Syafi sedang sibuk dengan pekerjaannya saat ini, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Aqlan berdiri di depan pintu dengan raut yang tidak bisa Syafi deskripsikan. "Ada apa, pak?" tanya Syafi seray mengernyitkan dahinya.
Bukannya menjawab, Aqlan masuk kemudian menutup dan mengunci pintu ruangan Syafi membuat mata Syafi membulat. Alarm bahaya kini sudah berbunyi di atas kepalnya. Ia pun berdiri dari duduknya dan menjauhkan kursinya dari dirinya. "Bapak mau ngapain?" tanya Syafi yang raut wajahnya panik.
Aqlan terus berjalan menghampiri Syafi tetapi Syafi berjalan mundur menjauhi Aqlan. "Kenapa?" tanya Aqlan seraya mengernyitkan dahinya.
Syafi hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Aqlan mengambil remote untuk menutup tirai ruangan Syafi, agar tidak ada orang yang bisa melihat ke dalam ruangan Syafi.
"Kemarilah, jangan mundur," ucap Aqlan dengan suara yang lembut.
Syafi tidak mendengarkan, ia terus berjalan mundur membuat raut wajah Aqlan yang tadinya masih lembut bahkan Aqlan tersenyum kini berubah menjadi tegas dan rahang-rahangnya itu mengeras. Sungguh, kali ini ia tidak mau lagi, Syafi pun segera berlari menuju pintu keluar. Namun, Aqlan segera mendapatkan tubuhnya. Aqlan membawa Syafi ke depan meja kerja Syafi.
Ia menyingkirkan benda-benada yang berada di atas meja Syafi. Hanya menyisakan laptop dan tablet saja. "Pak," panggil Syafi yang berusaha menjauhkan tubuh Aqlan walau tidak bisa sama sekali. Dorongannya sama sekali tidak membuat Aqlan menjauh dari dirinya. "Pak, saya masih banyak pekerjaan," ucap Syafi.
Bukannya menjawab, Aqlan malah membungkam bibir Syafi dengan bibirnya. Syafi terus menggerakan kepalanya gar Aqlan melepaskannya. Satu tangan Aqlan pun memegang leher belakang Syafi agar Kepala Syafi tidak bergerak sama sekali. Satu tangannya yang lain sudah bergerak membuka celana bahan yang di kenakan Syafi. Tangan Syafi bergerak untuk menghentikan pergerakkan tangan Aqlan.
Aqlan kesal, ia pun melepaskan ciumannya dan menatap marah Syafi. "Pak, tolong berhenti sampai sini. Saya tidak mau lagi, dan kenapa harus saya. Apa alasan bapak mengingkan saya? Tubuh saya enggak secantik model atau artis pak," ucap Syafi yang tanpa sadar sudah menitikan air matanya.
Perasaannya kacau dengan sikap Aqlan. Seminggu lebih dirinya ijn, tapi kenapa tidak membuat Aqlan lelah. Apakah seminggu ini bosnya itu tidak menemukan wanita lain selain dirinya. "Bapak bisa mencari wanita lain, pak. Saya hanya karyawan bapak, bukan pemuas nafsu bapak," lirih Syafi kemudian terduduk di lantai seraya memeluk tubuhnya.
Ia menggigit bibir bawahnya menahan tangisannya. Kenapa ia cengeng sekali hari ini hanya karena sikap Aqlan. Ia hanya lelah dan ingin berhenti dari semua ini. Memang sekarang dirinya sudah berstatus sebagai istri Aqlan, jika dia mengandungpun tidak masalah. Tapi, apakah dirinya tidak pantas untuk di cintai secara baik dan tulus. Tidak bisakah dirinya menjalani hubungan layaknya suami istri di luar sana?
Ia akui, dirinya salah karena tidak membuka identitasnya. Namun, apakah harusa ia membuka identitasnya. Tidak bisakan suaminya ini me cintainya secara tulus padanya. Entah sebagai Syafi atau sebagai Rina.
"Tolong pak, saya tidak mau lagi menjadi alat pemuas nafsu bapak. Saya enggak mau sampai hamil, pak. Kalau bapak mau marah dan pecat saya, saya juga enggak apa-apa pak," ucap Syafi masih dalam posisi terduduk dengan memeluk kakinya yang tertekuk. Ia juga menyembunyikan wajahnya di atas lututnya.
Tidak ada perkataan apapun dari bosnya itu selain sebuah suara langkah kaki yang menjauh dan tidak lama, suara debaman pintu ruangannya itu terdengar.
Syafi mengangkat wajahnya untuk melihat pintu ruangannya yang sudah tertutup. Menangis, ia langsung menagis keras ketika pintu itu tertutup. Rasanya begitu sakit di abaikan oleh Aqlan. Kenapa ucapannya sering sekali di abaikan oleh orang-orang. Kenapa dirinya harua menuruti mau orang-orang dan orang-orang itu mengabaikan keinginannya.
Contohnya saja adalah abahnya. Abahnya selalu ingin anaknya seperti apa yang ia inginkan. Namun, ketika ia melawan keinginan sang Abah hanya ada dua pilihan. Mengikuti mau abahnya, atau namanya di coret dari kartu keluarga.Syafi memilih di coret dari kartu keluarga karena dirinya sudah muak dengan semua hal yang terjadi.
Rasa hormatnya pada sang Abahpun sudah hilang ketika ia melihat perlakuan Abah ke Uminya. Syafi pun memberontak untuk mengikuti mau Abahnya walau dengan pemeberontakkannya itu menimbulkan kekecewaan untuk Uminya.
Syafi hanya ingin menunjukkan, jika seorang wanita juga bisa memberontak tanpa mengikuti mau siapapun. Termasuk seorang istri yang bisa memberontak jika suaminya melakukan hal yang melukai hatinya. Lagi pula di dalam ajaran islam pun, ketika suami meminta ijin untuk menikah lagi itu harus ada ijin dari istrinya. Sang istripun bisa menolak keinginan sang suami jika memang dirinya tidak mau di poligami.
Walau Abahnya memiliki harta melimpah, ia sendiri tidak mendukung poligami. Apakah Abahnya akan bisa bersikap adil atau tidak jika sudah menikah. Baru di tolak saja permintaannya, Abahnya sudah marah-marah pada Uminya. Abahnya juga hampir melakukan kekerasan dengan memukul Uminya. Untung saja saat itu Abahnya tidak jadi menampar Uminya.
Perlahan Syafi berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat begitu berantakan, bibirnya juga sudah bengkak akibat ciuman kasar bosnya itu. Syafi berjalan ke arah pintu ruangannya. Ia mengunci pintunya supaya tidak ada orang yang masuk ke ruangannya.
Ini memang jam istirahat dan kemungkinan orang tidak akan ada yang masuk ke sini. Hanya saja terkadang, Rapunsel masuk ke ruangannya untuk makan siang jika teman-teman se-ruangannya tidak pergi mencari makan di luar.
Setelah mengunci pintunya, Syafi berjalan ke arah meja kemudian mengambil semua berkas-berkas dan alat-alat tulis yang berantakan di lantai. Ia masih saja sesegukan ketika mengambil berkas-berkas dan alat tulis yang berserakan. Duduk di kursinya dan merapihkan satu persatu lembaran berkas yang tidak sesuai dengan urutannya.
Waktu berlalu begitu saja, baru juga ia melangkahkan kakinya keluar dari lobi perusahaan seseorang tiba-tiba saja memegang pergelangan tangannya dan menariknya paksa. "Pak," panggil Syafi ketika sadar siapa orang yang menarik pergelangan tangannya.
"Ada klient yang harus segera di temui. Jadi, kamu ikut saya," ucap Aqlan dengan nada suara sedikit meningi supaya para karyawan lain mendengarnya.
Syafi tidak bisa mengelak, ia pun mengikuti langkah Aqlan pergi dari kantor. "Kita mau kemana, pak?" tanya Syafi ketika ia sedang memakai seat belt.
"Bertemu klient," jawab Aqlan kemudian segera melajukan mobilnya meninggalkan area parkir kantor.
Jalanan sore yang begitu macet membuat Aqlan kesal. Namun, dirinya tetap berusaha tenang. Sedangkan Syafi sendiri hanya diam saja melihat jalanan yang macet. Detak jantungnya saat ini tidak karuan sama sekali, ia memikirkan hal yang tidak-tidak karena menurutnya tidak ada jadwal bertemu klient penting.
Sibuk dengan segala pemikirannya, membuat Syafi tidak sadar mereka sudah sampai di tempat yang katanya tempat bertemu klient. Syafi mengernyitkan dahinya ketika melihat bangunan di depannya. Namun, ia masih berfikir positif kalau klientnya mengajak bertemu di restorant.
Syafi mengikuti langkah Aqlan, walau berat dan was-was. Berjalan ke resepsionis dan Aqlan meminta kunci kamar yang sebelumnya ia pesan. Menyadari hal itu, alarm bahaya di otaknya berbunyi.
Ia akan kabur, tetapi Aqlan segera menyadarinya dan Aqlan segera menggendongnya ke pundak. Syafi berusaha memberontak, tetapi tidak berefek sama sekali.
Sekali lagi, dirinya benar-benar tidak bisa lepas dari manusia bernama Aqlan Delano Abraham