“Kak ... sekarang kok jarang banget sih di rumah? Aku suka kangen tau ga,” protes Karin pada kakaknya.
“Jangan kaya anak kecil donk. Kan gw kerja, Rin.”
“Ya kerja tapi ga gitu juga donk. Masa iya dari jam 6 pagi kok udah pergi aja. Kan aku jd kaya kehilangan kakak.”
“Kamu harus ngerti donk. Sejak pindah kantor, kakak itu kerja di posisi bagus dan juga gajinya lumayan. Kan kalo gajinya mulai kerasa ntar kamu juga kan yang seneng.”
“Emang gaji kakak berapa?”
“Ada deh ... pokoknya jauh lebih besar dari yang dulu.”
“Bearti uang jajan Karin naik ya, Kak?”
“Dih ... ngarep banget kamu. Itu sarapan udah kakak siapin. Kamu makan sendiri ya.”
“Kakak ga makan dulu?”
“Udah bekel kok. Kakak jalan dulu ya.”
Karin merasa kehilangan sosok kakaknya. Dia memang belakangan ini merasa sendirian terus di rumah karena Kevia selalu berangkat pagi dan pulang malam. Semua ini karena ulah Sean yang terus menyiksanya dari pagi sampai malam.
Tapi Kevia sudah sangat bertekad kalau dia akan tetap bertahan di perusahaan itu apa pun yang terjadi. Kevia masih bisa menoleransi apa yang diminta oleh Sean. Memang sangat cerewet, tapi itu membuat Kevia semakin tertantang.
Seperti biasa pagi-pagi Kevia sudah ada di apartemen mewah milik Sean. Dia sudah menyiapkan kopi dan juga iPad pagi ini. Kevia ingin sarapan menu nasi goreng yang tadi dia masak di rumahnya. Dia tidak peduli kalau nanti atasannya itu akan marah karena dia tidak menyediakan makanan lain selain iPad.
“Kotak apa itu?” tanya Sean.
“Oh itu bekel saya, Bos.”
“Bekel? Kamu bekel makananan?”
“Saya harus makan, Bos. Kalo ga makan, saya bisa pingsan kalo harus kerja kaya kuda gitu.”
Sean melihat ke arah Kevia, “Kerja kaya kuda? Kamu bilang saya nyiksa kamu?”
“Eeh enggak kok, Bos. Ga banget. Cuma kan emang saya butuh tenaga ekstra,” ucap Kevia sambil nyengir.
Kevia datang ke meja makan dengan membawa satu cangkir teh hangat. Sean sudah lebih dulu duduk di meja meja makan dan sudah menghirup kopinya. Tangannya sudah memegang iPad untuk mengecek semua pekerjaannya.
Ada aroma yang menggoda indra penciuman Sean saat ini. Matanya refleks segera lirik ke arah Kevia yang sedang membuka kotak makannya. Dia melihat Kevia memakan nasi goreng itu, Sean sampai menelan ludahnya saat melihatnya, sepertinya nasi goreng itu sangat enak.
‘Wangi banget. Apa itu enak ya?’
‘Ah ga mungkin. Orang kaya dia mana mungkin bisa masak. Dia aja ga bisa dandan kok mau masak. Pasti ga enak tuh.’
Sean berusaha untuk mengingkari kenyataan kalau nasi goreng itu sangat menggodanya pagi ini. Sean ingin menanamkan sugesti pada dirinya sendiri kalau nasi goreng itu tidak enak. Kevia pasti tidak bisa memasak.
Tapi sayangnya sugesti itu tidak mempan pada diri Sean hari ini. Pemuda itu terus saja tergoda dengan aroma nasi goreng yang seolah menari-nari di hidungnya. Dia berkali-kali melirik sambil menelan ludah saat melihat Kevia makan sambil melihat ponsel ditangannya. Kevia benar-benar menikmati sarapannya tanpa memedulikan Sean.
Sean semakin kesal melihat asistennya yang seenaknya sendiri itu. Dia geram karena dari tadi Kevia tidak menawarinya sama sekali. Padahal dia juga lapar.
“Kev, makan di ruang tengah ato di dapur sana. Jangan makan di sini?”
“Emang kenapa?”
“Bau ... ngerusak konsentrasi ku aja.”
“Bau??? Saya masak ga pake pete kok.”
“Ya tapi tetep aja baunya ke mana-mana. Pindah sana! Nyebelin.”
Kruuug
Tiba-tiba ada suara tidak terduga yang terdengar di telinga dua insan manusia itu. Kevia kaget mendengar apa yang dia dengar lalu menundukkan kepalanya sambil terkikik.
Sean lebih malu lagi. Bagaimana perutnya itu bertindak tidak sopan tanpa ijin darinya. Mengeluarkan bunyi kelaparan yang sama sekali tidak di duga oleh dirinya sendiri.
“Oh jadi bau ya, Pak. Bau yang bikin laper,” sindir Kevia.
“Ga kok! Asam lambung saya lagi kambuh. Jadi kalo kena kopi ya suka gini.”
“Oh lagi kena asam lambung? Bentar saya ambilin obat, Pak.”
Kevia segera berdiri dan melangkah ke dapur. Dia mengambil piring, sendok dan juga garpu untuk dia bawa ke meja makan. Dia juga mengambilkan segelas air putih yang dia bawa serta ke meja.
Kevia menyendok nasi goreng yang masih belum terkena sentuhannya. Dia menaruh di atas piring lalu menatanya agar sedikit rapi. Tidak banyak porsinya, tapi cukuplah untuk mengganjal perut yang kosong.
“Silahkan di makan, Pak,” ucap Kevia sambip menghidangkan nasi goreng dan juga air putih di depan Sean.
“Apa-apaan ini! Saya ga makan berat kalo pagi. Apa kamu lupa sama semua aturan saya?”
“Ga lupa kok, Pak. Cuma kasian itu perut kalo di diemin terus. Entar cacingnya ngambek lho.”
“Kami nyindir saya?”
“Enggak ... saya cuma kesian aja ama perut Bapak yang pengen makan.makan dulu, Pak. Jadwal kita hari ini padat lho.”
Sean melirik tajam ke arah Kevia yang sidah kembali duduk dan menikmati sarapannya. Tangan Sean masih terlalu gengsi untuk mengambil piring yang ada di depannya itu.
Tapi yang namanya godaan pasti sangat luar biasa. Pertahanan Sean mulai runtuh saat Kevia sengaja makin mendekatkan piring itu ke hadapan Sean. Dia seolah di paksa untuk meruntuhkan tembok pertahanan gengsinya.
Melihat Kevia sedang mencuci piring dan juga gelas bekas dia makan, Sean segara saja melahap makanan laknat yang sedari tadi menggodanya itu. Dia tidak peduli dengan sindiran Kevia, yang penting dia ingin makan.
“Mulai besok pagi saya siapkan sarapan yang lebih sehat ya, Pak. Kasian perutnya kalo Cuma di isi kopi aja. Kan perut punya hak buat makan.”
“Kamu mau saya gemuk?”
“Sarapan ga akan bikin gemuk, Pak. Sarapan itu biar kita bisa kerja tenang saat pagi. Kan otak juga butuh baham bakar. Enak kan nasi goreng saya?”
“Lumayan. Ini juga karena ha ada pilihan. Eh ya Pak, 30 menit lagi kita ketemu klien di restoran bawah. Apa yang belum siap?”
“Ga ada. Berkas kamu aja siapkan. Nanti beres ketemu klien, kita belanja sekalian. Katanya kamu mau masak.”
“Ok, Bos.”
Setelah sarapan selesai, Kevia dan Sean segera turun ke lantai dasar. Mereka akan menemui klien yang sedang sangat terburu-buru. Pembicaraan tidak lama dan perjanjian pun terjadi. Pertemuan selanjutnya akan di urus belakangan.
Sesuai janjinya, Sean mengajak Kevia untuk ke supermarket yang kebetulan ada di sana juga. Kevia memilih beberapa buah dan bahan makanan yang dia perlukan di rumah Sean. Di dapur rumah itu memang tidak ada makanan apa pun.
“Sean,” sapa seseorang dari arah depan.
“Elina. Ngapain kami di sini?” tanya Sean sambil menatap ke arah gadis yang di depannya itu.
“Biasalah, aku lagi belanja buat tanteku yang juga di sini. Kamu inget donk? Tapi ini siapa?” tanya Elina sambil melihat ke arah Kevia dari atas ke bawah.
“Ini ... ini tunangan aku,” jawab Sean sambil merangkul tubuh mungil Kevia.
“Tunangan? Kamu ga salah?”
“Enggak! Dia emang tunangan aku. Dia akan segera jadi istri aku.”
“Sean ... dia calon mantu Mama?” terdengar suara lain dari arah belakang.
“Mama,” ucap Sean lemah.