Luka Starla.

2234 Words
Gibran mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan, di sampingnya ada mamanya yang terlihat duduk sedikit tak tenang. "Apa kabar Nenek baik?" Tanya Gibran masih dengan fokus pada jalanan. "Sehat, dia cuma kangen sama kamu." Jawab Tasya seraya tersenyum ke arah putranya dengan hangat. Jika saja tak ada kejadian yang membuat kedua orang tua Gibran seperti itu, tentu saja sampai sekarang Gibran tak akan pendiam seperti ini, apalagi dulu Tasya sangat ingat jika Gibran adalah anak yang sangat ramah dan aktif sekali. "Ma, sebenarnya Gibran nggak tertarik buat nikah, tapi kalau mama memang khawatir Gibran akan berusaha untuk mencari, hanya saja Gibran tak bisa menjanjikan waktunya." Kata Gibran tiba-tiba. Tasya menoleh, menatap ke arah putranya yang terlihat menggigit bibir bawahnya dengan sedikit ragu, Tasya tahu tapi Tasya juga takut jika selama hidupnya Gibran akan terus seperti ini. "Mama tahu," jawab Tasya dengan suara pelan, berhasil membuat Gibran tersenyum tipis saat mendengarnya. "Masih ingat Ara? Akhir-akhir ini mama berhubungan sama dia, dia masih sekolah di luar negeri, kalau kamu masih suka dia," lanjut Tasya sedikit ragu seraya menatap ke arah putranya, penasaran dengan ekspresi putranya. Gibran memiringkan kepalanya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal, kepalanya mulai mengingat-ingat nama seseorang yang baru saja di sebutkan oleh mamanya. "Gibran lupa pernah punya kenalan bernama Ara." Jawab Gibran seraya menoleh ke arah bundanya. Tasya terdiam, cukup terkejut saat melihat ekspresi putranya yang benar-benar terlihat datar, rasanya Tasya sedikit tak percaya jika Gibran bisa melupakan gadis kecil yang saat ini sudah berubah sangat cantik itu. Jangan tanya, tentu saja Tasya melihat dari sosial medianya. "Kamu masih ingat Tante Citra nggak? Yang ngasih kamu waktu masih kecil?" Tanya Tasya lagi dengan suara sedikit antusias. "Ingat, Tante Citra yang sama kan? Yang menikah setelah ayah meninggal waktu itu?" Tanya Gibran balik. Tasya terdiam, menelan ludahnya dengan kasar, jika tahu putranya akan mengungkit hal itu tentu saja Tasya tak akan berani menanyakan perihal Citra pada putranya itu. Sisa perjalanan keduanya memilih diam satu sama lain, ah rasanya sangat canggung sekali bagi Tasya, apalagi semua hal yang ia katakan tadi menyangkut orang tua Gibran. Sesampainya di rumah, Gibran langsung masuk ke dalam kamarnya, neneknya masih pergi dengan kakeknya, padahal dia pulang ingin bertemu dengan neneknya itu. Di dalam kamar Gibran langsung saja menghubungi Ares, memberitahu jika dirinya tak akan kembali lagi ke kantor, selain itu Gibran juga mengerjakan beberapa pekerjaan yang memang sudah seharusnya ia selesaikan dalam waktu dekat ini. Kegiatan Gibran berlanjut sampai bermain game, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7 malam, Gibran hanya bisa pasrah dan menginap semalam di rumah mamanya. Jika di ingat-ingat, Gibran memang lebih banyak tidur di appartemennya, selain itu sesekali Gibran juga pulang ke rumah orang tua kandungnya untuk mengobati rindunya, banyak hal yang sengaja di letakkan di sana, termasuk foto-foto lengkap keluarganya, kadang Gibran ingin mengambil satu dan membawanya ke appartemen, tapi dirinya benar-benar tak memiliki keberanian untuk itu. Ia masih takut ingatan tentang orang tuanya kembali mempengaruhinya. Suara ketukan pintu yang terdengar membuat Gibran menoleh ke arah pintu, tatapannya ia pertajam saat pintu kamarnya terbuka dari luar, karena Gibran memang tak pernah sekalipun mengunci pintunya, semua itu karena kekhawatiran keluarganya pada dirinya yang katanya masih tak baik-baik saja ini. "Apa nenek mengganggu?" Tanya Krystal yang langsung saja masuk setelah melihat cucunya tak melakukan sesuatu yang lain. "Tidak, justru Gibran dari tadi nungguin nenek nyamperin Gibran." Jawab Gibran dengan senyuman lebarnya. Gibran menatap neneknya cukup lama, neneknya benar-benar tak menua sedikitpun, hanya umurnya saja yang selalu bertambah tiap tahunnya, rasa-rasanya Gibran benar-benar tak percaya jika dirinya saja sudah berubah sebanyak ini dan neneknya masih terlihat seperti orang yang sama. "Nenek tak pernah menua." Kata Gibran yang langsung saja mendapatkan pukulan pelan dari Krystal. Jangan salah, hampir setiap bertemu Gibran selalu mengatakan hal yang sama, lagian siapa yang akan percaya pada kata-kata cucunya? Dirinya saja rasanya sudah sangat lelah dan terus ingin istirahat, hanya saja suaminya selalu mengajaknya keluar untuk sekedar mencari angin agar tidak bosan di rumah. "Sudah berapa kali nenek bilang, nenek nggak akan tua sebelum kamu menikah," jawab Krystal seraya menyombongkan dirinya di depan cucunya yang tengah tertawa itu. "Dari jaman Gibran umur 10 tahun nenek juga bilang gitu," balas Gibran yang langsung saja membuat Krystal mengangguk dan duduk di ranjang cucunya dengan pelan. "Gibran apa kabar?" Tanya Krystal dengan tangan yang memegang kedua bahu cucunya. Waktu benar-benar berjalan dengan sangat cepat, Krystal pikir dirinya tak akan sanggup membawa cucunya kembali tapi siapa yang akan menyangka jika saat ini cucunya terlihat sangat tampan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. "Baik banget, sampai rasanya pengen main-main terus." Jawab Gibran dengan semangat, tentu saja dirinya tak akan membuat wanita tua di depannya terus menerus mengkhawatirkan keadaannya. "Nenek suka dengernya, nakal nggak papa, nenek yang akan nanggung semuanya." Kata Krystal yang langsung saja membuat Gibran memeluk neneknya dengan cepat. "Udah, Gibran udah nakal kok di luaran sana," jawab Gibran seraya mengelus punggung neneknya pelan. "Nenek nggak denger, yang nenek dengar kamu selalu kirim uang ke mama kamu dengan nominal yang sangat banyak." Balas Krystal dengan mencoba melepaskan pelukannya. Tatapan Krystal tertuju pada cucunya dengan sangat sayang, bukannya Krystal tak menyayangi cucunya yang lain, hanya saja Gibran adalah anak yang sangat spesial, tak ada satu orang pun yang ingin meninggalkan anak ini sendirian. "Nenek nggak masalah kalau kamu main-main sama banyak wanita, nenek juga nggak masalah kalau kamu ada niatan buat nikahin mereka semua, kamu harus ingat satu hal, tak ada hubungan yang menyakitkan." Kata Krystal dengan suara pelannya. Bicara dengan cucunya memang harus seperti ini, bahkan jika dirinya terus melarang Krystal berani menjamin jika cucunya akan hidup dengan sangat tertutup pada semua orang, termasuk keluarganya sendiri. "Gibran pasti mengingatnya, Gibran juga pasti berusaha mencari pasangan hidup Gibran dengan baik, seperti yang di katakan bunda Alisya, Gibran harus cari wanita yang benar-benar sayang sama Gibran, yang bisa menuntun Gibran dengan baik." Jawab Gibran dengan suara pelannya. Krystal mengusap sudut matanya pelan, kata-kata Alisya memang tak pernah sekalipun di lupakan oleh cucunya, jika boleh jujur cucunya benar-benar memiliki ingatan yang sangat baik, Krystal jadi berpikir bagaimana cara cucunya melewati waktu setiap harinya dengan bayang-bayang kedua orang tuanya yang sudah pergi terlebih dahulu itu. "Kepergian bunda sama ayah Gibran itu benar-benar tak ada niatan untuk menyakiti Gibran, Gibran ingat kan bagaimana bunda yang sayang banget sama Gibran? Gibran pasti juga ingat bagaimana bunda yang menutupi semua rasa sakitnya dari Gibran dan juga ayah Gibran, semua itu karena bunda nggak mau membuat orang-orang yang di sayangnya khawatir pada keadaannya." Terang Krystal yang langsung saja mendapatkan jawaban anggukan dari Gibran. Gibran tahu, surat yang bundanya tinggalkan untuk ayahnya sudah ada di tangan Gibran saat usianya beranjak dewasa, ada juga beberapa hadiah yang bundanya siapkan untuknya, hanya saja sampai sekarang Gibran tak memiliki keberanian untuk membukanya. "Nenek suka wanita yang seperti apa untuk jadi pasangan Gibran nantinya?" Tanya Gibran dengan suara pelan, ia tak akan sanggup menahan tangisnya jika terus menerus membahas kedua orang tuanya yang sudah tiada itu. "Nenek suka wanita yang di pilih oleh Gibran, seburuk apapun penampilannya, nenek pasti suka." Jawab Krystal dengan semangat. "Meskipun dia seorang pemulung?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Krystal mengangguk dengan semangat dan tersenyum pada cucunya itu. "Nenek suka bercanda, mana mungkin mama akan setuju, tahu sendiri mama gimana orangnya." Balas Gibran seraya memegang tangan neneknya dengan erat. "Nanti biar nenek yang bilang sama Mamanya Gibran, Gibran nggak usah pikirkan apapun, nanti jika sudah ketemu jodohnya cepat bawa kemari dan kenalkan pada kita semua, kita buat pesta yang sangat meriah untuk Gibran dan pasangan Gibran, mau lima kali nikah pun pasti nenek siapkan." Kata Krystal dengan semangat. "Pasti, Gibran janji akan bawa pasangan Gibran secepatnya, biar mama dan nenek nggak terus terusan mengkhawatirkan Gibran, biar ada yang ngurusin Gibran juga." Balas Gibran dengan menepuk tangan neneknya dengan pelan. Demi apapun, Gibran tak ingin membuat semua orang khawatir padanya, jika boleh memilih Gibran benar-benar ingin membuat semua orang percaya jika dirinya sudah sangat baik-baik saja, tapi Gibran tak bisa membuktikan semua itu jika hari kematian bundanya tiba, dirinya benar-benar tak bisa mengontrol dirinya dengan baik saat itu tiba, yang ia lakukan hanyalah berdiam diri dan terus menerus menangis di tengah-tengah kegelapan yang ia ciptakan dengan sengaja. Sampai terkadang Gibran berpikir ingin mencari seseorang yang mampu membujuknya keluar dari kegelapan itu, Gibran sangat ingin mengiklaskan semuanya tapi dirinya tak mampu melakukan semuanya sendirian. Pagi ini Gibran melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata ke arah kantor, Kenzo baru saja menghubunginya dan memberitahu akan mengenalkan model yang di pilihnya ke kantor hari ini, soal kecantikan Gibran tak akan pernah meragukan pilihan Kenzo, yang Gibran khawatirkan adalah sikap mereka nantinya. Starla duduk di atas ranjangnya dengan tatapan yang ia arahkan ke ponselnya yang terus menerus berbunyi sedari tadi. Nama teman yang ada di layar ponselnya benar-benar membuatnya geram, dari semalam dirinya sudah dengan tegas menolak tawaran model yang di ajukan oleh temannya itu, tapi tetap saja laki-laki itu masih terus menerornya seperti ini. Starla melirik ke arah kaca rias yang tak jauh dari ranjangnya, ah jika kalian penasaran kamarnya benar-benar bukanlah tempat yang sangat luas, bahkan kamar berukuran 3x3 itu mulanya di jadikan gudang oleh keluarga tirinya hingga akhirnya kini menjadi kamarnya yang Alhamdulillah sangat layak untuk di tempatinya. Wajahnya yang lebam di beberapa tempat membuat Starla menghela nafasnya pelan, kemarin setelah di seret pulang dari mall, amarah ibu tirinya benar-benar menggila, bahkan punggungnya sampai di pukul menggunakan kayu, bersyukur saja karena ayahnya mau menolongnya, jika tidak mungkin saat ini dirinya sudah cacat karena amukan ibu tirinya. Wajahnya juga sudah benar-benar hancur, mungkin butuh beberapa Minggu untuk memulihkannya, apalagi lebam kali ini cukup banyak dan sangat menyakitkan, Starla jadi benar-benar ingin segera keluar dari rumah terkutuk ini. Suara ponsel yang terus berdering akhirnya membuat telinga Starla terasa tuli, Starla pun mengambil ponselnya dan mengangkatnya karena kesal, demi apapun jika bayaran yang ia terima tak setimpal dirinya benar-benar akan membunuh temannya ini. "Katakan bayarannya." Kata Starla to the poin. Ah, tabungannya bahkan tak cukup untuk membeli sebuah apartemen, jika saja uang saku yang setiap bulan di berikan ayahnya sampai di tangannya, mungkin dirinya sudah pindah dari rumah ini. "2x lipat dari gajimu biasanya, asal jangan menghancurkan sampelnya nanti, masalahnya ini benar-benar barang berharga, nanti jika hasilnya memuaskan aku tambahin deh." Suara laki-laki yang terdengar di sebrang sana membuat Starla bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah meja riasnya, saat ini matanya terus menerus mengamati wajahnya yang bengkak itu, mau di tutupi dengan berat satu karung pun tak akan bisa tertutupi dengan baik, lalu bagaimana caranya untuk tampil nantinya? "Wajahku hancur lagi," keluh Starla seraya memegangi lukanya dengan hati-hati. "Jatuh dari tangga lagi?" Tanya laki-laki itu tak percaya saat mendengarnya, jujur saja Starla memang sering sekali mendapatkan luka yang katanya jatuh dan jatuh itu. "Hem, benar-benar sangat parah, tak bisa di tutupi pakai riasan." Jawab Starla dengan suara pelannya. "Ini aja, aku baru bayar denda karena pembatalan kontrak, uangku benar-benar menipis." Keluh Starla lagi. "Kalau gitu siap-siap dulu, kamu tanda tangan dulu deh, kebetulan acaranya nggak dalam waktu dekat kok, cuma rekan kerjaku sedikit rewel cari model, jadi nanti bisa sambil ngobati luka kamu, seperti biasa pakai uangku dulu." Kata laki-laki itu yang langsung saja membuat Starla berpikir, benar saja dirinya sudah sangat sering menyusahkan temannya ini. Andai saja temannya ini orang yang baik, dirinya pasti sudah menerima untuk menjadi pacarnya, sayang sekali karena laki-laki ini sangat b******k dalam hubungan ranjang. "Sana siap-siap, aku jemput 10 menit lagi di tempat biasa." Starla menatap ke arah ponselnya yang sudah mati, tatapannya kembali menatap ke arah kaca yang ada di depannya itu, demi apapun Starla bingung untuk merias wajahnya sendiri. "Ganti dulu deh, masalah penampilan pikirin nanti." Putusnya yang langsung saja menuju ke luar kamar untuk mandi di belakang, tak lupa dengan baju ganti yang sudah ia bawa. Jangan harap anak haram sepertinya memiliki kamar mandi di dalam kamarnya sendiri, karena memiliki tempat tinggal saja sudah sangat bersyukur meskipun hampir setiap Minggu dirinya mendapatkan luka yang di berikan oleh ibu angkatnya itu. "Hari ini sana keluar rumah dan jangan pulang sebelum jam 8 malam, teman-temanku akan datang." Kata Sari yang memang sedari tadi menunggu di belakang untuk memberitahu anak haram ayahnya itu. Starla menoleh ke arah Sari, membuat Sari tertawa pelan karena melihat wajah babak belur milik Starla yang terlihat sangat menyedihkan. "Bilangin sama bunda kamu, malam ini aku nggak pulang." Balas Starla dengan kesal. "Kenapa? Punya job malam? Hati-hati kena penyakit." Tanya Sari dengan suara sinisnya. "Biar cepet mati dan nggak jadi beban juga buat keluarga ini," jawab Starla yang langsung saja masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Sari yang berdecak kesal saat melihatnya. Bagaimana pun juga dirinya tak bisa apa-apa karena ayahnya yang masih sayang pada anak haramnya itu, semalam saja setelah memukul Starla bundanya bertengkar dengan ayahnya, bahkan Sari juga mendengar kata cerai yang di ucapkan oleh bundanya itu, demi apapun Sari tak ingin keluarganya hancur karena keberadaan Starla, jika boleh memilih Sari benar-benar ingin segera menyingkirkan Starla dari rumahnya itu. Tapi semua itu tak mudah, karena sebelum Starla keluar sendiri, Sari dan bundanya tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyiksa fisik Starla yang si*lnya sangat beruntung itu. Wajah cantik dan juga body yang sangat baik membuat Sari iri beberapa kali saat melihatnya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD