Kriuk... Kriuk... Kriuk...
Dengan santainya, Alasya memakan snack di dalam sebuah kamar sembari memantau rekaman kamera tersembunyi melalui ponselnya. Rekaman yang menunjukkan berlangsungnya transaksi yang dilakukan oleh targetnya.
Dan kamar yang ia tempati sekarang berada tepat di sebelah kamar yang targetnya gunakan. Bahkan, tidak ada yang akan menyangka kalau di tengah situasi yang cukup menegangkan ini, Alasya masih sempat bersantai ria memakan snack-nya.
Awalnya, Alasya cukup terkejut saat melihat Aldebaran juga berada di dalam ruangan tersebut. Tapi, tentu saja hal tersebut sama sekali tidak memengaruhi misi Alasya.
“White Cat : Black Alpha, berhati-hatilah. Agen FBI telah mengepung hotel itu.”
“FBI?” gumam Alasya. Ia lalu menekan earpiece-nya sebanyak dua kali. “Mereka mengejar target yang sama dengan kita?”
“White Cat : Sepertinya begitu. Berdasarkan informasi yang kudapat, mereka telah lama mengincar target kita.”
“Baguslah kalau begitu. Setelah aku merebut narkoboy dan uangnya, kita akan menyerahkan sisanya pada mereka. Hitung-hitung kita beramal dan menyerahkan target kita pada mereka secara cuma-cuma,” ujar Alasya.
“Blue Hat : Wah! Aku tidak tahu, ternyata Black Alpha sangat baik.”
“Red Spider : Fokus.”
“Blue Hat : Yes, Sir!”
Alasya hanya mengulas senyum tipis mendengar percakapan tersebut. Sementara matanya terus fokus pada rekaman kamera tersembunyi tersebut. Kamera tersembunyi yang Alasya pasang sehari sebelum transaksi di lakukan. Kamera yang bahkan alat secanggih apa pun tidak akan bisa mendeteksinya.
Selain memantau jalannya transaksi, Alasya juga menaruh perhatiannya pada Aldebaran yang bertugas sebagai penerjemah.
“Kenapa kau sangat beruntung bisa melihat keberhasilan misiku dua kali?” gumam Alasya dengan mata yang tertuju pada Aldebaran.
“Bagaimana situasi di luar?” tanya Alasya setelah menekan earpiece-nya sebanyak dua kali.
“Green Fly : Belum ada pergerakan dari FBI. Tapi, sepertinya mereka sedang bersiap untuk menerobos masuk.”
“Kirimkan padaku titik mereka,” pinta Alasya.
“Green Fly : Baik.” Alasya lalu mengambil ponselnya yang lain dari dalam tas kemudian mengecek pesan yang berasal dari Green Fly.
“Hm ... Mereka benar-benar mengepung tempat ini,” gumam Alasya kemudian memakan snack-nya yang tersisa sedikit.
Alasya pun kembali menekan earpiece-nya sebanyak dua kali lalu berkata, “Aku akan bergerak saat mereka berdiri. Jadi, laporkan padaku setiap gerakan FBI.”
-------
“Saya sudah membawa barangnya. Apa Anda sudah menyetujui harganya?” tanya Lion pada Ardi yang langsung diterjemahkan oleh Aldebaran.
“Tentu saja. Jika tidak, saya tidak akan mengajak Anda untuk bertemu dan membawa barangnya,” jawab Ardi yang kemudian Aldebaran terjemahkan untuk Lion dan begitu seterusnya.
“Ha ha ha ... Anda sungguh pandai bergurau,” ujar Lion kemudian memberikan isyarat pada kedua pengawalnya untuk memperlihatkan barang yang berada di dalam kopor yang ia bawa.
“Tidak perlu. Saya percaya pada Anda,” cegah Ardi. Selain karena alasan kepercayaan, di dalam ruangan tersebut juga terdapat Aldebaran. Tentu saja ia harus ekstra hati-hati agar tidak ketahuan.
“Begitukah? Baiklah, kalau begitu,” ujar Lion kemudian kembali memberikan isyarat pada kedua pengawalnya untuk memberikan keempat koper tersebut pada Marcus.
Ardi pun hanya mengulas senyum sebagai balasan untuk ucapan Lion. Ia lalu memberi isyarat pada Marcus yang tak lama setelahnya, pria itu langsung memberikan selembar cek pada Ardi.
Sontak, Aldebaran membulatkan mata ketika melihat nominal yang tertulis pada cek tersebut. Ia bahkan tidak pernah bermimpi melihat nominal uang sebanyak itu secara langsung dengan mata kepalanya sendiri.
‘Sebenarnya transaksi macam apa yang mereka lakukan? Dan barang apa yang berada di dalam koper itu? Kenapa harganya semahal ini?’ batin Aldebaran.
Lion pun kembali mengeluarkan tawanya ketika menerima cek tersebut dari Ardi kemudian langsung menyimpan cek tersebut ke dalam saku jasnya.
“Inilah kenapa aku sangat senang dengan klien seperti Anda, Mr. Widoyonho. Selalu membayar tanpa perhitungan dan tawar-menawar,” ujar Lion.
“Saya hanya berusaha bersikap efektif dan tidak suka bertele-tele,” ucap Ardi.
“Saya sangat suka dengan pemikiran Anda,” ujar Lion kemudian langsung berdiri dari duduknya yang langsung diikuti oleh Aldebaran dan Ardi.
“Kalau begitu, saya permisi dulu. Masih ada urusan yang harus saya kerjakan,” ucap Lion. “Anda boleh menghubungi saya kapan saja jika Anda menginginkan barang lain.”
“Tentu,” ujar Ardi.
“Senang bertransaksi dengan Anda, Mr. Widoyonho,” ucap Lion seraya mengulurkan tangan pada Ardi.
“Senang mendengarnya,” balas Ardi. Setelahnya, Lion pun beranjak dari tempatnya bersama kedua pengawalnya.
Sementara itu, Alasya yang telah berada di depan pintu kamarnya seketika melangkahkan kakinya dengan sempoyongan begitu melihat pintu kamar di sebelah kamarnya terbuka dan Lion keluar dari sana.
Alasya lantas memegang kepalanya dengan langkah yang ia buat semakin sempoyongan. Hingga saat jaraknya telah sangat dekat dengan Lion, Alasya langsung berpura-pura tersandung lalu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pria yang sudah berumur tersebut.
“Aw!” keluh Alasya lemah dengan semakin merapatkan tubuhnya pada Lion.
Kedua pengawal yang siap menjauhkan Alasya dari Lion lantas berhenti ketika menerima isyarat larangan dari Lion. Pria itu tampan menikmati sentuhan tak sengaja Alasya yang terlihat tengah mabuk di tubuhnya. Ia bahkan meletakkan kedua tangannya di pinggang ramping Alasya.
‘Dasar tua bangka jelalatan,’ batin Alasya memaki.
“Aw! Maaf. Aku tidak sengaja,” ujar Alasya yang masih lemah sembari menjauh dari tubuh Lion.
“Tidak apa-apa, Cantik,” ucap Lion menyeringai. “Apa kau sendirian? Kau butuh seseorang untuk menemanimu?” tanyanya.
“Oh! Tidak perlu,” tolak Alasya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Temanku sedang menungguku di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk ke arah kamar yang berada di ujung lorong tersebut.
“Terima kasih perhatiannya,” ucap Alasya sembari membungkuk pada Lion. “Tapi, kenapa wajahmu terlihat tidak asing?” tanyanya dengan mata sedikit layu menatap pria itu. Sontak, raut wajah Lion berubah ketika mendengar ucapan Alasya.
“Kau sangat mirip ... Brad Pitt!” seru Alasya yang seketika membuat Lion melongo sebelum tertawa terbahak-bahak. “Apa kau benar-benar Brad Pitt?”
“Kau benar-benar sangat pandai menilai wajah tampan, Cantik,” ujar Lion yang hanya dibalas senyuman oleh Alasya.
“Ah! Temanku sudah menungguku. Aku pergi dulu, Brad Pitt,” pamit Alasya kemudian beranjak dari sana dengan langkah sempoyongannya.
Lion lantas mengusap bibirnya dengan pandangan yang tertuju pada tubuh seksi Alasya. Setelahnya, ia pun memutuskan untuk pergi dari sana.
Setelah memastikan Lion telah masuk ke dalam lift, Alasya langsung menegakkan tubuhnya seraya menyeringai. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas dari balik dadaanya. Selembar kertas yang berupa cek dengan nominal uang di atasnya yang berhasil ia curi dari saku jas Lion. Sontak, mata Alasya berbinar ketika melihat angka yang berada pada cek tersebut.
“Apa aku kabur saja membawa cek ini dan melupakan misi sialann ini?” usul Alasya yang tergugah untuk memiliki uang tersebut.
“Blue Hat : Black Alpha, anak buah target datang dan melawan agen FBI agar bisa membawa target melarikan diri.”
“Kau tidak perlu melaporkan itu padaku. Masalah target bukan urusan kita lagi,” ujar Alasya.
“Blue Hat : Iya. Target memang bukan urusan kita lagi. Tapi, sepertinya beberapa dari mereka sedang bersiap-siap menuju ke arahmu. Kau harus bergerak cepat untuk mengambil barang itu.”
“Red Spider : Aku akan mencoba menahan mereka di lift dan tangga darurat.”
“Baiklah,” ucap Alasya. “Menyebalkan,” dengusnya seraya memutar bola matanya.
Alasya lalu kembali menyimpan cek tersebut di balik bajunya. Baru saja ia hendak melangkah ke kamar Ardi, tiba-tiba saja pintu terbuka lalu Aldebaran keluar dari sana. Sontak, Alasya langsung memalingkan tubuhnya agar pria itu tidak melihat dirinya.
“Kenapa aku bisa lupa kalau pria itu juga ada di sini?” rutuk Alasya.
“Dia bisa semakin curiga kalau melihatku di sini,” gumamnya.
Setelah memastikan Aldebaran telah masuk ke dalam lift, barulah Alasya membalikkan tubuhnya kemudian melangkah ke depan kamar yang dihuni oleh Ardi lalu menekan bel beberapa kali. Dengan sengaja, ia pun tidak berdiri tepat di depan pintu agar orang yang berada di dalam tidak bisa melihatnya melalui lubang kecil yang ada di pintu.
“Siapa?” tanya Marcus tanpa membuka pintu.
“Layanan kamar. Saya mengantarkan makanan untuk Anda,” jawab Alasya dengan suara merdu.
“Kami tidak memesan kamar. Pergilah,” tolak Marcus.
“Saya datang atas pesanan Mr. Lion D’Amelion. Beliau ingin memberikan hidangan penutup untuk Anda,” sahut Alasya cepat.
Hening.
Selama beberapa saat, Alasya tak menerima balasan apa pun dari Marcus yang membuatnya cukup kesal. Baru kali ini ia merasa diabaikan. Saat Alasya hendak menekan bel lagi, tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka.
“Siapa kau?” tanya Marcus tampak waspada saat melihat bukan pelayan hotel yang berdiri di hadapannya, melainkan Alasya. Seorang wanita tak dikenal.
“Hidangan penutup dari Mr. D’Amelion,” jawab Alasya sembari memasang senyum lebarnya.
Tanpa aba-aba, Alasya langsung menendang sela-sela kaki Marcus dengan kekuatan penuh hingga membuat pria itu mengeluh kesakitan. Tak hanya itu, Alasya juga melayangkan beberapa tinju tepat ke wajah Marcus hingga membuat pria itu tak sadarkan diri.
Setelah berhasil menumbangkan Marcus, Alasya langsung memutar-mutar pergelangan tangannya yang terasa sedikit sakit.
“Sepertinya ini karena aku sudah lama tidak olahraga,” gumam Alasya.
“Si, siapa kau?” tanya Ardi panik dan takut.
“Haish! Harus berapa kali kukatakan? Aku adalah hidangan penutup!” decak Alasya kesal.
-------
Love you guys~