Aqlan melemparkan tubuh Syafi dengan kasar ke atas tempat tidur. Syafi segera bangun, tetapi gerakkannya tidak kalah cepat dengan Aqlan. "Pak, tolong. Jangan lakukan lagi, saya enggak mau pak," mohon Syafi yang raut wajahnya sudah memohon.
Seperti tuli, Aqlan benar-benar tidak mendengarkan ucapan Syafi. Saat ini ia hanya ingin melepaskan muatannya saja karena sudah berminggu-minggu tidak melakukannya. Di tambah ia tidak melihat Syafi seminggu lebih, ia benar-benar merasa ada yang aneh di hari-harinya. Entah, kenapa ia bisa merasakan hal itu. Ia mungkin pernah melakukan dengan wanita yang perawan. Namun kali ini, ia merasa berbeda. Ah, ia sadar apa yang membuat Syafi berbeda.
Mulutnya dan tindakannya selalu menolak, tetapi ketika ia sudah memulai aksinya membuat Syafi keenakan, tanpa sadar desahan itu keluar dari bibir Syafi. Menolak tapi tetap mendesah, membuat Aqlan tentu saja memiliki keinginan untuk menaklukan Syafi. Ia langsung menindih tubuh Syafi. mengikat kedua tangan Syafi dengan dasinya. Syafi kembali harus terjatuh dalam ranjang yang sama dengan Aqlan. Dirinya yang bodoh atau apa, sehingga tidak bisa melawan sama sekali.
Syafi terbangun dan menatap wajah Aqlan yang tidur di sampingnya. Satu tangan Aqlan di letakkan di perut Syafi. Air mata kembali merembes di sudut matanya. Syafi turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Ia mengunci pintu kamar mandinya, kemudian berjalan ke arah shower. Ia menghidupkan showernya, dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan terduduk di bawah guyuran shower itu. "Kenapa Tuhan, kenapa aku tidak berhak bahagia? Apa karena aku sudah membuat kecewa ibuku dan membuat marah ayahku?Makanya engkau berikan aku takdir buruk seperti ini? Apakah seburuk itu diriku sampai engkau beri aku takdir yang menjijikkan ini?" tanya Syafi seraya menangis di bawa guyuran shower itu.
Rasa dingin yang ia rasakan tidak sebanding dengan isi kepalanya yang penuh dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang sama dan berulang-ulang, apa salahnya dan kenapa takdir buruk yang harus ia terima. Ia merasa apa yang ia lakukan pada kedua orang tuanya hanya perlawanan seorang anak dengan sikap ayahnya yang seenaknya sendiri pada seoarang wanita. Dirinya yang pergi ke club hanya sekedar pergi dan minuman yang ia pesan pun bukan minuman beralkohol.
Menonton film dewasa atau membaca buku dewasa memanglah tidak baik, tapi apakah harus begini teguran dari Tuhan untuknya. Syafi terus menangis di bawah guyuran shower hingga ia akhirnya tertidur karena rasa lelahnya.
Aqlan terbangun dan tangannya meraba-raba ke samping tempat tidurnya. Ia langsung terbangun ketika tidak merasakan seseorang berada di sampingnya. "Ke mana dia?" tanyanya entah pada siapa. Ia pun langsung menatap ke sekelilingnya, tapi ia tidak menemukan Syafi sama sekali. Suara gemericik air dari dalam kamar mandi terdengar di pendengarannya. Aqlan turun tidak lupa memakai celana pendeknya sebelum melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi.
Aqlan mengetuk pintu kamar mandi, tetapi tidak ada balasan dari orang di dalamnya. Ia mendekatkan telinganya ke pintu untuk memastikan apakah benar suara gemericik air itu dari dalam kamar mandi atau bukan.
"Syafi, buka pintunya!" teriak Aqlan seraya memegang handle pintu menggerak-gerakkan handle pintu agar terbuka.
Aqlan kemudian menendang beberapa kali pintu kamar mandi hingga akhirnya pintu terbuka. Aqlan membulatkan matanya ketika melihat Syafi yang berada di bawah guyuran shower tanpa ada kain yang menutupi tubuhnya. Aqlan mematikan showernya, kemudian mengambil handuk untuk ia balutkan ke tubuh Syafi.
Ia kemudian menggendong Syafi ala brydal style. Menindurkan Syafi secara perlahan ke atas tempat tidur. Ia pergi ke kamar mandi untuk mengambil handuk lain guna mengeringkan rambut Syafi yang basah. Aqlan sudah kembali ke kamar, kini ia duduk di belakang Syafi yang masih memejamkan matanya. Ia mengeringkan rambut basah Syafi. Setelah sudah tidak sebasah tadi ia kembali menidurkan Syafi. Menyelimuti Syafi dengan selimut tebal. Ia turun dari tempat tidur untuk mencari pakaian Syafi.
"Ck! Rusak!" decak Aqlan kesal.
Ia memakai pakaiannya dan keluar dari kamar hotel untuk mengambil pakaiannya supaya tubuh Syafi lebih hangat lagi. Ia sudah sampai di parkiran, ia pun membuka bagasi mobilnya. Mengernyitkan dahinya ketika melihat sebuah koper yang ada di bagasi mobilnya.
"Sialan! kopernya belum gua turunin," umpat Aqlan seraya menggerutu kesal.
Ia pikir istrinya sudah menurunkan kopernya dari bagasinya. Namun ternyata belum semua di turunkan oleh Rina. Aqlan mengambil handphonenya dan menelpon nomor Rina, tetapi handphone Rina tidak aktif sama sekali.
"Sialan! Nomornya enggak aktif!" umpat Aqlan kesal.
Ia pun mengirimkan pesan pada istrinya. "Udah saya bilang, ambil barang-barang kamu di mobil! Kamu mau buat saya malu, hah!"
"Besok pagi saya pulang, kamu ambil koper kamu. Kalau kamu enggak ambil, saya bakar koper kamu!"
Setelah mengirim pesan, ia pun mengambil kemeja, dan celana bahannya. Namun, ketika ia akan mebgambil celana bahannya, ia menatao koper Rina. Baju-baju istrinya itu panjang-panjang, pasti akan lebih hangat jika Syafi memakai pakaian Rina. Aqlan menggelengkan kepalanya cepat.
Syafi bisa bertanya-tanya, baju besar itu milik siapa. Tidak, ia tidak mau sampai Syafi salah paham atau pun tahu tengang Rina.
Ia pun segera mengambil celana bahannya, kemudian menutup pintu bagasinya dengan kasar, karena tiba-tiba ia ingat dengan Rina dan ia menjadi sangat kesal.
Ia pun segera kembali ke kamar hotel kemudian memakaikan pakaiannya pada Syafi. Seteleha memakaikan pakaiannya, ia pun menyelimuti tubuh Syafi dengan rapat. Kini Aqlan duduk di samping Syafi seraya bersandar di sandaran tempat tidur dengan posisi tidur menyamping ke arah Syafi.
Satu tangannya terulur untuk merapihkan helaian rambut Syafi yang berantakan menutupi wajah Syafim Aqlan hanya diam memandangi wajah Syafi hingga akhirnya ia pun tertidur. Pukul lima pagi, Aqlan harus membuka matanya karena terusik oleh Syafi yang bergumam tidak jelas.
"Argh... berisik!" kesal Aqlan dan mendudukkan tubuhnya.
Matanya membulat ketika melihat wajah Syafi yang merah padam. Ia memegang kening Syafi yang sangat panas. Aqlan pun segera mengambil kunci mobil dan dompetnya kemudian menggendong Syafi untuk ia bawa ke rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, Aqlan segera menggendong Syafi masuk dan dia berteriak seperti orang kesetanan karena takut Syafi kenapa-napa. Syafi sud masuk ke UGD, Aqlan menunggu dengan kahwatir bahkan ia hanha mondar mndir karena terlalu kahwatir dengan keadaan Syafi.
"Ah, sial!" umpat Aqlan karena ia tidak bisa berhenti kahwatir dengan Syafi.
"Kenapa juga, kamu harus guyuran di shower?" tanya Aqlan kesal.
Pintu ruang UGD terbuka, Aqpan dengan cepat menghampiri dokter. "Bagaimana dok dengan keadaannya?" tanya Aqlan yng raut wajahnya masih saja kahwatir.
"Kalau boleh saya tahu, anda siapanya ya?" tanya dokter.
"Saya suamiya," jawab Aqlan cepat karena hanya itu yang dapat ia pikirkan dengan status mereka.
"Ada apa dengan istri saya, ya dok? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Aqlan.
"Syukurlah anda segera membawa istri anda ke sini, jika tidak istri anda bisa meninggal. Pa ...."
"Apa dok, meninggal? Jangan bercanda, dok!" bentak Aqlan tidak terima dengan perkataan dokter.