Eps. 3 Terpaksa Setuju

1106 Words
Bila Pak RT membela Elang, maka dia akan menjadi musuh warga. Tapi bila membela warga, dia juga tidak akan mendapatkan apapun, meski dia tidak minta apapun dari Elang. "Pak Elang ... Anda tahu bagaimana kemarahan warga. Saya tidak bisa banyak membantu. Hanya ini yang bisa saya sarankan. Kalian sebaiknya segera menikah daripada diarak massal keliling kampung. Bagaimana?" Jakun Elang naik turun. Bisakah dia menolak? Niat menolong malah berakhir dengan paksaan menikah, bagaimana ini? Dia berada di posisi terdesak dan tak ada jalan keluar baginya. Apa yang bisa dia lakukan? Dia juga tidak ingin pernikahan ini terlaksana. "Apa tidak ada jalan lain selain dengan menikah, Pak RT?" tawar Elang, tak ingin terlibat dalam sebuah hubungan pernikahan dengan wanita asing yang baru saja dikenalnya. Bila menikah dia harus mengenal wanita itu dengan baik terlebih dahulu. "Pak Elang, Anda bisa melihat kemarahan warga di luar sana belum redam. Bila Anda terus menolak maka mereka tak akan segan untuk mengarak massal." Mereguk saliva dengan berat, Elang terpaksa menjawab dengan nada lebih rendah satu oktaf dan nada dingin. "Jangan arak massal kami." "Jadi ... Anda setuju untuk menikah?" "Ya," jawab Elang dengan suara berat penuh keterpaksaan. Pak RT kemudian menemui warga dan menjelaskan bila masalah ini sudah selesai dan tak perlu mengarak massal mereka sebagai pasangan tak halal. Dia menjelaskan bila Elang setuju untuk menikah, mempertanggungjawabkan perbuatannya ini. Warga mulai membubarkan diri, meskipun beberapa dari mereka masih terlihat berbisik-bisik. Suasana yang ada kini kian menegang setelah kepergian Pak RT. Dalam sekejap kedatangan Dara di rumah Elang mampu mengguncang hidupnya yang sudah berguncang karena perjodohannya dengan Dev. Kini ... dia dihadapkan pada situasi yang lebih rumit lagi dari itu. Dalam sekejap semuanya terasa gelap seolah tidak ada sinar yang menuntunnya ke sebuah jalan keluar dan membuatnya tetap dihadapkan pada jalan buntu. Dara menatap Elang dalam kekacauan pikiran. Bagaimana dia bisa bicara setelah apa yang menimpa mereka? Dia ... berusaha menyusun kata. Elang Wira Hakim, kapten di markas TNI-AL Surabaya yang berdinas di sebuah kapal ini menampilkan reaksi yang berbeda dengan Dara, pria berotot kekar ini terlihat tenang meski telah terjadi penggerebekan oleh warga sini. Dia malah masuk ke dapur. Elang keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi. Ia duduk di kursi di depannya, menatap Dara dengan wajah serius. “Kita perlu bicara,” katanya tanpa basa-basi. Dara mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan tatapan bingung. “Bicara apa?” “Masalah barusan." Dara mereguk saliva. “Jadi… apa yang harus kita lakukan?” Elang meletakkan cangkirnya di meja, lalu bersandar di kursi. “Kita menikah, seperti yang diinginkan oleh warga. Atau ... kamu mau diarak massal?” Suara Elang masih tetap tenang seperti sebelumnya, seolah masalah ini tak pernah mengganggunya. Kata-kata itu meluncur dari mulut Elang dengan begitu mudah, seolah-olah ia sedang membicarakan hal yang sepele. Dara, di sisi lain, merasa seperti jantungnya berhenti berdetak sejenak. "Aku nggak mau menikah ataupun diarak massal." Dara menggigit bibir bawah. Dengan Dev saja dia menolak dijodohkan, apalagi dengan Elang yang baru saja dikenalnya. “Apa?” serunya, matanya membesar. "Kamu sudah dengar sendiri apa kata Pak RT dan warga tadi bila kita tidak menikah maka kita akan diarak masal. Kita terjebak di situasi ini. Bagaimana menurutmu apa ada jalan lain?" imbuhnya dengan suara sedikit meninggi dalam frustasi. Dara merasa disudutkan dengan pilihan ini. Dia berada di jalan buntu. "Ya, tapi ... aku belum siap." Dalam pikiran Dara masalah menumpuk seperti benang kusut. Dia tidak mengenal Elang sama sekali. Elang tetap tenang. “Ini hanya pernikahan kontrak. Tidak akan ada ikatan emosional di antara kita. Ini murni untuk meredam amarah warga dan menyelamatkan reputasi kita.” Dara menggeleng keras. “Kamu gila! Bagaimana mungkin kita menikah begitu saja? Aku bahkan tidak mengenalmu dengan baik!” “Kamu tidak perlu mengenalku,” balas Elang. “Ini bukan pernikahan sungguhan. Kita hanya akan menikah di atas kertas. Setelah semuanya tenang, kita bisa bercerai.” Dara bangkit dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “Kamu tidak serius, kan? Ada banyak cara lain untuk menghentikan amarah warga tanpa harus menikah!” “Seperti apa?” tanya Elang, menatapnya tajam. “Apa kamu mau menjelaskan ke setiap orang bahwa tidak ada apa-apa di antara kita? Apa kamu pikir mereka akan percaya?” Dara terdiam. Ia tahu Elang benar. Warga sudah melihat mereka dalam kondisi salah paham, orang-orang tidak akan peduli dengan kebenarannya. Mereka hanya akan percaya pada apa yang mereka ingin percayai. “Tapi…” Dara mencoba mencari alasan lain. “Apa ini tidak terlalu cepat? Lalu bagaimana dengan orang tuaku?" “Elang menghela napas. “Kamu bisa bilang ini keputusan kamu sendiri. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan mereka.” Dara menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan marah. “Kenapa kamu begitu santai membicarakan ini? Pernikahan itu bukan hal yang sepele!” “Aku tahu,” jawab Elang, suaranya sedikit lebih lembut. “Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi kita berdua.” Dara memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ia tahu bahwa situasi ini tidak ideal, tetapi apa lagi yang bisa ia lakukan? “Berapa lama?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. Elang mengangkat alis. “Apa maksud kamu?” “Berapa lama kita harus menikah?” Dara menatapnya dengan mata yang tajam, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. “Setidaknya sampai semuanya tenang,” jawab Elang. “Mungkin beberapa bulan. Setelah itu, kita bisa berpisah.” Dara menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini. Tapi, di satu sisi, ia tahu bahwa Elang benar. Ini adalah solusi terbaik untuk saat ini. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku setuju.” Elang mengangguk. “Kita akan membuat perjanjian. Semua harus jelas sejak awal, agar tidak ada yang salah paham.” “Perjanjian?” Dara mengernyit. “Aku akan menyusun semuanya,” jawab Elang. “Kita akan menetapkan batasan, termasuk bagaimana kita akan hidup bersama selama pernikahan ini berlangsung.” Dara mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang ia tahu pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi. *** "Dara dari mana saja kamu? Keluarga Dev kemari, dan kamu menghilang. Kamu membuat malu keluarga ini," hardik ibunya Dara setelah wanita itu pulang dua hari kemudian. Keluarga Dev sendiri semalam datang kemari. Mereka sudah siap dengan hantaran lamaran dan sebagainya, namun harus pulang dengan kecewa. Dara napasnya tercekat dan melepaskan kembali handle pintu kamar, mengurungkan niatnya untuk masuk ke sana untuk menghadapi amarah ibunya. Tatapan ibunya seperti pisau yang baru diasah dan siap menikamnya, kaki Dara terasa lemas. Beruntung dia bersandar pada dinding yang kokoh untuk menahan tubuhnya agar tetap tegak. Dia sudah mempersiapkan diri dengan ledakan amarah ibunya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD