Eps. 2 Menikah Atau Diarak?

1107 Words
Dara mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca—teringat pada masalahnya di rumah. Pria di depannya tersenyum tipis, senyum yang tidak benar-benar ramah. "Kamu benar. Aku nggak tahu hidupmu. Tapi aku tahu satu hal—lari dari masalah nggak akan pernah menyelesaikan apapun." Elang Wira Hakim, kapten Angkatan Laut. Seorang duda berusia 33 tahun, menunggu jawaban wanita asing yang baru saja dia masukkan ke rumah dengan sejuta tanya. Kedatangan Dara sendiri tidak diharapkan. Dia hanya berharap wanita ini tidak datang membawa masalah padanya. Dara mengepalkan tangan, merasa emosi mulai menguasainya. Seorang pria asing mencoba ikut campur dalam masalahnya. Namun emosi itu ia tekan sedalam mungkin, mengingat dirinya berada di rumah Elang. Dia menumpang di rumah ini beberapa saat sampai situasi di rumah aman, jadi ... dia harus bersikap baik pada pemilik rumah ini meski hatinya mulai berontak. Rumah itu terasa dingin. Dara berdiri mematung di ruang tamu kecil milik Kapten Elang, masih merasa canggung setelah kejadian tadi. Sejenak ia alihkan pembicaraan yang bila diteruskan akan terasa tidak nyaman baginya. Masalah pribadinya akan dia selesaikan sendiri, dia tak ingin ada orang asing mencampuri urusannya. "Elang ... aku merasa dingin." Padaha Dara sudah mengeringkan tubuhnya, namun tak bisa dibohongi bila pakaian basah yang melekat di tubuhnya menyebarkan sensasi dingin ke seluruh tubuh yang kini membuatnya mulai menggigil. "Bolehkah aku pinjam baju gantimu?" Elang yang kini menutup tubuhnya dengan dalaman tipis, menoleh. “Ya? Tunggu bentar,” jawabnya datar lalu masuk ke kamar dan membawakan sepotong kemeja. "Kamu ganti baju di kamar saja. Kamar mandi sedang ada trouble. Ada bagian pipa yang bocor," lanjutnya sembari menunjuk ke sebuah kamar. Dara mengangguk pelan, meski sebenarnya ia ragu ganti baju di sana. Namun, ia masuk juga ke ruang pribadi itu. Ruangan itu terasa dingin dengan perabot minimalis. Di sisi dinding berjajar beberapa foto pria berseragam—potret diri Elang dalam seragam doreng. Ada nama yang tertera jelas di sana. “Elang Wira Hakim ... jadi itu nama lengkapnya,” gumam Dara membaca dan menyimpan nama itu. Dara melihat beberapa foto elang sembari mengenakan kemeja panjang milik pria itu yang dipakainya sepanjang separuh paha. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Elang mengernyit. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan ekspresi datar seperti biasanya. Di ambang pintu berdiri seorang pria paruh baya dengan wajah penuh rasa ingin tahu—Pak RT. “Pak Elang, maaf ganggu malam-malam begini,” sapanya dengan nada ramah, meskipun ada sedikit nada curiga di suaranya. Elang hanya mengangguk singkat. “Ada apa, Pak RT?” Pak RT melirik ke dalam rumah, saat itu Dara baru keluar dari kamar Elang. Sebelumya dia mendapat laporan dari warga bila ada wanita di rumah Elang. Matanya menangkap sosok Dara yang berdiri kikuk di tengah ruang tamu. Tatapannya langsung berubah. “Oh... ada tamu, ya?” Ia tersenyum kecil, tetapi di balik senyumnya, Dara merasa tidak nyaman. Tak ada respons. Pak RT melangkah lebih dekat ke pintu, menurunkan suaranya sedikit. “Maaf, Pak Elang, tapi tadi beberapa warga lihat ada perempuan masuk ke rumah ini. Mereka... ya, tahulah, jadi bertanya-tanya.” Elang menghela napas panjang. “Dara ini tamu saya, Pak. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan.” Dara yang mendengar percakapan itu merasa pipinya memanas. Ia melangkah maju, mencoba menjelaskan. “Saya... saya cuma numpang sebentar, Pak. Tidak ada maksud apa-apa.” Namun, Pak RT tidak terlihat sepenuhnya puas dengan jawaban itu. Ia melirik ke arah Dara dengan kemeja pria se-paha lalu kembali menatap Elang yang mengenakan dalaman tipis. Semua itu sudah membuktikan dugaan warga. “Begini, Pak Elang. Saya paham kalau Anda ini orang terpandang. Tapi, yang Anda lakukan ini, tidak sepantasnya dilakukan." Elang menatapnya tajam. Mata pria itu seperti menyorotkan peringatan yang membuat Pak RT sedikit bergeser mundur. “Saya sudah bilang, Dara ini tamu saya. Kalau ada yang mau gosip, biarkan saja. Saya tidak melakukan apapun dengannya.” ”Seorang wanita bertamu dengan mengenakan kemeja pemilik rumah dan seorang pria yang mengenakan dalaman tipis? Siapa saja bisa menilai itu apa yang kalian lakukan sebelumnya." Dara ingin menjawab, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara beberapa orang dari luar rumah membuat mereka semua menoleh. “Pak RT! Pak RT!” Seorang ibu-ibu muncul di depan pagar, diikuti beberapa warga lainnya. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu. “Itu benar, ya? Ada perempuan di rumah Kapten Elang? Astaga! Mereka ...” Dara merasa tubuhnya membeku. Ia tidak menyangka situasi ini akan menjadi sebesar ini. Ia hanya ingin menghindari masalah di rumahnya, tetapi sekarang ia justru membuat masalah baru. Elang tetap tenang. Ia melangkah keluar rumah, berdiri di depan pintu dengan postur tegap. “Ada yang perlu dijelaskan?” tanyanya dengan suara pelan namun penuh wibawa. Ibu-ibu itu terlihat sedikit gentar, tetapi rasa ingin tahunya terlalu besar untuk diabaikan. “Kami cuma penasaran, Pak Kapten,” kata salah seorang dari mereka. “Siapa perempuan itu? Kenapa bajunya begitu? Dan baju Anda ...” “Perempuan itu tamu saya. Kalian semua salah paham dengan pakaian kami. Sungguh, tidak terjadi apapun di antara kami. Saya bisa jelaskan." Warga saling berpandangan, jelas yang mereka lihat tidak seperti yang dijelaskan Elang. Dara hanya membeku mendengar tuduhan tak masuk akal ini. Dia pun bersuara untuk memperjelas keadaan. "Ibu-ibu dan Pak RT saya ingin menambahkan tidak seperti yang kalian lihat. Baju saya basah, lalu saya pinjam baju milik Elang. Jadi ... mohon untuk tidak membuat stigma negatif tentang kami berdua." Pak RT melambaikan tangan, meminta warga untuk bubar. “Sudah, sudah. Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Saya akan menyelesaikan masalah ini.” "Pak RT jangan lepaskan mereka berdua karena sudah ketangkap basah melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan bukan pasangan suami istri." "Iya, Pak RT. Bila sudah seperti ini dan masih menyangkal, maka mereka berdua harus diarak massal." Warga semakin memanas mendengar penyangkalan Elang. Dara tak berani bergerak sedikit pun dari tempatnya dan semakin membeku dengan ancaman warga. Sungguh, kenapa masalahnya jadi rumit begini? Kenapa penjelasannya tak diterima? "Mbak, kamu sudah ketangkap basah tapi masih menyangkal saja. Memalukan! Lebih baik mengaku saja, selesai masalah!" Elang kembali menjelaskan dengan kata sederhana yang mudah untuk ditangkap, namun kemarahan warga tak bisa diatasinya dengan mudah. Mereka tetap pada pemikiran mereka yang salah, meski sudah berulang kali dia luruskan pemikiran salah itu. "Pak RT jangan karena seseorang yang membuat masalah adalah seseorang yang berpangkat maka hukuman itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kami harap Pak RT bisa bertindak dengan tegas sesuai dengan sanksi yang berlaku di tempat ini." Warga semakin memanas dengan penjelasan Elang. Pak RT terlihat tegang dengan perkataan warga yang terdengar sebagai ancaman baginya. Di sini reputasinya sebagai ketua warga dipertaruhkan. Dia kembali menatap Elang, meminta pengertian darinya, mengerti pada posisinya yang berada di persimpangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD