Sah

1263 Words
Waktu berlalu begitu saja, Syafi kembali bekerja seperti biasanya. Sebisa mungkin ia menghindari waktu berdua dengan bosnya itu. Namun, ujung–ujungnya ia akan terbaring di ranjang bosnya. Entah sudah berapa kali bosnya melakukannya dan menumpahkan kecebong di rahimnya tanpa pengaman sama sekali. Namun syukurlah, di bulan ini Syafi masih menstruasi seperti biasanya. Ia pun bersyukur memiliki gangguan hormon yang menyebabkan dirinya datang bulan melebih waktu normal. Datang bulan yang di alami Syafi yaitu sekitar tiga minggu. Dalam waktu tiga minggu darah yang keluar tidak begitu banyak, hanya di hari kedua dan ketiga yang biasanya dia harus mengganti pembalutnya setiap dua jam sekali. Selebihnya hanya mengganti pembalut ketika ia akan buang air kecil saja. Denting suara pesan masuk mengalihkan pandangannya. Nomor tidak ada namanya, lebih tepatnya nomor sang adik. “Mbak, aku minta tolong kali ini datang ya. Abah minta pernikahannya di percepat. Awal bulan nanti aku menikah, tolong mbak. Mbak datang ya.” "Kalau mbak udah bilang enggak akan dateng ya enggak akan dateng. Berhenti Terra atau nomor kamu mbak blokir!” Setelah mengirim pesan itu, Syafi pun fokus dengan pekerjaannya dan tidak mempedulikan pesan yang masuk ke handphonenya. Ia malas meladeni adiknya karena akan ada ceramah panjang yang akan adiknya sampaikan. Bahkan ia akan mengirimkan ayat–ayat alqur’an beserta maknanya. Selain itu juga akan ada hadis yang di kirimkan adiknya. Ia sudah lelah, jadi tidak mau semakin di buat lelah dengan pesan yang adiknya kirimkan. Wajah Syafi yang tidak bersahabat sama sekali itu ternyata di lihat oleh Aqlan yang sudah berdiri di hadapannya tetapi tidak di sadari oleh Syafi. “Kamu enggak makan siang?” tanya Aqlan. “Pak,” ucap Syafi yang terkejut dengan kehadiran Aqlan di depannya membuat ia memundurkan kursinya karena terkejut. “Kenapa?” tanya Aqlan seraya mengernyitkan dahinya. “Bapak kalau mau makan siang, makan siang pak,” ucap Syafi mencoba tersenyum walau jantungnya berdegup tidak karuan. “Kenapa?” tanya Aqlan lagi. “Saya bawa bekal, pak,” jawab Syafi seraya mengangkat tas yang berisi kotak bekalnya. “Apakamu tidak punya uang?” tanya Aqlan seraya menatap tas bekal Syafi. “Saya sedang malas ke luar pak, jadi lebih baik bawa bekal,” jawab Syafi. “Sudah waktunya istirahat, lebih baik bapak pergi makan siang saja dengan Smith,” ucap Syafi. “Kamu yakin tidak makan di luar?” tanya Aqlan. “Iya, pak,” jawab Syafi yakin. Aqlan pun keluar dari ruangan Syafi membuat Syafi menghela napas lega. Rasanya setiap dirinya hanya berdua dengan Aqlan hanya ada rasa takut dan gemetar walau sekuat tenaga ia berpura-pura baik-baik saja. Hari–hari berlalu, semua berjalan dengan baik. Tidak ada yang terjadi sedikitpun di kehidupannya. Namun, tidak ada angin ataupun badai bahkan semalam pun ia tidak memimpikan apapun, sebuah panggilan dari nomor yang sudah lama tidak menghubunginya tiba–tiba saja muncul di layar handphonenya. Syafi ragu ingin mengangkat telpon itu, tetapi ia pun merindukan suara itu. “Hallo, assalamualaikum,” ucap Syafi ketika ia sudah mengangkat telponnya. “Rina, hiks… hiks…” ucap orang di sebrang telpon seraya menangis. “Umi, ada apa mi?” tanya Syafi kahwatir mendengar isak tangis uminya. Wanita yang sudah melahirkannya. “Terra, Terra…” ucap umi dan kembali menangis kencang. “Umi, istighfar mi… tarik napas terus hembuskan pelan–pelan,” ucap Syafi dengan suara lembut. “Terra menghilang, Terra menghilang Rina…” ucap umi pada akhirnya kemudian Suara tangisan umi kembali terdengar. Syafi seketika terdiam mendengar ucapan sang umi. Ia di telpon hanya karena sang adik menghilang. Rina adalah nama panggila Syafi dari orang tuanya. Menarik napasnya kemudian menghembuskan napasanya dengan kasar. “Bukankah seminggu lagi dia menikah, aku dapet info itu darinya. Jadi, tidak mungkin Terra menghilang,” ucap Syafi dan kembali menghembuskan napasnya dengan berat. Ketika ia menarik napas dan menghembuskan napasnya itu, ia menjauhkan telponnya agar tidak di dengar oleh wanita yang sudah melahirkannya. Rina adalah panggilan Syafi dari orang tuanya, ia memakai nama Syafi karena ingin lepas dari kedua orang tuanya. Hanya ada rasa sakit jika ia masih memakai nama panggilan itu. Syafi masih diam dengan apa yang baru saja uminya katakan. Apa yang terjadi dengan adiknya, apakah adiknya sudah gila. Satu minggu lagi pernikahannya dan sekarang ia menghilang. Satu–satunya harapan dia untuk membahagiakan uminya, kini adiknya itu malah menghilang. “Kamu enggak percaya sama umi?” tanya umi yang tidak suka mendengar pertanyaan Syafi. “Mi, bukan aku enggak percaya. Tapi enggak mungkinlah, Terra akan pergi, mungkin dia pergi ke mana mi. Enggak mungkin pergi jauh-jauh, coba aja di cari ke tempat siapa mungkin,” ucap Syafi. “Umi mau kamu pulang, umi mohon bantu umi cari adikmu. Seminggu lagi adikmu menikah, mau di taruh dimana lagi muka umi dan abahmu. Sebelumnya kamu yang buat malu umi dan abah. Sekarang adikmu, pokoknya malam ini kamu pulang!” tegas umi. “Mi, enggak bisa. Aku kerja, gimana bisa pulang sekarang. Enggak semudah itu untuk mengajukan cuti,” ucap Syafi yang sedikit meninggikan suaranya. “Kamu pulang, atau Umi bener-bener enggak anggap kamu anak lagi!” marah Umi. “Memangnya …” belum selesai Syafi berucap sambungan telpon sudah terputus. “Anjrit!” umpat Syafi seraya meletakkan handphonenya secara kasar di meja kerjanya. “Kenapa harus gua, sih!” pekik Syafi yang begitu kesal. Syafi menyandarkan tubuhnya di sandaran kursinya. Memejamkan matanya merasa lelah dengan semua ini. Ia kembali mendudukkan tubuhnya dengan tegap, melihat tumpukan berkas yang harus ia kerjakan. Berdiri dari duduknya, ia berjalan ke luar dari ruangan dan pergi ke ruangan Aqlan. Syafi menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya ia menghembuskannya secara kasar. Ia mengetuk pintu ruangan Aqlan dan masuk ke dalam ketika Aqlan sudah menyuruhnya masuk. “Ada apa?” tanya Aqlan seraya fokus menatap Syafi yang sedang berjalan ke arahnya. Syafi menatap Aqlan ketika dirinya sudah di berdiri di depan meja bosnya. “Pak, bisakah saya ijin untuk ambil cuti seminggu lebih? Saya harus pulang ke rumah orang tua saya. Ini baru saja saya di telpon pak,” ucap Syafi. “Kamu pikir ini perusahaanmu? Kamu tahu kan, aturan di sini bagaimana?” tanya Aqlan dengan nada suara dinginnya. “Pak, tolong pak. Ini dadakan,” ucap Syafi. “Kembalilah keruanganmu!” tegas Aqlan dan ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Syafi langsung berlutut di depan meja kerja Aqlan. “Saya minta tolong bapak kali ini... saja, pak. Maaf saya melakukan ini, karena ini benar-benar dadakan tanpa di rencanakan dan saya tidak bisa menolak keinginan ibu saya, saya minta tolong bantuan sama bapak,” mohon Syafi berusaha membuat bosnya ini mau mengijinkannya mengambil cuti. Walau cutinya sudah habis, tapi ia masa bodo tentang hal itu. Ia tidak mau sampai membuat ibunya semakin membencinya. *** Rina tersadar dari lamunannya ketika sang umi menepuk bahunya. "Heh! kamu apa-apaan, sih! Itu calon suamimu mau ngucapin ijab kabul," tegur umi. Rina tidak menjawab apa-apa, ia hanya diam saja. Apa yang harus ia hadapi sekarang ini, kenapa bisa laki-laki yang menjadi calon adik iparnya adalah bosnya di tempat kerja. Dan sekarang, bosnya itu kini akan menjadi suaminya ketika bosnya itu mengucapkan kalimat ijabnya. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Habeebah Nur Syafrina binti Abdullah Shaib dengan mas kawinnya tersebut tunai,” ucap sang pengantin pria hanya dalam satu tarikan napasnya. Kata sah pun bergema di dalam masjid yang berada di dalam pondok pesantren Al-Insani itu. Rina yang baru saja sah menjadi seorang istri pun hanya bisa menjatuhkan air matanya yang sedari tadi ia tahan. Kenapa dunianya harus seperti ini, berniat berbakti pada sang ibu, tapi dirinya harus merelakan hidupnya pada seorang pria yang seharusnya menjadi suami sang adik yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD