Gantikan Terra!

1215 Words
Rina langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan posisi tengkurap. "Sia*! Baji***!" teriak Rina masih dengan posisi tengkurap. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah langit-langit kamarnya. Air mata kini sudah merembes dari sudut matanya. Rina terbatuk untuk menyamarkan suara tangisannya. Memukuli dadanya hanya untuk menghilangkan rasa sesak karena menangis. Ia terus terbatuk hingga akhirnya berlari keluar kamar untuk pergi ke kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali hingga tenggorokannya terasa pedih. Umi sudah menunduk seraya mengusap-usap leher sang putri agar lebih mudah memuntahkan isi perutnya. Rina pun menyiram lantai yang ia kotori dengan muntahannya dan mengelap bibirnya dengan air. Membalikkan tubuhnya dan tangisannya kembali pecah. Umi memeluk tubuh putrinya kemudian menepuk-nepuk pelan punggung sang putri. "Udah jangan nangis, muntah lagi kamu," ucap uminya. Rina masih saja menangis tetapi suara tangisannya sudah tidak sekeras tadi. Umi mengurai pelukannya, ia mengusap air mata putrinya. "Kenapa nangis?" tanya umi dengan nada suara lembut. "Sakit," jawab Rina seraya mengusap tenggorokannya. "Ayo ke kamar, umi buatkan teh hangat dulu," ucap umi seraya merangkul tubuh putrinya. "Humm," jawab Rina yang hanya bergumam saja. "Kamu ke kamar sendiri, umi buatkan kamu teh dulu," ucap uminya. "Iya," jawab Rina dan ia pun pergi ke kamarnya. Sampai di kamar, handphonenya berdenting. Sebenarnya ia malas melihat isi pesannya, karena ia tahu itu pesan dari siapa karena nada denting pesan masuknya berbeda dari biasanya. Namun, di bandingkan handphonenya akan menjadi berisik, ia pun membalas pesan itu. Orang itu hanya bertanya apakah dirinya sudah sampai, dan Rina pun membalas jika sudah sampai. Ia juga mengatakan jika selama di sini ia mungkin akan susah di hubungi karena faktor susah sinyal. Setelah mengirim pesan terakhir itu, Rina pun duduk seraya menyandarkan tubuhnya ke dinding kamarnya. Memeluk gulingnya dan menatap lurus ke arah lantai. Pintu kamar terbuka, uminya masuk seraya membawa makanan dan juga teh hangat. "Rina enggak mau makan, mi," keluh Rina ketika melihat nampan yang di bawa uminya. "Makan, jangan enggak makan. Kamu tadi saja habis muntah-muntah," ucap uminya dengan nada suara ketus. Rina duduk di pinggir tempat tidur, mengambil teh hangatnya dan di minum seddikit karena takut tehnya tidak hangat. Karena tehnya hangat, ia pun meminum beberapa tegak hingga tersisa seperempat gelas lagi. "Makan dulu," ucap umi. "Taruh di meja situ aja mi, nanti Rina makan," ucap Rina yang raut wajahnya lesu. Ia kemudian merebahkan tubuhnya, menarik selimut untuk menutupi bagian bahu hingga kepala. Melihat putrinya yang memilih tidur, umi pun mengalah. Ia membawa makanannya keluar kamar dan membiarkan putrinya itu beristirahat. Kalau nanti lapar, pasti putrinya akan keluar kamar. Rina hanya tidur saja, ia bangun ketika adzan berkumandang karena masjidnya yang tidak jauh dari rumahnya berada, jadi sudah pasti ia mendengar. Ia membuka matanya, dan tidak lama pintu kamar di buka. "Ayo ke masjid," ucap umi. "Rina belum beres, mi," ucap uminya. "Ya udah kalau gitu, kamu bersih-bersih sana. Jangan enggak ganti-ganti," ucap umi dan umi pun keluar dari kamar Rina. Rina malas sekali untuk turun dari tempat tidurnya. Namun, ia harus bangun dan mengganti pembalutnya walaupun yang keluar saja hanya sedikit. Detika, menit dan jam pun berlalu. Kini Rina sedang makan malam dengan umi, abah, dan adik bungsunya. "La, diem deh. Ini masih makan malam, bukannya enggak boleh ya, makan sambil ngobrol? Kamu belajar agama kan di pondok? Atau cuma main aja?" tanya Rina dengan nada ketus seraya menatap adiknya itu. "Maaf mbak," ucap Habeebah Nur Layla atau sering di panggil Lala oleh Rina. "Jangan minta maaf sama mbak!" ketus Rina dengan nada suara sedikit meninggi. "Rina, yang bener kamu ngomongnya sama adik kamu. Jangan kasar-kasar. Kamu ini perempuan, harusnya lemah lembut kalau ngomong," tegur Umi. "Iya," ucap Rina dan ia kembali melanjutkan makannya. Ayahnya sedari tadi hanya diam saja tanpa menegur sama sekali. Padahal, ia bukan orang yang suka jika saat makan ada yang mengobrol. Makan malam telah selesai. "Mbak, Lala boleh tidur sama mbak tidak?" tanya Layla menatap antusias ke arah kakaknya. "Punya kamar sendiri kan, tidur kamar kamu!" jawab Rina dengan nada suara tegasnya. Layla menundukkan kepalanya setelah mendengar ucapan Rina. "Adeknya kangen itu mbak, udah tidur bareng kamu aja. Semalam ini," ucap uminya. "Gih, sana tidur di kamar mbak, jangan ngompol. Sampai ngompol, mbak bawa ke kamar mandi, kamu!" ketus Rina pada Layla. Bukannya sedih, Layla langsung bersorak senang. "Ck! Udah sana, pergi tidur. Mbak masih mau di sini," ucap Rina dengan nada yang sudah lebih rendah tidak ketus lagi. "Lala bobo duluan ya, mbak," ucap Layla. "Iya, sana, kamu tidur," ucap Rina yang langsung di turuti oleh Layla. "Jangan lari," tegur Rina ketika Layla berlari. Mendapat teguran dari kakaknya, Layla langsung berhenti berlari. "Dia benar-benar kangen kamu," ucap Umi seraya tersenyum menatap Layla yang berjalan menjauh dan masuk ke kamar yang ditempati Rina. Mendengar ucapan uminya membuat Rina kini menatap uminya. Namun hanya sebentar saja, ia pun kembali menatap tontonan di layar televisi. "Jadi, aku ke sini harus ngapain umi? Terra pergi, tapi aku enggk tahu dia pergi kemana. Dia enggak ada kirim pesan ke aku sama sekali. Bahkan dia juga enggak ada bilang apa-apa setelah hari pertunangan itu. Hanya beberapa hari sebelum dia pergi, dia kirim pesan jika pernikahannya di percepat. Dia minta aku datang ke pernikahannya. Udah, begitu saja, tidak ada yang lain," terang Rina seraya menatap ke arah uminya yang duduk di sebelahnya. "Kamu gantikan Terra," ucap ayah Rina tiba-tiba membuat Rina membulatkan matanya. "Apa-apaan sih, bah! Enggak, aku enggak mau menikah!" tegas Rina seraya berdiri dari duduknya. "Lagian aku bukan anak abah kan? Abah sendiri yang bilang aku bukan anak Abah," ucap Rina marah. "Aku juga kesini karena umi, kalau enggak karena umi, aku enggak mau kesini!" marah Rina. Tanpa berkata apa-apa, Rina membalikkan tubuhnya dan berjalan ke kamarnya. Dia tidak bisa di rumah ini lama-lama, dia tidak mau menikah. Menikah belum ada di daftar listnya sama sekali. Bahkan mungkin pernikahan itu tidak akan pernah terjadi sama sekali dalam hidupnya. Lagi pula, apa kata orang jika dirinya menikah dengan calon adik iparnya. Orang-orang tahu Terralah yang akan menikah, bukan dirinya. Tapi, tiba-tiba di gantikan dengan dirinya, apakah orang-orang tidak akan semakin menggunjing jika ia menikah dengan calon adik iparnya itu? Rina sudah di kamar, ia segera memasukkan semua barang-barangnya ke dalam koper. "Mbak mau kemana?" tanya Layla seraya mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kaki yang menggantung ke bawah. "Tidur!" perintah Rina tanpa menajawab pertanyaan dari Layla. "Mbak marah ya, karena Lala tidur di sini?" tanya Layla lagi yang wajahnya sudah sedih. "Besok kamu sekolah, tidur! Enggak usah banyak tanya!" ketus Rina seraya membalikkan tubuhnya untuk menatap Layla. "Mbak jangan pergi, mbak Terra udah pergi karena Lala. Lala enggak akan tidur di sini, tapi mbak jangan pulang ya," lirih Layla seraya menundukkan kepalanya. "Mbak udah kerja dan harus kembali ke Jakarta karena kerja, jadi jangan nangis cuma karena mbak pulang. Mbak janji, mbak akan bawa mbak Terra pulang. Sekarang kamu mainnya sama anak-anak pondok aja, dan jangan nangis lagi. Mau di marahin abah?" tanya Rina yang kini sudah berdiri di depan Layla. Tangan Rina bergerak memegang dagu Layla kemudian menarik dagu Layla agar Layla menatapnya. Satu tangannya yang lain mengusap pipi Layla yang basa. Sebenci-bencinya ia dengan adiknya ini, ia tidak benar-benar membencinya. Terbukti dengan apa yang di lakukannya saat ini. Sikapnya hanyalah sebuah perisai agar dirinya tetap kuat dan tidak tumbang dengan rasa sakit setiap kali melihat adiknya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD