Air mataku rasanya tidak mau berhenti mengalir. Semenjak pulang dari rumah ibu mertuaku, aku terus menangis meski tak bersuara. Ini bukan pertama kalinya terjadi padaku, tapi rasa sakit di dalam hatiku terasa seperti luka basah yang disiram dengan air jeruk. Perih sekali.
"Maafin mama ya, Sayang," kata Gilang saat mobil yang kami tumpangi sudah sampai di depan pagar rumah.
Kadang aku tidak mengerti dengan sikap ibu mertuaku. Aku tahu mama itu orang yang baik, tapi terkadang mama seperti tidak sadar kalau ucapannya menyakitiku. Entah tidak sadar atau pura-pura tidak sadar, aku juga tidak tahu. Namun rasanya sungguh sangat menyakitkan kalau sering tidak dipercaya untuk hal-hal sepele sekalipun.
Setiap kali Gilang meminta maaf untuk mamanya, tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengangguk. Aku tidak bisa menutup mata begitu saja. Gilang pun telah banyak berkorban demi kepentinganku, demi menuruti keinginanku. Aku pernah membuat Gilang berantem dengan mama karena aku menginginkan kami tinggal terpisah. Gilang berada di pihakku. Dia rela didiamkan oleh mama selama satu bulan demi menuruti keinginanku itu.
Bukan tanpa alasan aku meminta untuk tinggal terpisah. Gilang mengerti dan dia paham dengan alasan mengapa aku menginginkan hal itu. Yah, dia tahu kalau lama-lama aku bisa membenci mama jika kami terus tinggal bersama.
Kubiarkan Gilang yang turun untuk membuka pintu gerbang. Dengan suasana hati seperti ini, aku malas untuk melakukan apa pun. Setelah mobil terparkir di halaman, aku baru turun dengan malas.
Saat menutup pintu mobil, tak sengaja kedua mataku menangkap sebuah mobil melintas pelan di depan rumah. Mobil berwarna putih itu tampak tidak asing. Keningku berkerut sambil terus memperhatikan mobil yang melaju lambat tersebut. Kepalaku bahkan ikut berputar mengikuti arah lajunya. Lalu kulihat si Pengemudi menurunkan kaca jendela. Betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa pengemudi itu.
"Hesa?" gumamku lirih.
Laju mobil itu berhenti. Mahesa terus menatapku dari dalam mobil. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, ekspresinya tampak datar. Oh, bukan! Dulu aku pernah melihatnya dengan ekspresi seperti itu. Dia kecewa. Sesaat kemudian dia menaikkan kaca jendela dan kembali melajukan mobil. Pelan tapi pasti, mobil Mahesa meninggalkan jalanan di depan rumahku.
"Sayang," panggil Gilang.
Aku berjingkat lalu berpaling ke belakang, melihat Gilang yang sudah membuka pintu. Sebelum aku melangkah meninggalkan mobil, kutengok lagi arah perginya Mahesa. Ada yang tak biasa di dalam dadaku. Perasaan yang tidak seharusnya kurasakan, yaitu takut. Aku takut Mahesa marah.
Dari apa yang kurasakan itu, puncaknya adalah ketika aku kembali masuk kerja setelah libur dua hari. Memasuki ruang kerja yang sudah dua bulan kutempati itu berasa seperti mau masuk kandang macan. Di depan ruko, aku sudah melihat mobil Mahesa terparkir rapi. Itu tandanya lelaki itu sudah datang, dan aku yang datang belakangan merasa ragu untuk masuk.
Setelah beberapa kali melakukan inhale dan exhale, aku menggeser pintu kaca di depanku ke kanan. Saat pintu itu terbuka, pandanganku langsung terjatuh pada lelaki yang sedang duduk di balik meja kerja.
"Pagi, Pak," sapaku ragu-ragu. Aku tidak berani memanggil namanya.
Kakiku melangkah masuk, mengarah ke meja kerja yang ada di sisi kiri ruangan.
"Pagi," balas Mahesa, melihatku sekilas sambil tersenyum tipis lalu menurunkan pandangan pada apa yang tengah dia kerjakan lagi.
Kutarik kursi kerjaku pelan-pelan lalu aku duduk di sana. Rasanya aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Mahesa. Entah, aku juga bingung kenapa aku merasa bersalah seperti ini padanya. Padahal aku tidak melakukan kesalahan. Haruskah aku memberi penjelasan dan meminta maaf?
Mungkin aku terlalu percaya diri, tapi aku yakin kalau hari itu sikap Mahesa sedikit berbeda. Dia jadi lebih pendiam, meski tidak sedang sibuk. Hanya sesekali dia mengajakku berbicara, itupun tentang pekerjaan. Tidak seperti biasa yang suka jahil padaku.
"Saldo permasalahan sampai minggu ketiga kemarin berapa, Zi?" tanya Mahesa.
Respons yang kukeluarkan seperti orang bodoh. Aku tergagap, seketika otakku kosong. Padahal aku tinggal membuka data yang kusimpan di laci untuk melihat jumlah saldo permasalahan itu.
"Um ... bentar." Aku membuka laci lalu membolak-balik beberapa map yang ada di sana.
Aku mengeluh dalam hati, kenapa di saat seperti ini map berisi data saldo permasalahan itu sulit sekali ditemukan? Kuhela napas panjang sekali sambil memejamkan mata. Setelah itu aku berusaha menjernihkan pikiran dan mulai mencari lagi. Ternyata, map yang aku cari itu memang tidak ada di dalam laci karena aku sudah mengeluarkannya sejak tadi. Map itu ada di atas meja, bertumpuk dengan buku administrasi yang lain. Aku melirik Mahesa sebentar, takut kalau dia marah. Tapi ternyata dia sedang fokus pada ponsel.
"Saldo permasalahan sampai minggu ketiga ada 4.567.500, Pak." Sengaja aku tidak menyebut namanya langsung, dan dia tidak protes seperti biasanya.
Pandangan Mahesa terangkat padaku. "Anggotanya berapa?" tanyanya lagi.
"Delapan anggota," jawabku cepat.
Dia manggut-manggut, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku semakin bingung, apa dia benar-benar marah? Atau mungkin dia menungguku mengatakan sesuatu? Ah, ya ... mungkin aku memang harus membuka pembicaraan terlebih dahulu. Rasanya sangat tidak enak bekerja dalam satu ruangan tetapi kami hanya saling diam seperti ini.
"Kemarin ... aku lihat kamu lewat depan rumah. Kamu … dari mana?" tanyaku ragu-ragu, takut dia akan bereaksi tidak seperti yang kuharapkan.
Kugigit bibir dalamku karena grogi. Aku tidak berani melihatnya lama-lama. Apa pertanyaanku sudah tepat?
"Dari rumah," jawabnya.
Mendengar jawaban itu, segera kuangkat pandangan pada Mahesa. Dia dari rumah? Terus mau ke mana? Kenapa lewat depan rumahku?
"Kamu ... mau ke mana?" Akhirnya aku pun ingin tahu.
Dia tersenyum tipis. "Mau ke rumah kamu," jawabnya santai seolah tak terbebani oleh apa pun.
Meski dia menjawab dengan nada santai, tapi yang kurasa kalimat itu menghantam keras ke dadaku. Dia bermaksud datang ke rumah, pasti untuk bertemu denganku, bukan?
"K-ke rumahku?" Aku terbata dengan jari yang menunjuk diriku sendiri.
Dia mengangguk. Sejenak kemudian ekspresi Mahesa terlihat sedang memikirkan sesuatu. Sengaja aku diam, menunggunya mengatakan sesuatu lagi. Dan dugaanku benar. Dia melihatku dengan alis tebalnya yang sedikit berkerut.
"Nanti aku antar pulang, ya. Ada yang mau aku omongin sama kamu," kata Mahesa.
Diantar pulang lagi? Aku sudah pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima tawaran pulang bersama lagi. Lalu, aku harus menjawab apa sekarang?
"Please!" Dia memasang wajah memohon. Mungkin dia menyadari kegalauanku.
Rasa bersalah yang bercokol di dalam hati memaksa kepalaku untuk mengangguk meski bibirku bungkam. Dan lihatlah sekarang! Senyumnya terlihat lega sekali.
"Makasih, Zi."
Kuhela napas dalam lalu melanjutkan pekerjaan. Sepertinya bukan hanya dia yang punya hal untuk dibicarakan. Aku pun memiliki hal yang ingin kukatakan padanya, yaitu tentang statusku.
Aku tahu ini tidak benar. Tidak seharusnya aku pulang bersamanya lagi. Namun aku juga merasa ini sudah saatnya bagiku untuk jujur. Mahesa harus tahu kalau aku sudah menikah, supaya kami tetap bisa menjaga jarak. Aku harus segera mengakhiri semua ini. Aku harus menutup semua celah kesalahan sebelum semua terlambat dan berakhir menjadi sangat buruk.
Bukan dia yang kutakutkan akan mendekatiku lagi, tapi aku takut kalau aku akan terjatuh dalam pesonanya seperti beberapa tahun lalu.