Brownis untuk Mama

1624 Words
Gilang sudah menunggu di mobil sementara aku harus mengunci pintu lebih dulu sebelum kami berangkat ke rumah ibu mertuaku. Sudah hampir dua bulan kami tidak berkunjung ke sana karena pekerjaan Gilang yang sedang banyak-banyaknya. Dan hari ini, setelah mengalami penundaan beberapa kali, kami akhirnya bisa berkunjung ke sana juga. "Kue yang aku beli kemarin sudah dibawa, kan?" tanyaku saat masuk ke mobil. "Ada di belakang. Memangnya kamu beli kue apa buat mama?" Gilang menoleh sekilas padaku, lalu mulai menyalakan mesin. "Brownis kukus. Aku juga beli bolu Jepang kesukaan Ardi," jawabku. Ardi adalah adik Gilang yang masih duduk di bangku SMA. Tahun ini dia lulus dan rencananya akan melanjutkan kuliah di Universitas yang ada di dekat rumah kami. Mama sudah berpesan jika nanti Ardi jadi kuliah di sana, adik iparku itu akan tinggal bersama kami. Aku tidak keberatan, karena Ardi ini anaknya tidak neko-neko. Hampir samalah kayak Gilang. "Kamu nggak beli brownis di toko biasanya, ya? Bungkusnya kayak beda, gitu." Aku tidak menyangka kalau Gilang memperhatikan bungkus kue-kue itu. Kulirik dia sekilas yang ternyata sedang menoleh padaku. Namun aku langsung mengalihkan pandangan darinya. "Aku ... beli di dekat kantor," jawabku sambil menunduk, tak sanggup melihatnya. Tiba-tiba jantungku berdentum-dentum hebat hanya karena pertanyaan itu. Mungkin karena aku berbohong. Kue-kue itu tidak aku beli di dekat kantor, bahkan aku sama sekali tak mengeluarkan uang untuk brownis itu, karena Mahesa yang memberikannya padaku. Dua hari lalu Mahesa rapat koordinasi di kantor pusat, dia membawakanku tiga boks brownis kukus dengan varian rasa berbeda. Dia bilang rasanya enak. Aku membuka satu boks varian rasa matcha dan memakannya bersama staf-staf di kantor, rasanya memang benar-benar enak. Lebih enak dari kue yang biasa kubeli di toko biasanya.. Tak hanya itu, Mahesa juga yang menemaniku membeli bolu Jepang waktu pulang kerja kemarin. Ya, dia mengantarku pulang. Tentu saja aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Gilang. Tapi aku berjanji itu adalah yang pertama dan terakhir Mahesa mengantarku pulang. Sambil menyetir, Gilang meraih tanganku lalu menggenggamnya. "Makasih, ya. Kamu udah perhatian sama keluargaku." "Apa harus, kamu berterima kasih seperti itu?" Aku mencebik sambil menatapnya malas. Sebisa mungkin aku bersikap biasa, menekan rasa tak nyaman yang bercokol di dalam hati. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depan kami, dia tersenyum. Genggaman tangannya kurasakan semakin erat. Lantas dia mencium punggung tanganku. "Setelah semua yang kita lalui ... aku merasa harus berterima kasih." Dia berpaling sebentar padaku lalu mengemudi lagi seperti biasa dengan satu tangan yang masih menggenggam tanganku. Aku mengembuskan napas pelan lalu berpaling ke jendela. Mendengar Gilang berkata seperti itu, dadaku terasa sesak sekali. Harus kuakui kalau aku ini mudah sekali terbawa perasaan. Terkadang aku merasa terlalu sensitif dengan ucapan orang lain. Dan kalau aku merasa seseorang mencubit hatiku, aku akan sulit untuk bisa bersikap biasa lagi padanya. Ini semacam ... apa, ya? Jika aku menyebutnya dendam ... sepertinya tidak tepat. Aku hanya tidak mudah melupakan rasa sakit hati pada orang yang telah menyenggol perasaanku. "Sudah dua tahun, lho. Tapi kita belum juga dikasih momongan," kataku sambil menunduk. Gilang melepas genggamannya lalu membelai rambutku sambil tersenyum. "Sabar. Itu tandanya kita disuruh belajar lebih banyak lagi untuk menjadi orang tua." Ucapan Gilang memang benar, dan aku setuju dengannya. Tapi tidak semua orang bisa berpikir seterbuka itu. Tidak sedikit orang yang menyalahkan pihak perempuan jika dalam suatu rumah tangga tidak segera dikaruniai anak. Dan hal itu akan terasa lebih menyakitkan jika yang berpikiran seperti itu adalah keluarga terdekat. "Coba, deh, kamu periksain istri kamu ke dokter. Biar tahu dia subur atau nggak." Kalimat itu mungkin akan terdengar biasa saja bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang tak mengalami permasalahan seperti diriku. Sayangnya, kalimat itu ditujukan padaku di saat usia pernikahan kami belum genap setengah tahun. Dan orang yang mengatakan itu adalah ibu mertuaku sendiri ketika kami masih tinggal satu rumah. Bisa ditebak, kan, bagaimana perasaanku yang baperan ini? Setelah tanpa sengaja mendengar percakapan Gilang dan ibu mertuaku itu, seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Aku menangis sejadinya. Sumpah, rasanya sakit banget. Kenapa selalu pihak perempuan yang dituding bermasalah ketika dalam rumah tangga tidak segera diberi anak. Padahal waktu itu Gilang sendiri juga sibuk bekerja dan hanya pulang satu minggu sekali. Bisa saja, kan, karena kondisi tubuh yang kelelahan saat bertemu menjadi penyebab kami tidak segera dikarunia anak. Mengapa hanya aku yang harus diperiksakan ke dokter? Mengapa hanya aku yang dipertanyakan kesuburannya? Selama ini aku tidak pernah mengalami masalah dengan siklus menstruasi. Aku selalu datang bulan dengan jadwal yang teratur, maju satu hingga tiga hari dari bulan sebelumnya. Semua normal-normal saja. Jika mau melihat, banyak juga kok yang baru dikaruniai anak di saat usia pernikahan mereka di atas lima tahun. Namun sepertinya hal itu tak berlaku padaku. Di usia pernikahanku yang baru seumur jagung, kesuburanku sudah diragukan. Sebenarnya aku bisa mengerti mengapa ibu mertuaku sangat menginginkan cucu. Gilang adalah anak pertama, wajar saja jika mama ingin segera menimang cucu. Namun dengan berkata demikian, bukankah itu sama saja dengan menyudutkanku? Sebagai sesama perempuan harusnya mama bisa memilih kata yang lebih enak didengar. Bagaimana jika kalimat itu ditujukan untuknya? Apa mama akan sakit hati juga? Sejak saat itu, guna menghindari konflik di rumah, aku meminta izin pada Gilang untuk kembali bekerja. Awalnya Gilang melarang, tapi aku terus merengek. Kalau aku tidak mencari kesibukan, aku akan terus kepikiran masalah itu. Dengan bekerja, aku bisa meminimalisir intensitas pertemuanku dengan mama. Sudah kubilang kalau hatiku sudah tercubit, akan sulit untuk menyembuhkannya. Dengan mengurangi intensitas bertemu adalah caraku untuk menyembuhkan goresan luka kecil itu. "Sayang, kita sudah sampai." Gilang menyentuh bahuku. Aku berpaling padanya lalu melihat sekeliling. Ternyata benar, mobil yang kami tumpangi sudah terparkir di halaman rumah ibu mertuaku. Gilang melepas safety belt, lalu turun dari mobil. Aku mengikuti apa yang dia lakukan. Sebelum turun, aku mengambil kue yang ada di kursi belakang. "Lama banget kalian nggak ke sini." Mama yang baru saja keluar dari rumah memeluk Gilang. "Aku banyak kerjaan, Ma. Sering lembur," sahut Gilang. Setelah melepas pelukan dari Gilang, mama tersenyum padaku. Aku menghampiri mama lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Ma?" tanyaku. "Sehat. Gimana, kamu udah isi belum?" Mama bertanya dengan mata berbinar sambil menyentuh perut rataku. Tapi mama tidak tahu kalau binar di matanya itu baru saja menggoreskan luka baru di hatiku. Pertanyaan yang sering dilontarkan ketika melihat pasangan suami istri yang belum memiliki momongan. Namun ... apa harus, setiap bertemu selalu menanyakan hal yang sama? "Sayang, bawa kuenya masuk, dong. Sekalian aja dibuka, nanti dimakan sama-sama." Gilang mengusap punggungku dengan lembut. Aku tahu dia memintaku menyiapkan kue itu untuk membuat mama berhenti menanyakan soal anak padaku. "Aku masuk dulu, Ma." Dengan langkah cepat aku membawa kue itu ke dapur. Kuembuskan napas berat saat tiba di dapur. Setiap mendengar pertanyaan seperti itu, dadaku rasanya sesak sekali. Kukerjapkan mata sambil melihat ke atas agar air mataku tak tumpah. Tanganku juga secara refleks mengibas di dekat mata, mengipasi cairan bening yang menggenang di pelupuk agar menguap. "Bawa apaan, Mbak?" Ardi yang tiba-tiba muncul dari belakang membuatku terkejut hingga tubuhku berjingkat. "Kamu ngagetin aja, sih," kataku menoleh padanya. "Ini, aku bawain bolu Jepang buat kamu." Ardi tersenyum lebar lalu membuka boks berisi kue bolu kesukaannya. "Asik! Makasih, ya, Mbak." Anak itu langsung membawa satu boks kue ke luar. Setelah Ardi keluar, aku segera mengambil piring untuk menata kue. Satu boks brownis rasa tiramisu aku buka, dan satu lagi aku masukkan ke dalam lemari es supaya topping cokelatnya tidak meleleh. Selesai menatanya di piring, aku membuat teh untuk Gilang dan mama. Sekalian nanti kubawa ke luar. "Cobain, deh, Ma. Ini brownisnya beda, lho, dari yang biasa aku beli," kataku saat sudah bergabung dengan mereka. "Oya?" Mama segera mengambil sepotong kue dan memakannya. "Iya, ini lebih enak," komentar mama. "Itu Zizi beli di dekat kantornya. Kalau Mama suka, nanti biar dibawain lagi pas kami ke sini," kata Gilang. Seketika aku menyesal telah mengatakan kalau kue itu kubeli di dekat kantor. Kalau ibu mertuaku menginginkannya lagi, aku tidak tahu di mana bisa membelinya. Dan itu artinya aku harus bertanya pada Mahesa yang aku yakin tidak akan mudah mengorek informasi darinya. "Boleh. Ada varian rasa apa saja selain tiramisu?" Mama melihatku dengan mata melengkung antusias. Benar, kan? Dan sekarang aku tidak tahu harus menjawab apa. Mana aku tahu varian rasanya apa saja. "Um ... aku nggak begitu merhatiin, sih, Ma. Tapi kalau nggak salah kemarin ada juga yang rasa matcha dan strawberry." Akhirnya kujawab sesuai varian rasa yang dibeli Mahesa. "Mama mau coba itu yang matcha." Mama megunyah satu gigitan lagi. "Iya, Ma, besok aku bawain lagi," kataku pada akhirnya. Lagipula tidak mungkin juga aku bilang tidak. "Nanti kalian nginep, ya. Senin tanggal merah, 'kan?" pinta mama. "Nggak bisa, Ma. Ini aja nanti kita nggak bisa lama-lama," tutur Gilang. Mama berdecak, mengeluarkan ekspresi tidak suka. "Kalian sudah lama, lho, nggak ke sini, masa nggak nginep? Istrimu itu memang nggak betahan kalau di sini. Pasti kamu, kan, yang minta sama Gilang buat cepat-cepat pulang." Aku dan Gilang saling pandang. Lagi-lagi aku yang dituduh mempengaruhi Gilang supaya tak berlama-lama di rumah ibu mertuaku. Salah tidak kalau aku merasa sakit hati sekarang? "Bukan gitu, Ma. Hari ini ada acara di rumah Pak RT. Rumah kami, 'kan, dekat. Nggak enak kalau nggak datang." Gilang mencoba memberi penjelasan. "Halah! Alasan aja! Mama itu masih kangen, lho, sama kalian. Pengin kalian nginep di sini." Mama merengut. Aku hanya bisa menghela napas saat hatiku serasa diremas dengan kuat. Bukannya aku tidak senang berkunjung ke sini. Oke, mungkin aku memang kurang senang, tapi itu tidak berarti aku mencari-cari alasan untuk tidak datang. Kami memang betul-betul ada acara di rumah. Dalam situasi seperti ini, siapa lagi yang akan disalahkan kalau bukan aku? Selalu aku! Fix! Aku mau bilang sama Gilang kalau aku ingin pulang sekarang juga. Tapi aku hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir. Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati untuk menghindari pertengkaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD