Dara menata hatinya sebelum menghadapi magma dari gunung merapi aktif di depannya yang siap melahap dirinya hidup-hidup.
"Bu, aku nggak mau menikah dengan Dev. Aku kurang suka padanya. Pria itu hanya sibuk menyanjung dirinya sendiri dengan bisnisnya yang berkembang pesat saat ini. Aku tidak butuh semua itu. Aku butuh pria yang mau mendengarkan aku dan mengerti akan diriku."
Ibunya Dara semakin meradang mendengar alasan tak masuk akal dari putrinya ini. Sudah kabur, masih berani melawan dirinya. “Apa maksudmu?”
Ibunya Dara semalam menanggung malu akibat kaburnya Dara dari acara lamaran. Padahal pihak keluarga Dev sudah mempersiapkan semuanya dengan maksimal, tapi Dara ... merusak semuanya. Malu dan kesal menumpuk kini bercampur menjadi satu dan siap untuk diledakkan.
Dara menarik napas untuk mengumpulkan keberanian yang tercecer. "Bu, aku akan menuruti permintaan Ibu untuk menikah, tapi aku punya seseorang yang akan kuajak menikah."
Ibunya Dara—Rasmi mengangkat alis mendengar perkataan putrinya. Apalagi yang digaungkan putrinya ini?
“Maksud kamu apa?” balasnya dengan kening berlipat disertai tatapan curiga penuh selidik.
Sepengetahuannya, Dara tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Dara selalu sibuk dan terus sibuk bekerja tanpa henti, tanpa lelah, tidak memikirkan dirinya sendiri. Itu sebabnya dia menjodohkan Dara dengan Dev. Dia tidak mau saja nantinya Dara usianya semakin bertambah dan tetap mengejar karir, lupa menikah.
“Aku punya calon sendiri Bu untuk dinikahi. Namanya Elang, dia ... menurutku lebih baik daripada Dev,” jelas Dara dengan takut-takut. Berharap Rasmi bisa menerima penjelasannya setelah ini dan tidak akan marah padanya.
“Elang? Siapa itu?” Alis Rasmi diangkat semakin tinggi. Tatapannya menajam menghunus Dara tanpa celah.
Sejenak Dara tercekat untuk menyusun kata. Napasnya pendek dan berat, belum bicara dia sudah seperti dihakimi. “Dia ... Kapten Angkatan Laut di kota ini, Bu. Bila berkenan kami akan menikah secepatnya." Dadanya Dara terasa sesak berkata demikian seolah sangat mengharapkan pernikahan Elang, padahal hatinya berontak dengan pernikahan paksa itu.
“Tunggu sebentar! Kenapa Ibu baru mendengar nama itu sekarang? Dimana dia sebelumnya?” Nama itu sungguh asing di telinga Rasmi. Dara tidak pernah menyebutkan nama itu sebelumnya. Baru kali ini dia mendengar nama itu dan mendadak saja nama itu menjadi calon suami Dara, tanpa ada sebuah proses menyertai hubungan itu.
Dara menggigit bibir bawah. Ini adalah hal tersulit yang harus dia jelaskan. Bahkan dia sendiri pun masih sulit menerimanya. “Sebenarnya ... aku kena grebek dengannya oleh warga yang mengharuskan kami menikah dalam waktu dekat.”
Mata Rasmi membola. Apalagi masalah yang dibuat Dara? Kenapa putrinya ini handal dalam membuat masalah dan membuatnya pusing? Tidakkah putrinya ini tahu kondisi kesehatannya?
Alasan lain dia meminta Dara buru-buru menikah karena kesehatannya yang buruk. Rasmi mengidap komplikasi. Dia mengidap penyakit jantung koroner, pengapuran dan beberapa penyakit lain yang membuat fisiknya lemah. Dia tidak tahu berapa lama sisa hidupnya?
“Grebek apa? Bagaimana ceritanya kamu bisa kena grebek warga? Apa kamu melakukan suatu hal memalukan?” tanyanya dengan emosi bercampur aduk yang menuntut kejelasan hakiki.
Dara menautkan jemarinya dengan gemetar. Ingin menghindar tapi sudah terlanjur cerita dan tidak bisa mundur lagi. “Ini semua kesalahpahaman belaka.” Suara Dara tercekat bila mengingat kejadian semalam yang kini berputar dalam memorinya seperti roll film. “Aku ... hanya berteduh saja setelah basah kehujanan. Saat itu Elang baru ganti baju. Namun warga salah menilai kami telah melakukan hal yang tak pantas dilakukan hingga kami pun tak punya pilihan dan harus menikah.”
Rasanya lega setelah mengungkapkan apa yang dia alami meski artinya Dara harus menanggung konsekuensi berat karenanya.
Hati Rasmi berdesir. Darahnya memanas seketika mendengar cerita Dara. Dengan langkah tertatih dan berat, dia menghampiri Dara.
"Apa? Apa yang kamu lakukan di luar sana? Kamu bikin malu saja!" Tangan Rasmi melayang cepat kemudian mendarat keras di pipi Dara hingga meninggalkan bekas merah dan panas di sana.
Dara hanya berdesis memegang pipinya yang terasa berdenyut nyeri sekarang. Wajahnya tertunduk dalam.
“Ibu sudah memilihkan Dev, pria terbaik untukmu. Namun kamu lebih memilih membuat skandal dengan lelaki lain di sana." Suara Rasmi naik dua oktaf dengan mata semakin berkilat, seperti petir yang menyambar. “Bawa dia ke sini. Ibu ingin bertemu dengannya.” Rasmi ingin tahu seperti apa sosok Elang, apakah dia pantas untuk Dara?
“Ya, Bu.”
–––
“Ada apa kamu datang lagi? Apa kamu datang membawa hari tanggal pernikahan kita?” tanya Elang di suatu sore pada keesokan harinya. Ekspresinya terlihat datar.
Dara dengan wajah bingung duduk tanpa dipersilakan. Permintaan Rasmi semakin memperumit masalah hidupnya. Mulutnya terasa berat untuk dibuka menjelaskan semua ini. Dia tidak yakin, Elang bisa diajak bekerja sama.
Dara yang masih mengenakan seragam kerjanya sampai melonggarkan scarf yang mengikat lehernya untuk memberikan sedikit ruang bernapas. Setelah bersusah payah berusaha, suaranya pun bisa terdengar.
“Begini, sebelum kita menikah ibuku ingin bertemu denganmu.”
Elang diam sejenak. Ekspresinya yang datar mulai berubah agak serius. “Kupikir kamu ingin merahasiakan pernikahan ini dari keluargamu dan hanya kita berdua yang tahu.” Harapan Elang seperti itu. Karena semua ini hanya pernikahan untuk formalitas—meredam emosi warga dan akan berakhir dalam berapa bulan saja, tidak perlu ada yang tahu karena setelah semuanya usai mereka akan menjadi pribadi asing kembali seperti sebelumnya. Tidak akan ada pertemuan lagi atau percakapan di antara mereka.
Dara menggigit bibir bawahnya—gugup. Bila Elang memintanya begitu, dia tidak bisa. Tapi dia harus putar otak untuk membujuknya atau ... Rasmi benar-benar akan murka padanya dan tidak akan ada pernikahan.
“Begini ... sebelumya aku ada masalah. Malam di mana aku datang kemari adalah malam di mana aku kabur dari perjodohan. Seharusnya aku menikah dengan pria pilihan ibuku, tapi aku terjerat skandal penggerebekan itu.” Dara mendesah, merasa dadanya semakin sesak karena terpaksa harus menceritakan masalah yang seharusnya ditutupi. “Bila kamu tidak mau datang menemui ibuku mungkin tak akan pernah ada pernikahan di antara kita.”
Elang menghela napas berat. Masalahnya semakin rumit saja. Bila membawa orang tua artinya pernikahan ini formal bukan pernikahan di bawah tangan seperti yang ia mau.
Berat.
Penuh tanggung jawab.
“Bagaimana? Sebaiknya kamu bersiap dan ikut denganku sekarang,” tanya Dara sedikit memaksa dengan tidak sabar. Risma sudah menunggunya di rumah. Tadi sebelum pulang ibunya itu terus menelepon mengingatkan.
Elang terlihat berat, namun mengingat ancaman dari warga tidak main-main tidak ada pilihan lain baginya untuk menolak ajakan Dara. “Tunggu sebentar, aku mau ganti baju dulu.” Elang baru saja pulang dan masih mengenakan seragam dinas—loreng.
“Nggak perlu.” Dara melirik jam di tangan. Dia tidak ingin membuat ibunya marah kembali karena terlambat pada jam yang ditetapkan untuk bertemu.
Rahang Elang mengeras seketika dengan sikap Dara yang datang dan mengajaknya pergi mendadak.