Eps. 5 Status Elang

1268 Words
Mata Elang berkilat menatap Dara. Wanita itu sudah datang tiba-tiba masih mendesaknya untuk pergi buru-buru pula. Tidak tahu apa bila dirinya ingin meluruskan punggungnya sejenak setelah dinas seharian? Jelaga matanya semakin kelam menatap Dara. Tatapan itu mampu membuat Dara mengunci bibirnya tanpa kata lagi, dan memilih menunggu dengan sabar. Sungguh, dia merasa gemetar melihat kilatan tatapan mata Elang yang seolah mengoyak dirinya. Elang meninggalkan Dara duduk di ruang tamu sendiri masuk ke kamar. Tidak nyaman saja baginya ketemu masih mengenakan seragam dinas lengkap. Dia mengambil baju ganti lalu pergi ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Kamar mandi di sini terpisah. Dia tidak suka bangunan dengan kamar mandi jadi satu. Di dalam sana Elang menyalakan shower. Air menyiram bagian kepala dan seluruh tubuhnya. Air hangat yang mengalir mampu membuat ketegangan pada ototnya menjadi rileks—sedikit. Setidaknya masalah yang ada menepi sejenak. Di ruang tamu, Dara berulang kali menatap jam di tangan. Sudah lima belas menit Elang masuk ke dalam, namun pria itu belum kembali juga hingga kini. Padahal dalam setengah jam ke depan dia udah sampai di rumah. Bila datang lebih dari waktu yang ditentukan mungkin Risma akan lebih marah lagi padanya. “Kemana Elang? Kenapa ganti baju lama sekali?” Dara menautkan jemarinya di atas pangkuan dengan gelisah. Beruntung, sepuluh menit kemudian Elang kembali. Tubuh atletisnya tetap terlihat di balik jaket press body yang dikenakannya. Sekilas, pria berambut cepak itu terlihat menawan, namun berubah menyeramkan setelah sorot mata tajamnya membidiknya. Aroma parfum maskulin menguar bercampur dengan udara sekitar kala pria itu berjalan mendekat pada Dara. “Aku sudah siap,” ucap Elang dengan suara berat—seberat hatinya saat ini. Sebenarnya dia enggan pergi menemui keluarga Dara. Bila amukan warga bisa dipadamkan dia tidak akan mau datang ke rumah Dara. Dara berdiri dengan ekspresi yang susah dijelaskan—campuran gelisah, tersentak juga bingung bercampur menjadi satu. “Ya, kita berangkat sekarang.” “Di sana.” Dara menjelaskan di mana alamat rumahnya. --- “Ini rumahmu?” tanya Elang ketika tiba di depan rumah. Elang mengedarkan pandangan mengamati kondisi rumah di hadapannya. Dara hanya mengangguk dengan wajah makin gelisah. Dia sudah membayangkan Bagaimana pertemuan ini nantinya dengan Rasmi. Apakah ibunya itu bisa menerima Elang atau ... justru sebaliknya? Membayangkannya saja sudah membuatnya ketakutan sendiri. Bila ibunya itu menolak Elang, lalu bagaimana dia menghadapi amarah warga? Elang menatap Dara yang masih mematung di depan pintu. Dia tidak tahu kenapa wanita ini belum masuk juga. Hingga ... dia pun mengayunkan tangan ke arah bel dan menekannya. Tak ada yang keluar. Dara terlihat gugup. Dia tahu ibunya tidak akan membuka pintu karena kondisi kesehatannya, kakinya agak susah untuk jalan yang terkadang membuatnya duduk di kursi roda. Karena tak ada respons, Elang kembali mengulurkan tangan untuk menekan bel. Namun, sebelum tangannya menyentuh bel, Dara sudah mendorong pintu terbuka. Alis Elang berkedut. 'Bila dia bisa membuka pintu kenapa sejak tadi tidak dibuka?' Tidak ada waktu baginya untuk berpikir karena Dara sudah melangkahkan kaki masuk ke rumah yang membuatnya ikut mengangkat kakinya juga menuju ke ruang tamu. “Ibu, aku datang.” Suara gugup Dara terdengar nyaring. “Ya, Ibu akan keluar.” Rasmi menjawab dari balik kamar yang di dekat ruang tamu. Di dalam kamar sana wanita itu tidak sendiri. Ada suami yang menemani. Dia bahkan sudah siap sejak tadi dan menunggu Dara. Waktu terasa lama sekali menunggu kedatangan putrinya ini. “Biar aku bantu jalan, Bu, " ujar ayahnya Dara. Rasmi berdiri. Dia bisa berjalan sendiri namun pelan sekali, itu pun dengan bantuan kruk. Kali ini ayahnya Dara yang menjadi pengganti kruk. Pria itu memapah Rasmi keluar dari kamar menuju ke ruang tamu. Tatapannya jatuh pada sosok pria yang duduk di samping Dara setelah menyusun punggungnya dengan nyaman. Rasmi beberapa saat mengamati juga melakukan penilaian pada Elang. Pria di hadapannya ini terlihat tegas, misterius dan penuh wibawa. “Selamat sore, Bu, Pak. Saya Elang.” Elang mulai bicara memperkenalkan diri dan maksud kedatangannya kemari. Dara terlihat diam namun tangannya terus meremas ujung roknya. Takut yang tadi datang membayang tidak bisa ditutupi lagi. “Elang, Dara bilang kalian berdua akan menikah dalam waktu dekat. Benar?” tanya Rasmi dengan tatapan penuh selidik. “Benar, Bu. Dara mengajakku datang kemari untuk menemui Ibu.” Suara Elang terdengar rendah, namun setiap katanya terucap jelas. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari bibir Rasmi. Pertanyaan itu berhasil dijawab Elang dengan mudah. Dara hanya menatap saja—sedikit terkesiap dengan jawaban cepat Elang. Pria itu rupanya bisa berpikir taktis di tengah kondisi seperti ini. Hanya saja ... Dara masih merasa tidak nyaman. Ada ketakutan yang tersimpan dengan beberapa pertanyaan yang mungkin akan menyudutkan dirinya maupun Elang. “Untuk alasan menikah apakah benar karena suatu alasan memalukan semisal penggerebekan?” Deg! Apa yang ditakutkan Dara terucap juga oleh ibunya. Untuk hal satu ini tadi dia belum membahasnya dengan Elang. Semua harapannya kini berada di bahu pria yang duduk tenang di sampingnya. Apa yang diucapkan Elang akan menjadi kunci keputusan Rasmi. “Mengenai itu ... sebenarnya adalah kesalahpahaman. Tidak terjadi apapun di antara kami meski warga berpikiran lain.” Elang menjeda sejenak ucapannya. Dia menatap Dara sebentar. Wanita itu terlihat pucat yang membuatnya berpikir bila dia harus melakukan sesuatu untuk membantunya. “Di atas semua masalah itu, Dara merasa dan saya saling menyukai satu sama lain dalam waktu yang cukup lama. Hanya saja Dara baru berani membawa saya kemari.” Mata Dara tersentak mendengar pernyataan Elang. Mimpikah dia? Di saat dia butuh bantuan, Elang mewujudkan itu. Dia menoleh, menatap Elang dengan tatapan tak terbaca yang sarat dengan makna. Rasmi tersenyum tipis mendengar jawaban Elang. Meski semuanya terkesan terlalu mendadak, namun dia cukup puas dengan jawaban itu, rupanya Dara sudah menjalin hubungan dengan Elang tanpa sepengetahuan dirinya. Rasmi selesai mengajukan pertanyaan, namun ayahnya Dara belum. Pria berambut separuh putih itu kemudian melontarkan pertanyaan— yang ditujukan pada Elang. Ayahnya Dara kemudian menanyakan seputar pekerjaan Elang, keseharian dalam pekerjaannya yang berhasil dijawab Elang dengan sempurna. Hingga ... sebuah pertanyaan mengguncang Dara. “Nak Elang, sudah berapa lama berstatuskan single? Kenapa nggak mendesak Dara untuk segera menikah saja? Bila tahu keadaannya begini kami tak akan memaksanya untuk menerima perjodohan.” Wajah Elang yang sejak tadi tenang kini menampilkan sedikit gelisah di sana yang berubah mencekam dan membuat suasana hening kembali tanpa suara. Agak lama Elang baru bicara. Kedua tangannya bertumpuk di paha. Ada getaran halus di sana. “Satus saya ... duda.” Suaranya berat dan bergetar. Rasmi terkejut mendengarnya, begitu pula dengan suaminya dan Dara. Tubuh Dara berguncang namun dia sebisa mungkin mencoba untuk menutupi dan tampil tenang di depan kedua orang tuanya. 'Duda? Kenapa aku nggak tahu itu? Tapi itu nggak terlihat sama sekali. Bahkan di rumahnya nggak ada foto pernikahan.' Rasmi menatap tajam Dara, menunggu jawaban dari putrinya. Kenapa Dara lebih memilih kartu isi ulang daripada kartu perdana? “Bu, status Elang bukan masalah bagiku. Apapun statusnya aku akan tetap menyukainya.” Apa yang diucapkan Dara sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang dirasakan hatinya yang terasa ngilu— menerima status itu meski tidak ada ikatan cinta di antara mereka berdua. Ayahnya Dara mencairkan situasi yang tegang. Pria itu menuturkan bila dia tidak keberatan dengan status Elang. Terlebih setelah Elang bercerita bila dirinya duda tanpa anak. Mungkin bila ada anak, mereka berdua akan berpikir ulang tentang rencana pernikahan ini. Setelah suasana mencair, Rasmi kembali bersuara. “Bila sudah ada kecocokan di antara kalian berdua, sebaiknya kalian segera menikah.” “Ya, mungkin kami akan bicarakan itu nanti mengenai tanggal pernikahannya, Bu,” balas Elang dengan hati berdenyut. “Lebih baik pernikahannya dilangsungkan minggu depan saja.” Ayah Dara menimpali. “Minggu depan?” Dara dan Elang terkejut bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD