan harus seperti ini lelahnya. Kasihan mereka, hanya karena kekurangan dana harus rela berkorban. Lagian sok-sokan mengundang Fiona, sudah tahu budget wanita itu mahal masih saja mau. Budget sedikit tapi maunya yang bagus. Mana ada di jaman sekarang.
"Tadi ikut Hana jualan."
"Jualan?"
"Heem."
"Kenapa bisa?"
"Hana maksa, katanya mereka butuh Dana tambahan. Tadi aku nawarin tapi katanya nggak mau, mereka butuh tenaga aku di banding uang aku."
Naka terdiam, kepalanya mengangguk. Pantas saja sekilas dia merasa melihat Nara ternyata memang gadis itu ikut bersama dengan Hana. Tumben sekali kan seorang Cempaka Kinara mau panas-panasan dan itu demi orang lain. Proud Of you Nara.
"Sekarang mau kemana?"
"Pulang."
"Ikut." Nara ikut bangkit melihat Naka sudah beranjak dari duduknya.
Nara melingkarkan tangannya di lengan Naka dan mereka berjalan keluar bersama.
"Pulang ke rumah atau ke kosan?"
"Ke kosan."
"Ikut dong."
"Nggak."
"Kok nggak?"
"Pulang ke rumah Lo aja."
"Kemarin kamu tidur di rumahku, sekarang aku yang tidur di kosan mu."
Tidak seperti itu konsepnya Cempaka Kinara. Naka merasa lama-lama jika berhubungan dengan Nara ikutan bodoh. Bagaimana bisa gadis ini berpikir sempit seperti itu? Kemarin Naka pulang ke rumah Nara karena memang dia sedang menghindari seseorang. Naka juga ingin jauh-jauh dari Nara. Bisa-bisanya gadis itu mengatakan laki-laki dan perempuan tidak di perbolehkan bersama. Tahunya tengah Malam Nara mengetuk pintu kamarnya dengan membawa sebuah gulung lalu tertidur di sampingnya. Pagi-pagi Nara juga yang histeris tapi tetap memeluknya. Yah inilah Nara, gadis miliarder yang otaknya cuman setengah. Otak udang.
"Pulang!"
"Kamu ngusir aku?"
"Hm."
"Ih curang banget, aku udah nyaman kamu peluk, masa pulang sih. Entar gimana kalau malem-malem aku ke bangun? Terus nanti siapa yang bakal peluk aku?"
"Lo biasa tidur sendirian." Nara cemberut.
"Tapi sejak semalem aku udah nggak bisa tidur sendirian. Yah, yah, yah, ikut ke kosan?" ujar Nara sambil menggoyang-goyangkan tangan Naka.
Naka tidak menggubrisnya. Mereka pergi ke arah parkiran dimana motor Naka berada.
"Naka." Rengek Nara.
Naka melepaskan lilitan tangan Nara di lengannya. Memasang helm lalu naik ke atas motornya. Mata Nara sudah berkaca-kaca siap menangis. Jika berada di samping Naka yah Nara seperti ini. Apa-apa nangis. Apa-apa merajuk. Apa-apa ngambekan. Apa-apa mesti di turuti. Beruntung jika menginginkan sesuatu tidak Naka yang membelikan. Jangankan membelikan Naka saja masih banyak hutang sana sini.
"Cepetan naik."
Mata Nara berbinar, "Pulang ke kosan kamu kan?"
"Ke rumah elo."
"Yah."
"Cepetan Nara." Dengan bibir cemberut Nara naik ke boncengan Naka.
Tangannya melingkar erat di pinggang Naka, "Ini aku nggak pake helm nggak masalah kan?"
"Nggak."
"Kalau nanti kita kecelakaan gimana?"
"Bismillah dulu kalau ngucap."
"Bismillahirrahmanirrahim." Bener-bener Cempaka Kinara. Lama-lama Naka buang juga gadis ini.
Naka melanjutkan motor miliknya pergi meninggalkan tempat itu. Nara mengendus punggung Naka yang masih tercium wanginya. Ah Nara jadi rindu pelukan Naka padahal baru semalam dia merasakannya. Nara jadi kecanduan. Padahal tadinya niat Nara mendatangi Naka itu ingin mengajaknya berbincang, tahu-tahu dia nyaman lalu tertidur bersama Naka. Nggak apa-apa kan, lagian mereka sebentar lagi akan menikah. Menikah loh, terus nanti Nara bisa mendapatkan pelukan Naka kapan saja.
Saat mereka melewati minimarket Nara menarik-narik jaket Naka. "Mau jajan dulu."
Naka menghela napas, memberi sebuah tanda untuk berbelok lalu berhenti di parkiran minimarket. Nara turun lalu berlari masuk ke dalam dengan langkah kecil. Naka menggelengkan kepala. Gadis itu benar-benar bertingkah seperti anak kecil.
Sapaan dari penjaga minimarket di balas ceria oleh Nara. Membawa sebuah keranjang lalu berjalan di setiap lorong mengambil beberapa cemilan.
"Naka mau ini boleh?" tanya Nara saat Naka mengikutinya di belakang.
"Ambil aja, itu kan Lo yang makan."
"Bukan gitu."
"Terus?"
Nara terdiam, "A-aku nggak bisa masaknya."
Nara menatap mata Naka dengan memelas. Naka memutar bola matanya, merampas kasar Mie di tangan Nara lalu memasukannya ke dalam keranjang. Nara tersenyum lebar, kembali berjalan dengan ringan. Setelah 20 menit memilih mereka pergi di kasir. Naka mengambil satu bungkus rokok membuat Nara menoleh.
"Udah ganti rokoknya?"
"Hm."
"Kenapa?"
"Banyak tanya deh."
"Ih." Nara mendelik lalu mengambil beberapa coklat dan kinderjoy.
"Totalnya jadi 1.658.890." Nara memberikan kartunya dan menerima barang belanjaannya.
Sebuah bayangan di kepalanya mulai terlintas. Nara tersenyum dengan mengigit bibir bawahnya. Ah semoga saja bayangannya ini terealisasi kan.
***
"NAKAAAAAAAAAA." Naka yang sedang memejamkan mata sambil merokok terkejut mendengar teriakan Nara.
Dia buru-buru bangkit berjalan ke arah dapur yang tidak jauh dari kamarnya. Terlihat Nara naik ke atas meja dengan badan penuh tepung. Naka ingin marah tapi dia menahannya. Sepanjang jalan Nara terus merengek menginginkan ikut ke kosan. Bahkan dia berteriak tidak jelas membuatnya mau tidak mau membawanya. Sekarang sudah di bawa malah menyusahkan.
Nara yang melihat ada Naka menangis tiba-tiba, "Hiks a-ada tikus."
"Pulang aja deh."
"N-nggak mau. T-tadi tikusnya lewat kaki aku, n-nggak mau pulang hiks."
"Ya udah turun."
"Takut."
"Udah nggak ada."
"Gendong." Nara benar-benar ketakutan saat tadi sedang mengocok telur tiba-tiba sesuatu lewat di kakinya. Saat dia menunduk ternyata memang tikus begitu saja lewat. Niatnya dia ingin membuat pancake tapi ternyata malah gagal sebelum memulai.
Naka merentangkan tangannya, menerima tubuh Nara yang sekarang ada di gendongannya. Seperti inilah jika anak orang kaya berada di sebuah gubuk. Naka mencari lagi kontrakan baru yang lebih murah dan jauh dari yang sebelumnya. Kontrakan ini lumayan untuk di tepati olehnya walaupun tidak layak namun untuknya bisa bertahan beberapa waktu tidak masalah.
"Mau cuci tangan dulu." ujar Nara.
"Ck! Nyusahin."
"Yah maaf." Naka menurunkan Nara di pintu.
"Kamar mandinya dimana?" Sambil ketakutan Nara bertanya. Matanya berkeliaran kesana kemari takut jika tikus itu kembali mendatanginya.
"Tuh." Tunjuk Naka sambil membuka pintu rumahnya.
Nara hampir kembali menangis saat melihat kamar mandi yang bahkan jauh lebih buruk dari ini. Ada banyak orang-orang yang sedang berkumpul disana. Mereka sedang mencuci di tambah dengan beberapa bapak-bapak sedang duduk bermain. Mana kamar mandinya tidak ada pintunya. Lalu bagaimana Nara akan mencuci tangan?
"Anterin."
"Lo beneran nyusahin yah. Nggak bisa gitu liat gua tenang."
"Iya, iya, iya maaf tapi takut."
Dengan kasar Naka menarik Nara, membawa gadis itu ke kamar mandi. Nara hanya bisa pasrah karena bagaimana pun dia yang meminta ikut dengan Naka. Konsekuensi dia terima sendiri.
"Udah cepetan." Nara masuk ke dalam, buru-buru mencuci tangannya.
Bete, kesel, sebel, nggak suka, bisa-bisanya Naka hidup di tempat kaya gini. Ini gimana kalau ada binatang buas? Ular? Lebah? Biawak? Atau bisa jadi buaya. Ih nggak, nggak, nggak, pokonya Naka tinggal bareng gua mulai sekarang.
"Udah belum?" Nara terkejut. Dia menutup kembali airnya.
Nara tersenyum kecil saat beberapa warga disana menyapanya. Oke, untuk sosialiasi mereka ramah tapi bagi Nara yang tidak terlalu suka, tidak sepertinya.