Seorang wanita yang berpakaian lengan pendek dan celana pendeknya sedang merebahkan tubuhnya yang begitu terasa lelah di atas tempat tidur. “Berapa tahun gua enggak pulang?” tanyanya entah pada siapa seraya menatap langit-langit kamar yang sedang ia tempati.
“Gua pikir ini kamar udah jadi gudang atau jadi kamar tamu, tapi sepertinya kamar ini hanya seperti tidak di tempati saja dan masih sering di bersihkan. Tata letak dan aromanya yang buat gua mikir memang kamar ini tidak di gunakan tapi masih sering di bersihkan,” monolognya masih menatap langit-langit kamar.
Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan wanita itu dari langit-langit kamarnya. “Rina buka pintunya,” teriak orang dari luar kamar.
Wanita yang di panggil Rina itu memejamkan matanya dan medesah lelah. Ia baru saja selesai beberes diri, karena setengah jam lalu, ia baru sampai di rumah ini. Rasanya setelah membersihkan tubuhnya, ia ingin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Suara gedoran di depan pintu kamarnya dan teriakan dari luar memaksanya untuk bangun dari tempat tidur.
"Iya, umi. Kenapa?" tanya Rina seraya membuka pintu kamarnya.
“Kemana sih kamu, lama banget buka pintunya?" tanya orang yang menggedor pintu tadi, tidak lain adalah uminya Rina.
"Rina mau tidur dulu, Rina capek," jawab Rina yang raut wajahnya sudah terlihat lelah.
"Makan dulu, habis itu kalau mau tidur, tidur," ucap Umi.
"Ini juga masih jam sembilan pagi. Enggak bagus, kamu tidur pagi-pagi," lanjut umi berucap.
"Rina masih kenyang mi. Tadi sambil nunggu jemputan di stasiun, Rina makan dulu," ucap Rina.
"Palingan cuma makan apa, pasti sedikit juga. Udah, ayo, kamu makan," ucap umi seraya menarik pergelangan tangan Rina.
"Mi, aku beneran udah kenyang dan sekarang ngantuk banget. Capek enggak nyaman tidur di kereta. Mau naik pesawat juga semalam aku nyelesaiin kerjaan aku dulu," mohon Rina.
"Enggak, kamu harus makan. Badan kayak tengkorak hidup kayak gini. Mau mati kamu, badan kayak begini?" tanya umi tanpa menghentikan langkahnya ke arah meja makan.
"Aku gemuk, kenapa di sebut kurus? Ini tuh, udah gemuk banget mi," protes Rina. Baginya tubuhnya sekarang itu sudah gemuk. Berat badan biasanya sekitar 48 kg, kini sudah mencapai 52kg dan tubuhnya sudah terasa sangat berat.
"Mana ada, kayak begini gemuk," ucap umi dan sudah membalikkan tubuhnya.
"Duduk! Kamu makan sekarang!" perintah umi tegas seraya menatap putrinya yang sudah lama tidak pernah pulang ini. Mungkin, sudah ada sekitar tiga atau empat tahun tidak pernah pulag. Padahal masih satu pulau, hanya berbeda kota saja.
Mau tidak mau Rina pun duduk di kursi makan, ia menatap lauk pauk yang ada di meja makan. Hanya lauk sederhana, ada ayam goreng, rebusan daun singkong dan sambal tumpang kesukaan Rina.
Rina mengambil daun singkong, timun, sambal tumpang dan ayam goreng tanpa memakai nasi. "Apa-apaan enggak pakai nasi? Jangan sok, kebule-bulean makan enggak pakai nasi!" marah umi.
"Mi, ini udah ada sayuran buat pengganti nasi," ucap Rina tetapi tidak di indahkan oleh uminya. Dua centong nasi sudah di letakkan di dalam piring Rina.
"Mi, ini kebanyakan," keluh Rina.
"Itu ada sambal tumpang kesukaan kamu, nasi sebakul juga kamu habis kalau ada sambal tumpang," ucap uminya kemudian duduk di kursi samping Rina.
"Itu dulu mi," keluh Rina.
"Enggak usah banyak protes, udah makan aja! Badan kamu udah kurus begini. Selama di sini, kamu harus makan nasi. Enggak usah makan-makanan kayak orang bule!" tegas uminya.
Rina tidak berkata lagi, ia hanya memakan makanannya. Sudah lama sekali ia tidak makan begitu banyaknya seperti ini. Terhitung semenjak ia benar-benar tidak pulang sama sekali ke rumah orang tuannya ini.
Baru beberapa suap ia makan, suara seseorang membuat nafsu makannya turun drastis.
"Masih inget rumah?" tanya pria paruh baya yang berjalan ke meja makan.
"Baju udah kayak wanita mura***, masih berani kamu nginjakin kakimu di rumah saya?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah ayah Rina.
Rina berdiri dari duduknya, "saya pulang karena umi saya dan adik saya yang tiba-tiba hilang tepat satu minggu sebelum acara pernikahannya," ucap Rina seraya menatap berani ayahnya.
"Jadi, jangan kepedean kalau saya sudi menginjakkan kaki di rumah ini!" tegas Rina.
"Alasan saja!" ketus Abah.
"Terserah anda mau berpikir apa tentang saya. Tapi, apa anda tahu, kenapa Terra pergi ketika satu minggu lagi dia menikah?" tanya Rina menatap berani ayahnya.
"Semua karena anda, karena keegoisan anda yang menuntut kesempurnaan!" teriak Rina marah. "Terra tidak akan pergi jika dia tidak di paksa seperti ini!" lanjut Rina berucap dengan nada suara yang masih meninggi dan penuh emosi.
Plak...
Satu tamparan kuat mengenai pipi Rina hingga ia memalingkan wajahnya. Dengan cepat Rina menatap lagi ayahnya. Tatapan yang begitu berani dan juga sorot mata marahnya.
"Bisa tidak, anda itu tidak egois? Hanya mementingkan nafsu anda saja! Sudah menikah seenaknya, anak-anaknya juga harus ngikutin nafsu anda supaya di lihat anak-anaknya baik. Padahal apa, itu hanya untuk muasin nafsu egois anda!" marah Rina yang meluapkan unek-unekanya selama ini.
"Abah yang ngehancurin anak-anak abah! Bukan aku ataupun Terra yang ngehancurin diri kami! Percuma abah sekolah tinggi sampai keluar negri, kalau ini yang abah kasih ke kaluarga abah. Rasa kecewa dan sakit hati!" pekik Rina marah, akhirnya setelah sekian lama, ia bisa meluapkan segala unek-unek di hatinya. Rasa kecewa pada abahnya yang membuatnya menjadi pemberontak.
"Rina, hidung kamu," ucap umi terkejut melihat hidung putri pertamanya itu mengeluarkan darah.
Rina mengambail tisu dan menyumpalkan ke hidungnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi dari sana meninggalkan kedua orang tuanya. Umi hanya bisa menatap ke pergian putrinya yang berjalan ke kamarnya sedangkan ayah Rina hanya terdiam saja.
Tidak lama, ayah Rina pun melangkah pergi dari sana. Umi mendudukkan dirinya di kursi meja makan yang tadi ia tempati. Air matanya kini mengalir membasahi pipinya. Ia mengambil tisu untuk menghapus air matanya. Rasanya sakit melihat sang putri seperti ini. Ia tahu, seberapa kecewa sang putri pada abahnya hingga putri pertamanya itu memberontak. Itu sebabnya hampir empat tahun, putrinya tidak pernah pulang. Selain karena rasa kecewa yang sudah membumbung tinggi, tetapi karena pertengkaran antara ayah dan anak juga karena Rina tidak mengikuti apa mau abahnya.
Abah mengusir Rina dari rumah karena setelah lulus kuliah, Rina bukannya kembali ke rumah untuk membantu mengurus pondok pesantaren tapi ia malah lanjut bekerja di Jakarta. Belum lagi penampilan Rina yang malah mengumbar aurat membuat Abah naik darah dan akhirnya tidak mengijinkan Rina untuk masuk ke rumah lagi. Mencoret Rina dari daftar waris dan kartu keluarga. Menganggap tidak memiliki anak bernama Habeebah Nur Syafrina. Rasanya sakit dan rasanya ingin sekali memaksa anak pertamanya itu untuk meminta maaf pada abahnya. Sayanganya putri pertamanya ini memiliki sifat yang sama seperti suaminya. Keras kepala dan menganggap bahwa ia benar.