Jangan Mencoba Resign

1145 Words
Satpam pun segera menghentikan Syafi yang akan pergi. “Mbak, maaf,” ucap satpam itu ketika mereka menghalangi Syafi. Syafi membalikkan tubuhnya menatap Kartika. “Aku sedang terburu-buru, tidak bisakah aku pergi sekarang?” tanya Syafi kesal. “Maaf mbak, saya hanya menjalankan perintah pak Aqlan untuk menghentikan mbak jika mbak tidak mau menemuianya,” jawab Kartika yang merasa tidak enak pada Syafi. Syafi hanya memejamkan matanya untuk menurunkan rasa marahnya karena memang ini bukan salah Kartika ataupun satpam. Mereka hanya menjalankan perintah atasan saja. Pada akhirnya Syafi pun menemui Aqlan dengan membawa surat resignnya. Syafi masuk ke dalam lift, denting sebuah pesan teks masuk ke hadnphonenya. Untungnya Syafi masih menyimpan handphone lamanya sehingga, ia hanya perlu memindahkan kartunya saja dari handphonenya yang sudah rusak. Ia melihat pesan dari siapa, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ada namanya, tetapi Syafi tahu siapa yang mengirim pesan padanya. “Mbak, aku akan bertunangan minggu depan. Terra harap mbak bisa datang.” “Selamat atas pertunangannya, semoga lancar sampai harinya. Dan semoga menjadi keluarga yang di ridhoi Allah. Aamiin.” Hanya itu yang Syafi kirim, tidak ada pembahasan dia akan datang atau tidaknya. Sebuah pesan teks kembali masuk, “Mbak bisa datang kan? Terra benar–benar berharap mbak datang?” “Kamu yakin Terra? Sudah kamu pikirkan akibatnya? Kamu bukan anak kecil lagi, jadi paham ya dengan maksud mbak. Sudah, jangan menghubungi mbak lagi. Mbak masih banyak pekerjaan!” setelah mengirim pesan itu, ia pun memasukkan handphonenya ke dalam tasnya, dan mengaktifkan mode silent karena pasti setelah ini sang adik akan mengirimi banyak pesan padanya. Syafi menghela napasnya dengan berat, ia belum menyelesaikan masalahnya di sini. Kenapa lagi, harus ada masalah lain yang di timbulkan oleh keluarganya. Syafi menatap pintu ruangan di depannya menghembuskan napas beratnya sebelum akhirnya ia mengetuk pintu ruangan Aqlan dan ia pun masuk setelah di perintahkan masuk. Aqlan sedang berdiri di depan jendela besar yang menampilkan suasana kota Jakarta yang masih macet di jam segini. Padahal ini sudah pukul sebelas siang. “Kenapa kamu tidak masuk bekerja hari ini?” tanya Aqlan dengan kedua tangannya yang masuk ke saku celannya. Syafi tidak menjawab, ia berjalan mendekat ke arah Aqlan. Setelah berdiri di depan Aqlan, dengan kepala tertunduk ia mengangkat kedua tangannya untuk memberikan surat resign pada Aqlan. “Apa ini?” tanya Aqlan dengan nada suara tegasnya. “Surat pengunduran diri, pak,” jawab Syafi masih menundukkan kepalanya. Aqlan yang tadinya akan membuka surat itu dengan cepat langsung merobek surat resign itu. “Siapa yang menyuruhmu resign?” tanya Aqlan dengan nada suara marahnya. “Saya tidak mampu untuk bekerja lagi di sini pak, jadi saya memutuskan untuk resign,” jawab Syafi yang masih menundukkan kepalanya. “Urusan kamu di sini belum selesai. Sudah saya katakan bukan, jika kamu harus mengajari Smith bahasa Indonesai dengan lancar. Jika Smith sudah lancar, maka kamu boleh resign dari sini. Atau kamu saya pindahkan ke bagian lain!” ucap Aqlan dengan nada meninggi dan penuh penekanan. “Maaf pak, bapak bisa mencari orang lain untuk melakukan itu semua. Saya sudah….” “Saya menolak resignmu. Silakan kembali ke ruanganmu dan kerjakan pekerjaanmu!” potong Aqlan dengan nada suara tegasnya. “Saya punya hak untuk resign dari perusahaan!” tegas Syafi seraya mengangkat kepalanya menatap Aqlan. “Dan saya berhak menolak resignmu! Ingat, kamu memiliki surat perjanjian dengan perusahaan!” tegas Aqlan dan sorot matanya begitu tajam supaya lawan bicaranya tidak berani melawan ucapannya. “Katakan dengan jelas, apa yang membuatmu resign? Jika alasanmu jelas, saya akan pertimbangkan lagi!” tegas Aqlan. “Saya tidak bisa bekerja lagi karena saya sudah tidak mampu bekerja dengan baik,” jawab Syafi seraya menatap Aqlan berani. “Saya tidak terlalu banyak keluhan denganmu, dan saya masih menyukai pekerjaamu. Jadi dimana letaknya jika kamu tidak mampu bekerja lagi?” tanya Aqlan seraya menatap tegas Syafi. “Saya tidak mampu pak,” jawab Syafi lagi yang nada suaranya kini sudah pelan. “Apa yang tidak mampu? Sudah saya katakan bukan, jika saya masih menyukai pekerjaanmu?” tanya Aqlan yang sudah tidak meniggikan suaranya. Rasanya Syafi ingin berteriak kencang tepat di wajah Aqlan apa yang membuatnya tidak mampu bekerja dengan Aqlan. “Jika masalah pribadi, jadilah orang yang profesional. Jangan libatkan masalah pribadi dengan pekerjaan,” ucap Aqlan dengan nada suara yang begitu enteng. Syafi semakin terdiam mendengar ucapan Aqlan yang begitu mudah terucapkan. “Ah, karena bapak tinggal di luar negri. Jadi menggampangkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Tapi apa yang bapak lakukan bukan urusan pribadi saya dan bukan pekerjaan saya!” teriak Syafi di akhir kalimatnya. Ia sudah tidak bisa hanya diam saja, mencoba sabar tetapi akhirnya ia pun meledakkan apa yang ia kesalkan saat ini. “Saya bukan wanita jalang yang memuaskan nafsu pribadi bapak!” marah Syafi dan ia pun kembali berteriak. “Saya tidak peduli jika bapak tidak mengijinkan saya resign dari kantor. Tapi bapak sebagai bos juga tidak profesional karena memanfaat bawahannya untuk memuaskan nafsu sialan bapak!” marah Syafi dan ia segera membalikkan tubuhnya untuk pergi dari ruangan Aqlan. Baru juga akan melangkah, dengan kuat tubuhnya tertarik ke belakang dan punggungnya menabrak kaca jendela besar di ruangan Aqlan. Aqlan menekan bahu Syafi kuat dan tatapan mata tajam juga raut wajah yang begitu marah terlihat jelas. “Kamu berani melawan saya?” tanya Aqlan semakin menekan kuat bahu Syafi. “Saya bukan melawan bapak, tapi saya mempunyai hak atas apa yang ingin saya lakukan!” tegas Syafi. “Hak kamu bilang? Hak seperti apa yang kamu maksudkan? Hak untuk resign begitu saja dari perusahaan tanpa ijin dari atasan?” tanya Aqlan yang semakin menekan kuat bahu Syafi dan membuat Syafi merintih kesakitan. “Lepas, pak!” tegas Syafi tetapi dengan nada suara terbata karena menahan sakit. “Saya akan lepaskan jika kamu menuruti apa mau saya!” tegas Aqlan. “Bapak menyakiti saya! Lepas pak! Atau saya lapor polisi!” ancam Syafi dengan menahan sakit di bahunya. Marah tentu saja Aqlan marah dengan apa yang di katakan Syafi. Ia memegang pergelangan tangan Syafi dan menariknya dengan kuat. Ia melemparkan tubuh Syafi ke atas sofa yang berada di ruangan itu. Syafi memejamkan matanya ketika tubuhnya terhempaskan di atas sofa. Aqlan menindih tubuh Syafi membuat Syafi membelalakan matanya. “Apa yang…” ucapan Syafi terhenti begitu saja karena Aqlan sudah membungkam bibirnya. Tangan Syafi bergerak menarik kerah Aqlan tetapi sulit. Ia kemudian mendorong bahu Aqlan, tetapi masih saja tidak bisa, sampai pada akhirnya Syafi pun benar–benar tidak bisa melepaskan diri dari Aqlan. Lagi dan lagi Aqlan mampu menerobos masuk dan menumpahkan kecebongnya di dalam gua berawanya. Aqlan berdiri dengan gagah setelah menumpahkan pasukan kecebong di dalam gua berawa Syafi. “Jika kamu masih keras kepala resign, maka hal ini akan kembali terjadi. Jika kamu tidak ingin hal ini terjadi lagi maka diamlah, dan bekerjalah sebagai orang yang profesional!” tegas Aqlan seraya menatap Syafi dari atas sampai bawah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD