Resign

1099 Words
Pagi pun tiba, Aqlan bangun dengan tubuh yang sangat segar. Bahkan ia pun tersenyum di pagi harinya. Ia menatap ke arah sampingnya karena tangannya merasa sangat berat. Ternyata seseorang tidur di lengannya. Ia cukup terkejut dengan orang yang tidur di lengannya. Ia pun mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam, ternyata ia habis memuaskan dirinya. Pantas saja hari ini tubuhnya merasa sangat segar. Perlahan ia menarik tangannya karena ia harus bersiap ke kantor. Turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Pintu kamar mandi tertutup dan Syafi pun bangun dari tidurnya. Air mata kembali membasahi wajahnya mengingat apa yang terjadi tadi malam. Entah apa yang ia pernah lakukan sehingga sekarang ia menerima karmanya seperti ini. Berusaha untuk menerima semuanya, tetapi hatinya terlalu sakit menerima kenyataan bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Senakal–nakal dirinya, ia tidak pernah berpikir melakukan hubungan sebelum ia menikah. Bahkan berciuman saja ia tidak pernah. Seumur hidup Syafi, ia tidak pernah berpacaran. Mungkin tidak akan percaya jika Syafi tidak pernah pacaran, tapi itulah yang terjadi dalam hidupnya. Menyukai seseorang hingga pernah dekat dengan beberapa orang pria tetapi tidak pernah sampai pacaran karena pria yang dekat dengannya malah berpacaran degan orang lain. Bukan sekali dua kali tapi sudah sekitar lima kali kejadiannya seperti itu. Itu sebabnya Syafi sekarang lebih menutup diri dari yang namanya pria. Ia ingin memiliki waktunya sendiri tanpa pria, dari pada hatinya terus sakit karena berujung dengan cinta yang gagal sebelum berlayar. Syafi menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Ia terus menangis seraya mengigit bibir bawahnya supaya suara tangisannya tidak keluar sama sekali. Tubuh Syafi meringkuk seperti bayi di dalam perut, ia terus menangis hingga bibirnya berdarah akibat mencoba meredahkan suara tangisannya. Aqlan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan kepalanya yang basah. Ia mengernyikan dahinya ketika melihat Syafi yang berada di bawah selimut sedang menangis kencang. Aqlan hanya memutar malas bola matanya. Hal seperti ini saja bisa membuat menangis, kenapa harus menangis padahal itu hal sangat sepele. “Berhentilah menangis! Suaramu berisik sekali!” kesal Aqlan. Syafi yang berada di dalam selimut tidak mendengarkan apa yang di katakan Aqlan karena memang tidak terdengar sama sekali. Aqlan yang kesal langsung berjalan ke arah Syafi dan menyibak selimut Syafi. Namun selimutnya tertahan karena Syafi ternyata menimpah bagian ujung selimut ke bawah kepalanya. Aqlan kesal, ia menarik lebih keras selimutnya hingga akhirnya terbuka lebar. Syafi segera bangun dan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Aqlan mengernyitka dahinya melihat sesuatu yang sangat asing baginya. Ia pun menarik selimut Syafi, “Pak, jangan,”mohon Syafi dengan suara seraknya akibat menangis. “Menyingkirlah!” bentak Aqlan. Dengan cepat Syafi turun dari tempat tidur tetapi kakinya yang lemas membuatnya terjatuh. Aqlan tidak peduli, ia menatap ke arah tempat tidur yang terdapat bercak darah. Matanya membulat melihat bercak darah yang artinya Syafi masih perawan. Ia tahu bagaimana kulture di Indonesia. Namun, melihat penampilan Syafi ia pikir Syafi bukan wanita yang masih perawan. Bahkan Syafi terlihat ramah dengan banyak pria, itu yang membuat alasannya kuat bahwa Syafi bukan perawan. Ia langsung menatap Syafi yang sedang berdiri di belakang Aqlan dengan kepalanya menunduk. “Kita hanya bersenang–senang, jadi jangan harap aku akan menikahimu atau apapun itu!” tegas Aqlan dan ia pun langsung melangkahkan kakinya untuk pergi ke room closetnya. Dengan langkah perlahan, Syafi mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Pakaiannya sudah tidak layak pakai lagi, karena kancing blousenya sudah terlepas. Untungnya ia masih memakai jas supaya bisa menutupi tubuhnya. Ia mengambil tasnya yang isinya berantakan karena di hempaskan secara kasar. Bahkan handphonenya pun menjadi rusak. Dengan langakah perlahan menahan sakit di area intimnya, ia pun keluar dari appartement Aqlan. Air mata tidak berhenti turun membasahi wajahnya. Belum lagi darah yang mengering di bibirnya. Ia memberhentikan mobil taxi dan segera masuk. Mobil taxi melaju meninggalkan area appartement Aqlan. Syafi pergi ke appartementnya, ia berjalan ke arah kamar mandi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Ia menggosok tubuhnya dengan kuat, seolah–olah ia sedang menyikat noda yang susah di hilangkan di pakaian. Setelah membersihkannya, ia pun berjalan ke kamarnya dan memakai baju. Ia kemudian mengambil laptopnya untuk menulis surat pengunduran dirinya. Ia tidak ingin bekerja lagi di perusahaan, hidupnya tidak akan tenang dan rasa jijik ke tubuhnya akan semakin menjadi. Pemikirannya saja saat ini ingin menguliti tubuhnya supaya tubuhnya bisa bersih, tetapi bagaimana ia menguliti tubuhnya dengan pisau atau senjata tajam lainnya yang akan membuat dirinya bisa saja mati. Dirinya bukan wanita yang tidak memiliki dosa, jika ia bunuh diri apakah dosanya tidak semakin bertambah. Ia masih memikirkan dosanya yang tinggi bagaikan gunung tertinggi, seluas samudra dan sedalam palung mariana. Selesai membuat surat resign ia pun merapikan semua pakaiannya karena ia akan pergi entah kemana untuk menyendiri. Ia butuh waktu untuk menerima semua yang sudah terjadi dalam hidupnya. Tidak pernah merasakan pacaran tetapi ia harus kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya. Ciuman pertama dan keperawanannya. Ia memakai hoodie dan rok panjang yang lebar serta memakai hijab setelah apa yang ia perlukan sudah rapi. Berjalan dengan langkah perlahan karena bagian bawahnya masih terasa sakit. Menaiki taxi untuk menuju kantor yang sebenarnya tidak jauh dari appartement yang ia tempati. Syafi turun dari mobil dan meminta supir taxi untuk menunggunya. “Pagi Kartika,” sapa Syafi seraya tersenyum. “Pagi mbak Syafi,” jawab Kartika sedikit terbata karena ia takut salah mengenali orang “Kelihatan beda orang, ya?” tanya Syafi seraya tersenyum. “Hahaha, iya mbak,” jawab Kartika seraya tersenyum canggung. “Aku hari ini enggak masuk, karena ada perlu. Bisakah kamu memberikan surat ini pada pak Aqlan?” tanya Syafi. “Oh, sebentar mbak,” jawab Kartika. “Ada apa?” tanya Syafi seraya mengernyitkan dahinya. “Tadi pak Aqlan berpesan jika mbak datang saya harus memberitahu pak Aqlan,” jawab Kartika. “Apa?” tanya Syafi sedikit terkejut. Ia langsung bertanya–tanya, apa yang diinginkan bosnya itu. Kenapa Kartika harus mengabarkan kedatangannya, apakah Aqlan sudah tahu apa yang akan Syafi lakukan? “Mbak, Pak Aqlan menyuruh mbak menemuinya langsung untuk memberikan suratnya,” ucap Kartika setelah menelpon ke Aqlan. “Untuk apa saya harus menemuinya?” tanya Syafi yang entah kenapa tiba–tiba meninggikan suaranya. “Ah, maaf,” ucap Syafi yang sadar jika ia sudah meninggikan suaranya. “Maaf mbak, saya hanya menyampaikan apa yang pak Aqlan katakan pada saya,” jawab Kartika. “Aku sedang terburu–buru, jadi tolong berikan surat ini pada pak Aqlan,” ucap Syafi dan meletakkan surat resignnya pada Kartika. Dengan langkah cepat seraya menahan sakit, ia segera berjalan meninggalkan lobi kantornya. “Pak, tolong hentikan mbak Syafi!” teriak Kartika pada satpam yang berjaga di depan lobi kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD