Apa yang Harus Di pilih?

1031 Words
Rina menggeret kopernya keluar kamar. Uminya segera menghampiri Rina. "Kamu mau kemana?" tanya Umi yang wajahnya panik. "Pulang!" jawab Rina ketus. "Aku kesini cuma mau bantu nemuin Terra, bukan untuk menggantikan posisi Terra untuk menikah!" tegas Rina kemudian ia kembali berjalan meninggalkan uminya. "Kamu akan mewarisi pondok pesantren ini dan juga namamu akan ada di KK lagi, tapi kamu harus menikah menggantikan Terra," ucap ayahnya dengan nada suara datar seraya menatap Rina. Rina pun menatap ke arah sang ayah dengan tatapan marahnya. "Abah pikir aku akan tertarik? Enggak sama sekali! Aku enggak peduli dengan itu semua!" tegas Rina. "Bukankah ucapan Abah selalu ucapan mutlak? Andai bukan umi yang minta aku ke sini, aku enggak akan nginjakin kaki aku ke rumah ini lagi!" tegas Rina. Hatinya sungguh bergemuruh saat ini. Kepalanya terasa sangat berisik hingga hanya ada emosinya yang butuh di lampiaskan dengan cara berbicara dengan nada meninggi seperti ini. "Terserah kamu, suka atau tidak suka, kamu akan menikah dengan Ano!" tegas ayahnya. "Terserah, terserah, terserah! Gua enggak peduli mau lo!" teriak Rina kemudian ia menarik kopernya untuk pergi dari sana. Ayahnya segera memegang tangan Rina, Rina pun langsung menatap tajam ke arah ayahnya. "Lepasin tangan sialan anda!" ucap Rina dengan nada suara rendah tetapi tegas. Tatapannya yang menatap sang ayah sama sekali tidak ada rasa takutnya. Ayahnya itu berhenti menyeret tangan anaknya, ia membalikkan tubuhnya dan menatap marah pada putri pertamanya ini. Plak ... Suata tamparan yang cukup keras hingga kuping Rina berdenging. Belum lagi darah segar keluar hingga mengenai lantai rumah itu. Umi membulatkan matanya, seketika itupun ia segera mendorong suaminya menjauh. Ia pun langsung melihat wajah putrinya ini. Tanpa terasa air mata terjatuh di sudut matanya. Pipi anaknya membiru, apalagi tamparan kemarin saja mungkin belum sembuh. Ujung bibir sang putri pun robek yang membuat darah tadi mengenai lantai. "Urus anak kamu yang susah di atur itu!" tegas ayah dan pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Umi pun menarik lembut tubuh sang putri dan mendudukkannya di kursi ruang keluarga itu. "Kamu tunggu di sini, umi ambilkan obat dan air hangat untuk mengompres pipi kamu," ucap umi yang wajahnya terlihat kacau, matanya pun sudah berkaca-kaca dan suaranya serak. Rina meraih pergelangan tangan ibunya ketika ibunya akan pergi mengambilkan obat. Ia menggelengkan kepalanya kepada sang ibu, bermaksud supaya sang ibu tidak mengambilkan obat untuknya. Ia ingin berkata, tetapi bibir dan pipinya yang terasa kebas itu susah untuk di gerakkan. "Nurut ya, kamu perlu di obatin," ucap ibunya dengan nada suara lembut. Rina mengeratkan pegangannya, tetapi ibunya pun dengan kuat melepaskan pegangan tangan sang putri. Melihat ibunya pergi begitu saja tanpa mau mendengarkannya, membuat Rina hanya bisa menangis dalam hatinya. Ia pun memilih untuk berdiri dari duduknya dan berjalan untuk mengambil kopernya. Ia tidak peduli lagi, ia harus pergi. Ia tidak mau menikah untuk menggantikan sang adik. Ia juga tidak mau memberi makan ego ayahnya. Suara benda jatuh dan pekikan ibunya membuat Rina seketika menghentikan langkahnya yang akan melangkah keluar dari pintu rumah. Ia terdiam seraya mengeratkan genggamannya di pegangan kopernya. "Enggak! Aku enggak mau!" teriaknya dalam hati, tetapi egonya terlalu lemah untuk melawan kata hatinya sendiri. Ia pun membalikkan tubuhnya untuk menghampiri sang ibu yang kini sedang berlari ke arahnya. Dengan wajah berantakan dan air mata yang membasahi wajah ibunya. Rina segera memegangi lengan sang ibu. "Rina, jangan pergi. Jangan pulang ke Jakarta. Tolong, tolong menikahlah dengan Ano. Cuma kamu harapan umi untuk bertahan. Tolong sayang," mohon umi yang kini berlutut di depan putrinya. Rina masih memegangi lengan ibunya, begitu pula umi yang memegang lengan putrinya. Rina sedikit membungkukkan tubuhnya karena lengannya yang tertarik uminya. Jika ia tidak membungkuk, ia bisa saja terjatuh. "Umi tahu, kamu kecewa dengan abah. Umi tahu gimana rasa kecewanya kamu nduk. Tapi, tolong nduk, tolong kali ini kamu nurut ya, apa kata abahmu. Maafin umi selama ini umi enggak perhatian sama kamu. Umi jahat sama kamu, supaya kamu enggak cuma benci sama abah, tapi kamu juga bisa benci sama umi. Umi juga salah, bukan cuma abah kamu saja. Kalau saja umi bisa kasih anak laki-laki, abahmu tidak akan menikah dan membuat kecewa kamu. Maafin umi, tapi tolong nduk, tolong menikahlah dengan Ano yaj nduk," ucap umi yang sudah berderai air matanya membasahi wajah. Hati anak mana yang tidak sakit melihat ibunya memohon seperti ini. Ini bukanlah salah ibunya, tapi salah ayahnya yang terlalu egois ingin memiliki anak laki-laki sebagai penerusnya. Karena anak perempuan nantinya akan ikut dengan suaminya, jadi pasti tidak akan bisa melanjutkan untuk mengurus pondok pesantren. Itu pemikiran yang terlalu sempit dan kolot dari ayahnha saja. Namun, bukan hanya itu saja yang membuat dirinya membenci sang ayah. Tapi sikap ayahnya yang membuat dirinya kecewa. Lihat saja betapa egois ayahnya yang tanpa belas kasih menampar anak perempuannya sendiri. Ia membuang anaknya hanya karena anaknya tidak menuruti keinginannya. Dan sekarang dengan iming-iming akan di masukkan kembali di KK dan daftar waris, ayahnya itu seenaknya memaksa dirinya untuk menikah dengan calon adik iparnya sendiri. Rina selalu berpatokan pada ayahnya, bahwa ayahnya laki-laki sempurna. Namun apa yang terjadi, satu-satunya laki-laki yang ia yakini tidak akan pernah menyakitinya, nyatanya membuatnya sangat-sangat kecewa. Rina menggelengkan kepalanya, ia membuka mulutnya, hanya sebentar karena pipi dan bibirnya begitu sakit. Rina mengambil handphonenya kemudian mengetikkan sesuatu di handphonenya. "Umi enggak salah sama sekali. Jadi, jangan minta maaf." Setelah selesai mengetik ia memberikan ketikannya pada ibunya. Umi menatap sang putri, "kita ke kamar ya nduk. Obatin pipi dan bibir kamu," ucap Umi dengan nada suara lembut dan mata yang berkaca-kaca. Rina menatap uminya penuh harap. Berharap uminya mengerti keadaannya. Ia belum ingin menikah, ia masih ingin bahagia dengan dirinya sendiri. Belum lagi, ia sepertinya tidak mungkin menikah dengan keadaannya sekarang. Bukan hanya akan membuat malu karena pengantinnya di ganti saja, tapi mungkin umi dan abahnya akan semakin malu dengan hal lainnya lagi. "Nduk, yuk ke kamar, kita obatin pipi dan bibir kamu, ya," ucap umi membuat Rina tersadar akan lamunannnya. Rina menggelengkan kepalanya, umi pun kini kembali berlutut tanpa memegang tangan putrinya. "Tolong maafkan umi," ucap umi yang kepalanya tertunduk. Rina menundukkan kepalanya, menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar. Ia benar-benar tidak bisa menikah dengan calon adik iparnya, tetapi ia tidak bisa melihat ibunya memohon seperti ini. Apa yang harus ia lakukan saat ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD