Panggilan Sayang

1524 Words
Mungkin bagi Mahesa memendam perasaan adalah hal yang menyakitkan. Namun bagiku, kejujurannya adalah hal paling menyakitkan yang pernah kudengar dari mulutnya. Dia terang-terangan mengatakan masih mencintaiku dan akan tetap mencintaiku meski aku tidak bisa bersamanya. Itu terasa seperti duri ikan yang tersangkut di tenggorokan. Sakit, tapi aku tidak bisa mengeluarkannya. Sampai-sampai aku sempat berpikir untuk resign supaya aku bisa menghindari lelaki itu. Tapi apa yang harus kukatakan pada Gilang nantinya? Tentu saja aku masih ingat waktu aku merengek supaya Gilang mengizinkanku bekerja. Dan kalau tiba-tiba aku bilang mau resign, dia pasti akan bertanya-tanya apa alasanku. Sedangkan aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Gilang karena itu akan menyakiti hatinya. "Hei!" Aku terkejut waktu Mahesa tiba-tiba mengibaskan tangan di depan wajahku. Mungkin bukan tiba-tiba, tapi aku yang tidak menyadari kehadirannya. "Mikirin apa, sih?" Mahesa menggeser kursi lantas duduk di depanku. Kami sedang makan siang di kantin. Dia membawa segelas es jeruk yang tadi kupesan dan segelas es teh untuknya. "Banyaklah. Namanya juga manusia, ada aja yang dipikirin." Aku menjawab sok cuek lantas menarik gelas berisi es jeruk milikku. Kuaduk gula yang ada di dasar gelas hingga larut. Percayalah, itu kulakukan hanya untuk mengalihkan perhatianku dari Mahesa. Setelah larut baru aku meminumnya sedikit untuk sekadar membasahi kerongkonganku yang kering kerontang seperti musim kemarau. Dia mendengkus pelan lantas meminum es langsung dari gelas, tidak menggunakan sedotan. "Jangan bilang kamu lagi mikirin aku.” Aku tersedak. Payahnya es jeruk yang berusaha kutelan, sebagian keluar dari hidung hingga menimbulkan sensasi panas dan perih yang bersamaan. Ini sakit. “Pelan-pelan,” kata Mahesa sambil menepuk pelan punggungku. Aku tidak tahu sejak kapan dia berdiri di sampingku. Tahu-tahu dia sudah ada di sana dan melakukan hal itu. Dia baru kembali ke kursinya ketika aku bilang kalau aku sudah tidak apa-apa meski sesekali masih terbatuk. Kembali pada apa yang diucapkan Mahesa. Aku ingin sekali bilang tidak, tapi nyatanya aku memang sedang memikirkan dia. Bahkan tak jarang waktuku tersita hanya untuk menilai seberapa dalam aku menorehkan luka di hati Mahesa. Setelah dulu orang tuaku menolak lamarannya, sekarang dia harus kembali mendapatkan penolakan dariku karena sesuatu yang tak bisa kuhindari lagi. Entahlah, kurasa ini hanya rasa kasihan. Mungkin. Dia sangat baik. Aku pernah sangat mencintainya. Sekarang mungkin masih, hanya saja tidak seperti dulu lagi karena sudah ada Gilang juga yang mengisi hatiku. Aku hanya tidak tahu mengapa rasanya sesakit ini ketika harus menolak Mahesa lagi. Melihat Mahesa yang selalu bersikap baik kepadaku sebenarnya juga terasa menyakitkan. Dia tahu aku sudah menikah tapi masih saja memberiku perhatian yang luar biasa. Seperti hal kecil yang baru saja terjadi. “Kan sudah dibilang nggak usah mikirin aku. Jadi kesedak, ‘kan?” kata Mahesa yang membuatku seolah kembali ditarik ke dunia nyata setelah berselancar bersama pikiranku sendiri. "Iya, mikirin kamu kapan nikahnya," candaku untuk mrncairkan suasana. Namun yang terjadi tidak seperti yang kuharapkan. Niatku adalah untuk membuatnya tertawa, tapi dia justru diam dengan pandangan mengarah pada gelas sambil mengaduk es teh di dalamnya dengan sendok. "Aku salah ngomong, ya?" Hati-hati aku mengatakannya karena takut Mahesa marah meski aku tahu dia bukan tipe orang yang gampang tersinggung. Dia mengangkat pandangan padaku dengan bibir melengkung ke atas. Aku bersyukur dia tidak marah. "Kamu nggak salah ngomong, Zi. Hanya saja, aku sendiri juga nggak tahu kapan perasaanku ke kamu ini bisa pupus." Dia yang mengatakan itu tapi aku yang merasa ngilu di dalam hati. Beruntung saat itu pesanan kami datang. Jadi aku tidak harus menanggapi ucapan Mahesa yang tetiba membuatku salah tingkah. "Di sini tumis jamurnya enak, lho. Kamu udah nyoba belum?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan yang pada akhirnya kusadari kalau pengalihanku itu konyol sekali. Kupasang senyum bodoh sambil menggaruk kepala saat dia terkekeh. Tentu saja dia sudah hafal betul apa saja menu di sini, dan untuk tumis jamur itu … aku hanya mengarang. Aku bahkan belum pernah mencobanya. Ini adalah pertama kalinya aku memesan tumis jamur. "Buruan dimakan, keburu jam istirahat habis," kata Mahesa yang diakhiri dengan melipat bibir. Aku yakin dia sedang menahan tawa. "Kelihatan banget, ya?" Kupaksakan tersenyum padanya. Pasti terlihat bodoh sekali. Dia cuma menggeleng sambil tersenyum, tanpa membalas ucapanku. Seolah-olah dia tidak ingin aku merasa malu karena ketahuan mengarang. Aku pun segera menyantap makanan pesananku seperti yang dia katakan. Hanya butuh waktu lima belas menit bagi kami untuk menyantap makan siang tersebut. Dan pada saat itu, ponselku berdering. Gilang menelepon. Kuraih ponsel itu sambil melirik Mahesa yang baru menghabiskan es teh di gelasnya. "Angkat aja," kata Mahesa. Aku memang bodoh. Harusnya untuk menjawab telepon dari suamiku sendiri, aku tidak perlu ragu dan tidak perlu meminta persetujuan Mahesa. Namun aku justru melihat padanya seolah dia adalah orang yang perlu kumintai izin. Mahesa meninggalkanku untuk membayar makanan kami waktu aku menjawab telepon dari Gilang. "Halo," sapaku saat telepon itu tersambung. "Lagi makan siang, ya?" Suara Gilang terdengar lantang di telingaku. "Iya. Kamu udah makan siang?" tanyaku. "Udah. Ini anak satu kantor dapat traktiran dari Mira. Dia lagi ulang tahun." "Oya? Sampaikan ucapan selamatku untuk Mira, ya,” kataku dengan semangat. Mira itu teman kerja Gilang, lebih tepatnya tangan kanan Gilang. Semacam asisten atau apalah, aku lupa Gilang menyebutnya apa. Aku pun sempat beberapa kali bertemu dengannya. Dia sangat baik. Waktu aku sakit pun dia menyempatkan diri untuk menjenguk. Kalau aku tahu dia ulang tahun, aku pasti akan memberinya kado. Sayangnya Gilang tidak memberitahuku sebelumnya. "Sayang," panggil Gilang dengan nada lembut, "nanti malam aku nggak bisa pulang," katanya dengan suara yang terdengar menyesal. "Kenapa?" Aku mengerutkan kening. Rabu kemarin dia sudah tidak pulang karena banyak pekerjaan, dan Rabu ini dia tidak bisa pulang lagi. Padahal aku butuh sekali kehadirannya untuk memperkokoh benteng di dalam hatiku agar tidak terjatuh pada pesona Mahesa. "Mira ngundang kami ke acara ulang tahunnya. Aku ngerasa nggak enak kalau nggak ikut datang. Kamu tahu sendiri, ‘kan, gimana kontribusi Mira pada kerjaanku." Dari suaranya, Gilang terdengar menyesalkan keadaan ini juga. Satu minggu kami tidak bertemu. Kalau minggu ini dia tidak pulang, bisa jadi dua minggu kami tidak akan bertemu. Karena jadwal pulang Gilang di tengah minggu juga sering batal sejak pembukaan cabang baru. "Owh ... ya udah, nggak apa-apa," kataku lirih. "Kamu marah?" Mungkin Gilang khawatir. Suaranya, sih, terdengar begitu. Sebetulnya aku tidak marah, tapi kecewa. Hanya saja … aku juga tidak bisa menuntutnya terlalu banyak. Aku tahu betul bagaimana rasanya jika berada dalam posisi Gilang. Untuk itu aku berusaha memahami, mengerti apa yang dia lakukan. "Aku nggak marah," kataku dengan nada bicara yang kubuat selembut mungkin supaya dia tahu kalau aku tidak mempermasalahkan hal ini. "Kalau kamu nggak ngizinin ... nggak apa-apa, biar aku bilang ke Mira kalau aku nggak bisa ikut." "Jangan!" kataku cepat. "Aku ngerti, kok. Beneran, nggak apa-apa." Aku meyakinkannya kalau aku tidak melarang. Dia diam sejenak, lantas bicara lagi. "Ya udah, nanti kalau waktunya cukup, aku bakal langsung pulang setelah dari acara." "Sayang ...." Aku berhenti bicara waktu Mahesa kembali duduk di kursi yang dia tempati tadi. Aku merasa tidak enak padanya. Apa dia mendengarku memanggil Gilang dengan panggilan 'Sayang'? "Sayang?" Kudengar suara Gilang lagi. Buru-buru kuputus pandanganku dari Mahesa dan fokus lagi pada Gilang. "Eh, Iya, sori tadi ada … temenku." Aku bilang begitu sambil melirik Mahesa. "Owh... kamu tadi mau ngomong apa?" Dia bertanya seolah tak curiga. "Umh ...." Aduh, aku lupa tadi mau ngomong apa. Aku memejam sejenak, berusaha mengingat apa yang tadi ingin kukatakan pada Gilang. Butuh waktu sekitar tiga detik untuk mengingatnya. "Jangan dipaksain, nanti kamu kecapekan. Aku nggak apa-apa, kok," lanjutku. "Bener, nggak apa-apa?" Sepertinya Gilang kurang yakin dengan ucapanku. Aku tersenyum lalu menjawab, "Bener, Sayang." Setelah yakin kalau aku tidak mempermasalahkan ketidakpulangannya, Gilang segera mengakhiri sambungan telepon kami. Tentu saja kami mengakhirinya dengan kata cinta seperti biasa. "Love you too," balasku sebelum mengakhiri panggilan. Sisa senyumku langsung lenyap saat aku menyadari bahwa Mahesa sedang duduk mendengarkan pembicaraanku dengan Gilang. Tahu bagaimana wajahnya saat itu? Dia tampak terluka, tapi aku tidak bisa apa-apa. Sudah menjadi kebiasaanku dan Gilang untuk mengakhiri panggilan dengan kata cinta. Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaan Mahesa. Ah, salah. Ini terbalik. Tidak begini seharusnya. Aku bebas memanggil Gilang dengan panggilan ‘sayang’ kapan pun yang aku mau. Yang salah itu jika aku merasa takut menyakiti hati Mahesa ketika aku memanggil ‘sayang’ pada suamiku sendiri. "Sudah?" tanya Mahesa setelah beberapa saat menatapku dalam diam. Aku mengangguk. Setelah itu, dia mengajakku kembali ke kantor seolah tidak pernah terjadi apa-apa barusan. Aku menurut saja, toh sebentar lagi jam istirahat akan habis dan kami harus kembali bekerja. Aku bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk melupakan kejadian barusan. "Suami kamu nggak pulang?" tanya Mahesa ketika kami sedang menaiki anak tangga menuju lantai tiga ruko. "Enggak. Temennya ada yang ngerayain ulang tahun," jawabku jujur. "Gimana kalau malam ini kamu ikut ke pembukaan cafe temanku? Biar kamu nggak kesepian." Mahesa berhenti melangkah dan menghadapkan tubuhnya padaku. "Tapi—" "Udah, nggak ada tapi-tapian. Nanti malam aku jemput kamu jam tujuh. Okay?" Mahesa tersenyum lebar lalu kembali melangkah meninggalkanku yang masih kebingungan, seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Kutatap punggung Mahesa yang kian menjauh dan menghilang di belokan tangga. Jujur aku sangat ingin pergi dengannya, tapi ... apa ini hal yang benar untuk dilakukan? Haruskah aku pergi dengannya di saat Gilang tidak ada di rumah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD