Starla - Ara

2085 Words
Starla tersenyum lebar saat melihat saldo rekeningnya yang benar-benar terisi, yang lebih membuatnya senang adalah angka yang lebih besar daripada permintaannya tadi. "Kenapa? Hah?" Tanya Kenzo penasaran, tentu saja ia penasaran, sangat jarang wanita itu tersenyum lebar seperti itu. "Sana pulang, aku mau jalan sama pak bos." Jawab Starla yang langsung saja berdiri dan menjulurkan lidahnya ke arah Kenzo. Rasanya dirinya benar-benar tak masalah jika harus jadi simpanan bocah yang duduk di kursi pemimpin itu, ah setidaknya hidupnya akan uang benar-benar tercukupi jika dengannya. "Lo bener-bener mau sama dia?" Tanya Kenzo tak percaya. "Iya, kenapa?" Jawab Starla dengan mantap. "Punya dia nggak bisa bangun," ceplos Kenzo yang langsung saja membuat Starla menoleh ke arah Kenzo dengan cepat. Starla memilih untuk menatap ke arah Gibran yang terlihat diam saja seraya memainkan ponselnya, seolah-olah laki-laki itu tak peduli dengan hinaan yang baru saja di lontarkan oleh Kenzo. "Kalau nggak bisa bangun ya biar gue yang bangunin, gampang kan." Jawab Starla akhirnya, bodo amat deh dengan imagenya, yang penting cari duit dulu. "Lo bahas ginian itu bibir kagak sakit apa ya? Dari tadi ngegas mulu." Merasa kalah, Kenzo pun mulai mengalihkan pembicaraannya, jangan lupakan dengan jari telunjuknya yang menunjuk ke arah sudut bibir Starla yang luka itu. "Kagak lah, kan udah lihat duit tadi, udah sembuh penyakitnya." Jawab Starla dengan pasti, jangan lupakan tawa yang terdengar sedikit menyebalkan. "Lima juta doang, senengnya udah kayak gitu." Cibir Kenzo masih tak terima. "Kata siapa, lihat nih, banyak kan." Balas Starla seraya menyodorkan ponselnya ke arah Kenzo. "Lima belas juta Lo mau balikin pakai apa? Mau jual ginjal?" Tanya Kenzo tak percaya, matanya pun menoleh ke arah Gibran dengan kesal. Bahkan temannya itu punya uang sebanyak itu, berbeda sekali dengan dirinya yang tak memiliki apa-apa jika sudah di ambil sama papanya, kenapa Tuhan tak adil dalam berbagi rejeki? "Ya gue balikin lima juta lah, gue kan pinjemnya lima juta, dia aja yang ngasih lima belas juta, berarti yang sepuluh juta kan sedekah untuk Starla." Jawab Starla lagi, kali ini tatapannya mengintip ke arah Gibran yang masih saja diam dan fokus pada ponselnya. Sebenarnya Starla sengaja sih bilang seperti itu, karena dia penasaran dengan ekspresi Gibran, tapi melihat ekspresi laki-laki itu sepertinya tak masalah jika dirinya hanya mengembalikan lima juta saja. Kalau gini kan dirinya semakin percaya untuk menggaet Gibran jadi penghasil uang bulanannya. "Bran, Lo dengar kan, bilang sesuatu dong." Kata Kenzo yang langsung saja membuat Gibran mendongak dan menatap ke arah Kenzo dengan tatapan tenang. "Nggak usah ribut, sepuluh juta doang, anggap aja DP untuk kerjaan dia nanti kan, Mayan kan gue ringanin beban Lo." Jawab Gibran dengan suara pelan. Kenzo memijit kepalanya pelan, bisa-bisanya dirinya memiliki teman yang seperti ini, pantas saja dirinya selalu kalah start dengan Gibran, anak itu saja dermawan sekali sama orang. Starla tersenyum dengan lebar, langkah kakinya ia larikan untuk menghampiri Gibran dengan sangat semangat, tentu saja dirinya butuh pelukan terima kasih, setidaknya dirinya punya harapan untuk pindah rumah secepatnya. "Dedek Gibran love you," teriak Starla pelan. Gibran menoleh, matanya menyipit saat melihat Starla yang berlari menuju ke arahnya dengan tangan yang ia rentangkan dengan senyuman yang lebar. Dengan spontan Gibran memundurkan kursinya, dan membuat Starla tersungkur di bawah, salahkan saja pada sikap waspada yang ia pelihara selama ini. Kenzo melotot saat melihatnya, bisa-bisanya Gibran berbuat seperti itu, Kenzo berani bertaruh jika wanita itu pasti kesakitan di bawah sana. "Udah di bilangin, dia itu nggak suka sama cewek." Kesal Kenzo seraya berjalan menghampiri Starla dan membantu wanita itu untuk berdiri. "Kemarin mamanya ngotot mau cariin dia jodohkan, ya gue nggak tahu kalau dia seperti ini." Rajuk Starla seraya memegangi lengannya yang kembali membentur lantai setelah kemarin mendapatkan pukulan dari ibu tirinya. "Ya terus gimana? Gue malam ini nggak bisa pulang, gue ngrayu dia kan buat numpang tidur." Jujur Starla yang langsung saja membuat Gibran menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Gue nggak bisa nampung Lo malam ini, gue udah booking cewek." Balas Kenzo yang langsung saja mendapatkan pukulan dari Starla. "Sana pulang, punya temen maniak banget." Kesal Starla. Dirinya benar-benar galau untuk malam ini, bisa saja sih dirinya menggunakan uang tadi untuk check in hotel, tapi kalau ada gratis kenapa juga harus buang-buang uang? Suara pintu yang terbuka membuat semua orang menoleh, menatap ke arah Ares yang terlihat bingung dengan situasi yang ada. "Sudah selesai pak tahap pemilihannya, dan lima belas menit lagi jadwal meeting anda yang sudah di atur beberapa Minggu lalu." Kata Ares melaporkan, matanya masih terus melirik ke arah Starla dan juga Kenzo yang ada di dekat meja bosnya itu. "Kamu bisa keluar dulu, dan kirimkan bahannya lewat email, tadi belum sempat baca." Balas Gibran yang langsung saja membuat Ares mengangguk dan memutar tubuhnya untuk keluar, sesekali menoleh untuk melihat ke arah orang-orang yang ada di kantor bosnya itu. "Kalian kalau udah selesai bisa pulang dulu, gue ada urusan penting." Kata Gibran seraya bangkit dari duduknya. "Gue ikut." Balas Starla yang langsung saja melepaskan tangannya dari lengan Kenzo. "Ngapain?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Starla terdiam di tempatnya. "Ngapain aja deh, yang penting bisa gunakan kamar itu, semalam aja." Jawab Starla seraya menunjuk pintu yang ada di ruangan Gibran. Jangan salah, gini-gini Starla banyak baca novel juga, tentu saja ia tahu jika di kantor para petinggi seperti Gibran mempunyai tempat istirahat di dalam ruangan. "Pakai deh, jangan rusakin apapun ya, dan untuk kedepannya tolong jangan bersikap seperti tadi lagi, gue nggak suka dan nggak tertarik." Balas Gibran yang langsung saja melangkahkan kakinya ke arah pintu, jangan lupakan dengan matanya yang fokus pada ponselnya. "Gue berhasil kan?" Tanya Starla menatap ke arah Kenzo, tentu saja ia tak percaya akan mendapatkan tumpangan semulus ini, bahkan bocah itu juga menolak pelayanan abal-abalnya. Kenzo pun hanya bisa memukul kepala Starla pelan, setelahnya ia pun menghela nafasnya pasrah, setidaknya di wanita itu akan aman jika ada di sekitar Gibran. "Gue pulang ya, nanti kalau ada apa-apa hubungi gue, jangan di atas jam 8 malam." Pamit Kenzo yang langsung saja membuat Starla membuka suaranya untuk menahan langkahnya. "Hati gue berdebar-debar." Kata Starla dengan pelan, telapak tangannya ia arahkan ke arah dadanya. "Jangan bikin gue panik." Kata Kenzo dengan kesal. "Badan gue lemes." Lanjut Starla lagi. "Jangan ngarang gini deh," kesal Kenzo lagi, tentu saja ia panik. "Gue ingat-ingat lagi, gue belum makan, gue kira jatuh cinta, ternyata lapar." Lanjut Starla lagi yang langsung saja kembali mendapatkan jitakan dari Kenzo. "Bisa-bisanya ya Lo, sumpah kesel banget gue," balas Kenzo yang langsung saja membuat Starla tertawa pelan. "Gue laper, tolong pesenin makanan juga ya, makasih." Kata Starla yang langsung saja mendapatkan jawaban anggukan dari Kenzo, gimanapun juga Starla sudah seperti adiknya sendiri, meskipun dirinya menyimpan rasa lebih dari sekedar kakak adek. Kenzo pun keluar dari ruangan Gibran dengan langkah mantapnya, meninggalkan Starla yang duduk di atas kursi dengan merenung diam. Starla duduk di sofa dan bersandar dengan lelah, tangannya bergerak menyingkap lengan bajunya, memperlihatkan luka memar yang ada di tangannya. Gibran berdiri di depan pintu dengan sedikit canggung, matanya menatap ke arah plastik yang berisi obat-obatan dan juga salep yang beberapa menit lalu ia beli, dirinya sendiri benar-benar takjub, kenapa juga dirinya harus bersikap seperti ini? Bahkan dirinya sadar akan apa yang ia lakukan setelah memasuki lift pribadinya. Setelah berpikir beberapa menit, Gibran pun memilih membuka pintunya dan sedikit terkejut saat melihat Starla melepaskan kemejanya. Starla yang mendengar suara pintu terbuka pun menoleh dan menatap ke arah Gibran yang sudah memutar tubuhnya ke arah pintu. "Gue pakai dalaman kok," kata Starla yang akhirnya membuat Gibran memejamkan matanya pelan, tangannya meraih kunci pintu dan memutarnya dengan pelan, setidaknya tak akan ada orang yang masuk dan melihat ketelanjangan wanita itu. Gibran pun melangkahkan kakinya ke arah Starla, tatapannya tertuju pada punggung wanita itu yang hanya tertutupi tanktop yang cukup terbuka dengan tali-tali yang menyilang. Sebenarnya bukan hal itu yang menjadi fokus Gibran saat ini, yang menjadi fokusnya adalah lebam dan beberapa bekas luka yang menghiasi punggung wanita itu. "Ini gara-gara kemarin?" Tanya Gibran dengan pelan. Starla pun menoleh dan mengangguk pelan. "Sudah biasa sih, btw thanks banget ya buat uangnya tadi, gue nggak tahu kapan bisa balikinnya, coba aja Lo mau gue porotin, udah nggak mikir bayar lagi gue." Jawab Starla yang langsung saja membuat Gibran tersenyum tipis. "Nggak usah di balikin nggak papa sih, Sebenarnya uangnya juga nggak kepakai." Jawab Gibran seraya meletakkan plastik yang ia bawa di atas meja kaca yang ada di dalam ruangannya itu. "Obatin sendiri ya, gue ada meeting, dan jangan lupa kunci pintu, gue punya cadangannya kok." Lanjut Gibran lagi yang langsung saja membuat Starla menatap ke arah plastik itu dengan sedikit haru. Di mana lagi dirinya mendapatkan laki-laki seperti ini? Tak masalah jika tak bisa berdiri, bodo amat yang penting dirinya di perlakukan bak ratu seperti khayalannya selama ini. "Gue kejar Lo ya?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Gibran menoleh dan menatap lama ke arah Starla. "Mama gue nggak cocok punya mantu kayak Lo, bisa runtuh nanti rumah gue." Balas Gibran yang langsung saja membuat Starla tersenyum tipis. Bisa-bisanya dirinya di tolak dengan cara seperti ini. Tak masalah, toh dirinya juga tak apa-apa jika hanya menjadi simpanan, yang penting bulanannya aman. Starla pun melangkahkan kakinya ke arah pintu setelah tak melihat sosok Gibran di dalam ruangan itu, seperti titah Gibran tadi, Starla pun mengunci pintunya dengan semangat. "Mah, do'ain Starla ya, semoga aja Starla cepat keluar dari rumah papa." Gumam Starla pelan seraya menyandarkan tubuhnya di pintu. Gibran berjalan ke arah ruang meeting dengan langkah tergesa, lima belas menit yang di katakan oleh Ares sudah lewat, dan ini pertama kalinya dirinya telat dalam rapat yang ia atur sendiri, biasanya dirinya selalu datang tepat waktu. Setelah beberapa jam di dalam ruang meeting, Gibran pun keluar dari tempat sempit itu, jam makan siang sudah tiba bahkan terlewat karena hal-hal yang ia benarkan tadi, meskipun dirinya sedikit keras dalam mendidik karyawannya tapi ia bersyukur karena banyak karyawan yang betah bekerja dengannya. Tak pernah sekalipun dirinya berpikir akan sukses seperti ini, apalagi ini bukanlah bidang yang ia dambakan selama ini. Suara ponsel yang berbunyi membuat Gibran menghentikan langkahnya dan merogoh saku celananya, matanya menatap ke arah nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang Gibran pun menggeser icon hijau yang ada di layar ponselnya. "Halo?" Suara perempuan di sebrang telpon membuat Gibran terdiam, ia ingat sekali tak pernah memberikan nomor ponselnya pada perempuan manapun kecuali mama dan juga neneknya itu. "Aku Ara, dapat nomor kamu dari mama Tasya." Lanjut wanita itu yang langsung saja membuat Gibran mengingat-ingat kembali nama seseorang yang baru saja di sebutkan. "Kita dulu satu sekolah waktu masih kecil, kita juga sering bertukar bekal, kamu nggak ingat?" Lagi-lagi suara wanita di sebrang sana terdengar, membuat Gibran terdiam di tempatnya dan menoleh ke arah Ares yang masih menunggunya. "Kamu pergi dulu, ada sesuatu yang ketinggalan di ruang meeting." Kata Gibran yang langsung saja melangkahkan kakinya ke arah ruang meeting. Gibran menutup pintunya dengan pelan, dirinya mengambil nafas dalam sebelum membuka suara untuk membalas kata-kata yang di katakan oleh wania yang mengaku bernama Ara. "Apa kabar?" Pertanyaan yang sama membuat tawa Ara terdengar nyaring, Gibran pun hanya terdiam dan duduk di kursi dengan tenang. "Aku kira kamu lupa sama aku." Kata Ara yang langsung saja membuat Gibran tersenyum tipis. "Awalnya lupa, tapi kemarin di ingetin sama mama." Jawab Gibran dengan jujur. "Sedihnya aku," balas Ara dengan nada yang di buat-buat. "Ayo menikah," ajak Ara yang langsung saja membuat Gibran terbatuk pelan. Sebenarnya apa yang di pikirkan wanita itu? Bahkan ajakannya dari dulu sampai sekarang tak pernah berubah, mana ada seorang wanita yang terus menerus mengajak seorang laki-laki untuk menikah. "Aku belum ada niat untuk dekat-dekat ini." Jawab Gibran pelan. "Aku pulangnya juga masih lama kok, mungkin enam bulan lagi atau setahunan," balas Ara lagi. "Cukup kan?" Tanya Ara lagi. "Aku nggak suka sama kamu." Jawab Gibran. Ara menghembuskan nafasnya pelan, untuk kesekian kalinya dirinya kembali di tolak oleh Gibran, sebenarnya laki-laki itu suka pada wanita yang seperti apa sih? "Yaudah, aku marah, nanti aku hubungi lagi kalau udah nggak marah." Kata Ara yang langsung saja mematikan sambungan telponnya. Gibran tersenyum tipis, tak lupa menyimpan kontak Ara di dalam ponselnya, Sebenarnya ada yang ia takuti dalam berhubungan, ia takut pada orang yang menyayangi ataupun mencintainya, ia takut orang-orang itu akan menghilang seperti kedua orang tuanya, ia tak akan lupa julukan pembawa sial yang ia sandang hampir seumur hidupnya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD