Mau Mencoba Kabur?

1049 Words
“Kenapa bapak di sini?” tanya Syafi yang mulai panik, bahkan tangannya sudah reflek menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas bahu. Pergerakan tangan Syafi membuat infus di tangannya itu terlepas dan darah segar langsung mengalir deras dari tangan yang terinfus. “Apa yang kamu lakukan!” bentak Aqlan seraya menarik tangan Syafi yang bercucuran darah. Syafi pun melihat darah yang mengalir dari tangannya membuatnya segera berpaling. Aqlan pun dengan cepat menekan bel supaya suster atau dokter segera datang untuk membersihkan darah Syafi. Suster dan dokter pun segera datang untuk mengecek keadaan. Dengan segera suster pun melakukan tugasnya untuk memperbaiki infus Syafi dan membersihkan darahnya. Sprei tempat tidur Syafi pun harus di ganti karena banyak darah di spreinya juga selimutnya. Syafi merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya karena tubuhnya masih lemas. Ia memiringkan wajahnya setelah Dokter dan suster pergi. Tubuh Syafi masih lemas, jadi dokter menyarankan Syafi untuk tinggal di rumah sakit sampai besok. Jika besok keadaannnya sudah pulih, maka Syafi sudah di ijinkan untuk pulang. “Pulanglah pak, ini sudah malam,” ucap Syafi dengan mata yang sudah menutup dan ia juga memalingkan wajahnya. “Besok pagi saya akan kembali, jangan mencoba kabur!” peringat Aqlan kemudian ia pun keluar dari ruangan Syafi. Setelah pintu ruangan tertutup, Syafi membuka matanya. “Jangan harap gua nurutin lo!” marah Syafi kemudian ia kembali memejamkan matanya. Pagi pun tiba, sekitar pukul enam pagi Syafi sudah terbangun, Ia mendudukkan tubuhnya dan menatap sekitarnya. Tidak ada Aqlan sama sekali, ia pun perlahan turun dari ranjang untuk pergi ke bagian administrasi untuk mengurus pembayarannya. Namun dari pihak rumah sakit belum mengijinkan Syafi untuk keluar dari rumah sakit. Belum ada ijin dari dokter, itu sebabnya Syafi belum di ijinkan pulang. “Tolong sus, saya harus segera pulang ke rumah. Ayah saya masuk rumah sakit,’’ ucap Syafi memohon. "Tapi mbak, ini sudah prosedurnya,’’ ucap suster. “Kalau sampai ada apa–apa dengan ayah saya, apa mbak mau bertanggung jawab?” tanya Syafi dengan nada suara meninggi. Ia harus segera pergi sebelum Aqlan datang. Ia tidak peduli jika Aqlan tidak menginjinkannya resign. Ini haknya, jadi terserah dia mau tetap bekerja atau tidak. Tidak peduli dengan ancaman Aqlan, itu hanya sekedar ancaman di mulut saja. Lagi pula untuk apa ia di pertahankan, masih banyak orang lain yang bisa menggantikan pekerjaannya. Ia masih ingin berpikir sehat supaya tidak mengakhiri hidup karena kejadian gila dalam hidupnya. Ia masih bertanya–tanya, kenapa teguran dari Allah sebegitu beratnya hingga ia harus kehilangan keperawanan yang hanya akan ia berikan pada suaminya di kemudian hari. Akhirnya semuanya selesai, ia sudah membayar pengeluarannya. Cukup banyak menghabiskan uang, ingin menggunakan asuransi akan lama selesainya. Suster juga sudah melepaskan infusnya dan Syafi kini sudah berada di dalam taxi untuk menuju terminal bus. Ia tidak tahu akan pergi kemana, tetapi satu hal yang pasti saat ini ia butuh tempat yang sepi dimana tidak ada orang yang mengenalnya. Syafi sudah sampai di terminal bus, menimbang–nimbang kemanakah ia akan pergi. Ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta. Ia akan memulai semuanya disana. Pekerjaan tour guide sepertinya akan mudah ia lakukan karena ia bisa beberapa bahasa. Ia benar–benar ingin mencari suasana baru dan melupakan semua hal. Walau ada sedikit rasa kecewa pada dirinya sendiri karena kehilangan keperawanannya. Untungnya Syafi selalu memiliki tabungan dan juga dana lainnya. Jadi ia tidak akan kesulitan jika tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Sambil menunggu bus berangkat, Syafi memilih untuk mencari makanan karena ia belum makan sama sekali sedari pagi. Ia membeli lontong sayur dan teh hangat. Menikmati sarapannya walau rasanya tidak enak sama sekali di lidahnya. Faktor tubuhnya yang sedang tidak sehat, jadi lidahnya pun merasakan makanannya tidak enak. Setelah makan, ia pun meminum obat dari resep yang di berikan dokter padanya. Syafi kemudian naik ke mobil dan memejamkan matanya. Rasa kantuk menyerang tidak lama ia meminum obatnya, jadi ia mau memejamkan matanya. Lagi pula, perjalanan cukup lama dari Jakarta menuju Jogjakarta. Jadi tidak masalah jika ia sekarang tidur. Mata Syafi mulai bergerak, ia pun akhirnya membuka matanya dan berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke retina matanya. Syafi mengernyitkan dahinya hingga ia pun langsung mendudukkan tubuhnya karena terkejut ia sedang berada dimana. Ruangan yang beberapa waktu lalu menjadi ruangan terburuk dalam hidupnya. “Sudah ku katakan, untuk tidak pergi,” ucap seseorang yang tidak lain adalah Aqlan. Aqlan sedang duduk di kursi seraya menikmati segelas wine. Ia memutar–mutar gelas yang ia pegang. Syafi pun reflek melihat pakaiannya yang ternyata masih rapi dan utuh. “Kenapa saya ada di sini pak?” tanyanya seraya menatap Aqlan kesal. “Saya sudah mengatakan untuk tidak pergi bukan?” tanya Aqlan kemudian meminum winenya. Setelah itu ia berdiri dari duduknya seraya membawa wine yang masih ada di dalam gelas. Aqlan berjalan ke arah tempat tidur, dengan cepat Syafi turun dari tempat tidur untuk menghindari Aqlan. Namun sayangnya ia tidak bisa kabur karena ternyata kakinya terikat. “Sialan!” umpat Syafi membuat Aqlan mengangkat satu alisnya. Syafi berusaha melepaskan ikatannya tetapi sangat sulit hingga Aqlan kini sudah duduk di samping Syafi yang masih berusaha membuka ikatan di kakinya. “Masih mencoba untuk pergi?” tanya Aqlan seraya tersenyum. “Lepaskan saya! Saya bukan wanita jalang anda!” marah Syafi dengan nada suara meninggi. Aqlan marah, tentu saja. Ia tidak suka jika ada yang berbicara dengan nada tinggi seperti itu di hadapannya. Satu tamparan kuat ke pipi Syafi hingga Syafi menolehkan kepalanya ke samping. Syafi diam beberapa saat sebelum ia menatap berani Aqlan. “Anda hanya bos saya! Bukan orang yang punya hak atas hidup saya!” marah Syafi. Aqlan pun membanting gelas yang dia pegang setelah itu ia melahap bibir Syafi dengan rakus. Bibir yang selalu melawannya harus di bungkam supaya tidak melawannya lagi. Syafi berusaha mendorong tubuh Aqlan, tetapi semua sia–sia, ia harus melayani nafsu bej** bosnya. Dan lagi–lagi, bosnya itu menumpahkan kecebongnya di dalam goa berawanya. Entah sudah berapa banyak kecebong bosnya itu masuk ke dalam mulut rahimnya tanpa ada penghalang sama sekali. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya di dalam hidupnya. Ia hanya berharap, bayi haram tidak akan terlahir dari rahimnya. Dirinya akan semakin hancur jika dirinya harus mengandung anak di luar nikah. Kehidupan Aqlan akan nyaman-nyaman saja, karena mungkin di kehidupan sehari-harinya sudah biasa saja melakukan hal seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD