Pembukaan Cafe

1604 Words
Benar atau salah keputusanku menerima ajakan Mahesa untuk menghadiri acara pembukaan cafe milik temannya, aku tetap saja melakukan itu. Di depan cermin, aku mematut diri. Memperhatikan pantulan wajahku di dalam cermin dengan riasan tipis seperti yang biasa kulakukan saat akan pergi dengan Gilang. “Gilang …,” lirihku sambil melemaskan bahu. Apa ini sudah termasuk dalam kategori perselingkuhan? Rasanya berdosa sekali ketika aku merencanakan pergi bersama dengan Mahesa di saat Gilang tidak di rumah. Hh … aku tahu ini salah. Aku tak semestinya pergi, tapi …. Sumpah, aku benci dengan perasaanku sendiri. Ini salah, tapi aku juga menginginkannya. Ada sebagian dari hatiku yang berbunga-bunga saat menunggu Mahesa datang, dan itu membuat jantungku berdebar-debar tak jelas. Mahesa bilang, acara ini bukan acara besar yang harus dihadiri dengan berpakaian resmi. Jadi, dia memintaku untuk memakai pakaian kasual. Dan pilihanku jatuh pada blus bermotif bunga dengan renda di bagian bahu serta celana jins biru muda. Bibirku melengkung tipis, teringat kenangan bersama Mahesa dulu. Setiap kami akan menghadiri suatu acara, dia pasti akan memperingatkanku untuk tidak berdandan secara berlebihan. "Kamu itu sudah cantik natural, riasan tebal hanya akan menutupi kecantikan kamu." Itulah kalimat yang sering diucapkan Mahesa. Biasanya dia akan mengatakan itu sambil mengangkat daguku dan meneliti wajahku dari sisi kanan, kiri, atas, bawah … dan aku menyukainya. Salah, kalau kalian pikir aku pergi tanpa izin dari Gilang. Tadi, sepulang kerja, aku sudah menelepon Gilang untuk meminta izin padanya bahwa aku akan menghadiri sebuah acara pembukaan cafe. Namun, ada satu hal yang tidak kuberitahukan padanya, yaitu tentang siapa yang akan pergi denganku. Dia percaya waktu aku bilang aku akan pergi dengan teman satu kantor. Aku tidak berbohong. Aku mengatakan yang sebenarnya. Meski di dalam hatiku ada yang berbisik bahwa yang aku katakan pada Gilang itu tetap saja salah, tapi daun telingaku seolah menutup sendiri, menolak bisikan yang mengatakn bahwa apa yang kulakukan ini salah. Ini seperti ada malaikat di telinga kanan yang berbisik bahwa aku harus membatalkan rencana ini, dan iblis di telinga kiri yang berteriak bahwa acara ini hanya sebentar dan aku bisa cepat kembali tanpa ketahuan oleh Gilang. Waktu ada suara pintu diketuk, aku masih berada di dalam kamar. Sebenarnya aku sudah siap dari tadi, hanya saja aku malas menunggu di luar. Aku terlalu sibuk menutup telinga dari bisikan malaikat yang masih berbaik hati mau mengingatkanku. Aku segera berdiri dan mengambil tas jinjing yang telah kusiapkan. Sebelum membuka pintu, lebih dulu aku melihat siapa yang mengetuk melalui hole door. Zaman sekarang memang harus berhati-hati. Gilang sering berpesan padaku, kalau ada orang asing yang mengetuk pintu, jangan buru-buru dibuka. Waspada itu perlu, apalagi setiap harinya aku di rumah sendirian. Bisa jadi target empuk bagi orang-orang yang memiliki niat jahat. "Pastikan dulu, siapa dia dan apa kepentingannya. Tanya lewat jendela. Biar saja dikata nggak sopan, karena itu demi keamanan dan keselamatan kita sendiri." Setiap mau berangkat bekerja, Gilang selalu berpesan seperti itu padaku. Berkali-kali dia mengingatkan aku untuk berhati-hati pada orang asing. Dia sangat mengkhawatirkanku yang setiap hari berangkat dan pulang kerja sendiri. Ya, dia sesayang itu padaku. Pintu itu baru kubuka setelah aku mengetahui bahwa orang yang berdiri di depan pintu rumah adalah Mahesa. Dia kelihatan ganteng sekali dengan kemeja biru tua itu. Terutama saat dia melipat bibir sambil menggerakkan bola matanya dengan liar ke sekitar rumah. Ah, Zizi! Kurapatkan bibir saat aku justru mengagumi penampilan Mahesa melalui hole door, alih-alih segera membuka pintu dan melihatnya secara langsung. "Selamat malam," sapa Mahesa dengan senyum hangat yang menular padaku. Pipiku rasanya panas, mungkin sekarang bersemu merah karena senyum manis itu. Aku mengerjap cepat untuk memutus ikatan emosional yang membuatku seperti orang bodoh di depan Mahesa. "Kok kamu keluar, sih? Kan aku sudah bilang, kamu tunggu di mobil aja. Aku nggak enak sama tetangga," kataku, sedikit protes karena dia tidak mendengar ucapanku. Selain karena dia tak mendengarkanku, protes itu juga kugunakan untuk menutupi kegugupanku. Senyum di wajah lelaki itu semakin lebar. Kedua matanya yang memendarkan cahaya lampu dari dalam rumah terlihat begitu indah. Sungguh, aku harus berusaha sangat keras untuk bisa berpaling dari manik indah itu. "Kamu semakin cantik," komentarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Ucapannya sama sekali tidak memberiku jawaban, tapi justru membuatku semakin berdebar-debar. Untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, aku berpaling pada saklar lampu dan mematikannya. Setelah itu aku menghela napas pelan lantas keluar dan menutup pintu rumah. “Ayo, keburu malam,” ajakku. Aku sedikit menjaga jarak waktu kami berjalan menuju mobilnya yang diparkir di depan pagar. Jujur, aku sangat takut kalau ada tetangga yang melihat kami. Pasti mereka akan menggosipkanku yang tidak-tidak. Eh? Bukankah yang kulakukan ini memang hal yang tidak-tidak? Aku pergi dengan lelaki yang bukan suamiku. Bukankah ini memang salah? Jadi bukan salah tetangga jika mereka berpikir macam-macam tentangku. Bahkan jika mereka menghakimiku, mereka hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Semakin aku memikirkan hal itu, otakku semakin gencar melakukan penyangkalan. Jadi aku lebih memilih untuk tidak memikirkannya lagi, karena semakin banyak aku menyangkal, aku merasa semakin gila. "Nggak nyangka aku bisa kencan sama kamu lagi," celetuk Mahesa waktu kami sudah di dalam mobil. Kepalaku berputar cepat ke arahnya. Kencan? Apa Mahesa membohongiku soal pembukaan cafe itu? "Aku bercanda," ralatnya sambil nyengir. Sepertinya dia menyadari pertanyaan tak terucap dariku itu. Lantas dia tersenyum. Senyum yang kulihat di wajahnya tampak seperti senyum geli. Mungkin karena dia melihat perubahan ekspresi di wajahku. "Kamu jangan main-main, dong. Bener nggak kita mau ke acara pembukaan cafe?" desakku. Aku memang tidak keberatan pergi dengan Mahesa. Tapi kalau dia berbohong untuk bisa pergi denganku, aku tidak suka. Aku benci dibohongi. Dia menghela napas lantas menoleh padaku sebentar. "Aku nggak bohong, kalau itu yang kamu maksud. Kita memang mau ke acara pembukaan cafe temanku." Dari raut wajahnya, dia terlihat bersungguh-sungguh. Mudah saja menebak dia jujur atau berbohong, karena aku pernah sangat mengenalnya. Setelah itu aku baru bisa bernapas dengan lega. Perjalanan kami terus berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan yang semakin aku terlibat semakin sering aku dibuat tertawa oleh ocehan Mahesa. Aku pun sudah lupa bahwa di bagian lain provinsi ini ada Gilang yang mungkin saja sedang memikirkanku. "Aku itu pengin boncengin kamu pakai motor kayak dulu," kata Mahesa. Aku berdecak sambil menatap malas padanya. "Jangan mulai, deh! Kita nggak bisa kayak gitu lagi." "Bisa, kok. Kalau kamu mau," balasnya cepat. "Hes ...." Aku melihat padanya, memasang wajah memohon supaya dia tidak memancing pembicaraan yang membuatku goyah. Aku bisa bersikap biasa saja ketika dia tak membahas masalah pribadi. Namun jika pembicaraan kami sudah mulai mengarah ke hal-hal yang tidak seharusnya, itu hanya akan membuatku semakin insecure pada diri sendiri. Aku merasa menjadi perempuan paling berdosa di dunia ini. "Iya … aku ngerti," katanya lagi sambil tersenyum kecil. Untuk sesaat kami berdua terdiam. Sesekali aku melirik Mahesa. Rasanya aku tidak tega menyakitinya seperti ini. Dulu, dia dihina oleh keluargaku, tapi dia masih saja bersikap baik. Dia bahkan cerita kalau dia pernah kembali ke rumah untuk melamarku. Hal yang tidak pernah kuketahui. Orang tuaku tidak pernah mengatakan apa pun tentang hal itu. Mungkin mereka sengaja menyembunyikannya dariku. "Eh, motor kamu yang itu masih ada?" tanyaku untuk memecah keheningan. "Masih." Dia menoleh sebentar padaku. "Motor itu banyak banget kenangannya. Aku nggak akan pernah jual itu motor." Meski dia tidak bilang, tapi aku merasa kalau kenangan yang dia maksud adalah kenangan bersamaku. Bukan tanpa alasan aku bilang begitu. Waktu membeli motor itu, aku yang memilihkan warnanya. Motor tersebut juga menjadi saksi cinta kami, karena Mahesa selalu mengantar dan menjemputku kuliah dengan motor itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan keluargaku. "Kita sudah sampai," kata Mahesa. Dia membelokkan laju mobil ke arah sebuah cafe yang memiliki pelataran cukup luas sebagai tempat parkir. Kami turun lantas berjalan berdampingan menuju café itu. "Pemilik cafe ini adalah temanku yang ngenalin aku sama Prisma Group. Namanya Deni." Mahesa memberitahuku. "Dia pernah kerja di Prisma juga?" tanyaku. "Enggak." Mahesa menggeleng. "Deni itu temannya Lisa." "Berarti kamu kenal mbak Lisa udah lama, dong?" Mahesa mengangkat bahu. "Baru waktu aku diangkat menjadi Manager. Sebelumnya aku bahkan nggak tahu kalau Deni ini temannya Lisa." Ngomong-ngomong soal mbak Lisa, aku jadi teringat sesuatu. "Mbak Lisa beruntung banget, ya. Bisa nikah sama Pak Erlang. Memangnya mereka pacaran sudah lama?" tanyaku. Sebenarnya aku penasaran dengan hubungan mbak Lisa dan Pak Erlang ini. Aku tidak mengira kalau mbak Lisa ternyata waktu itu sudah mau menikah. Kalau tidak salah, sekitar dua mingguan setelah aku dimutasi. Mana dia menikah dengan anak pemilik perusahaan lagi. Ya … meski aku sering mendengar slentingan-slentingan yang tidak enak tentang Pak Erlang. Aku hanya tidak menyangka bahwa mereka sekarang sudah menikah. "Mh ... Lisa, ya?” Mahesa menggaruk kepala. “Dia itu ...." Lelaki itu berjalan sambil menunduk. Mungkin aku salah, tapi aku sempat melihat Mahesa mengerutkan kening, seolah sedang memikirkan sesuatu. "Hesa!" Ada yang meneriakkan nama Mahesa dari kejauhan. Kami menoleh waktu seorang laki-laki memanggil lalu melambai ke arah kami. Panggilan itu disambut senyum lebar oleh yang punya nama. Lantas kami berjalan menghampiri orang tersebut. "Den!" balas Mahesa ketika kami sudah sampai di depan laki-laki tadi. Aku yakin bahwa lelaki ini adalah Deni yang dibilang Mahesa sebagai pemilik café ini. "Gue udah nungguin lo dari tadi." Laki-laki yang kuyakini sebagai Deni itu tersenyum lebar pada Mahesa. "Gue tadi … jemput dia dulu," kata Mahesa pada laki-laki itu sambil menelengkan kepala ke arahku. Lantas dia menoleh padaku. "Kenalin, ini Deni, temanku." Mahesa memperkenalkan temannya. "Zizi," kataku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. "Deni." Laki-laki itu membalas uluran tanganku sambil terus memperhatikan diriku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jujur aku tidak nyaman diperhatikan seperti itu. Untung saja dia segera mengalihkan pandangan pada Mahesa. "Cewek lo?" tanya Deni pada Mahesa. Aku ingin menyanggah, tapi aku lebih dulu dibuat terkejut waktu tiba-tiba Mahesa merengkuh pinggangku sambil menjawab, "Satu-satunya cewek yang ada di hati gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD