Ditemani Marla duduk di meja makan, Alea menyantap bubur yang Marla buatkan khusus untuknya. Sejak tadi Marla memperlakukan Alea seolah dia adalah gadis kecil yang sedang sakit. Marla mencecar Alea berbagai pertanyaan, misal seperti apakah Alea masih merasa pusing, adakah makanan yang ingin Alea makan selain bubur atau mungkin saja Alea menginginkan sesuatu.
Alea tersenyum. "Bu ... terima kasih atas perhatian Ibu pada Alea. Mungkin jika nanti Alea menginginkan sesuatu, Alea akan langsung bilang sama ibu."
Marla mengangguk. "Ingat ya untuk langsung bilang. Jangan sungkan-sungkan." Tangannya membelai lembut lengan Alea, "Tapi kenapa kamu bisa sampai sakit begini, Al?" Marla bertanya heran. Karena saat hari berlangsungnya akad hingga kemarin pun Alea tampak sehat sekali.
Alea hampir tersedak, tidak mungkin dirinya memberi tahu Marla sebab dirinya jatuh sakit seperti ini, yaitu karena terlalu banyak menangis dan makan hati. Bagaimanapun Alea tidak ingin menambah ketegangan antara hubungannya dengan sang suami.
"Anemia Alea kambuh, Bu." Alea terpaksa bohong.
Kening Marla saling bertautan. Wanita itu tidak yakin dengan sahutan Alea. Entah kenapa instingnya mengatakan hal lain. Alea menyembunyikan sesuatu darinya.
"Jangan terlalu kelelahan, Al. Nanti ibu akan suruh Gavin mempekerjakan ART untuk membantu kamu di rumah ini."
"Nggak usah, Bu. Alea senang mengerjakan pekerjaan rumah ini sendiri." Alea menolak cepat. Jika seorang asisten rumah tangga dipekerjakan di rumah ini, lalu apa yang bisa Alea kerjakan nanti? Bisa-bisa ia mati karena bosan sendiri.
Sebenarnya jika diperbolehkan Alea ingin sekali bekerja. Dirinya yang bisa disebut sebagai seorang pekerja keras, jika berdiam diri di dalam rumah mewah seperti ini cukup membuat Alea bosan setengah mati. Tapi Alea belum menemukan waktu yang tepat untuknya berbicara dengan Gavin perihal ini.
Setelah cukup banyak menyuap bubur ke dalam mulutnya, Alea merasa sangat kenyang. Selanjutnya ia harus meminum semua obat yang Gavin berikan. Satu persatu obat ia telan tanpa sungkan. Semua obat itu meluncur masuk begitu saja di tenggorokan Alea.
Mata Alea terpejam, rasa pahit dari obat yang ia telan terlalu dominan di indra perasa nya.
"Pahit ya, Al?" Tanya Marla dan Alea mengangguk membenarkan.
"Pahit banget, Bu," sahut Alea dengan mata yang membuka dan menutup.
Marla terkekeh, melihat ekspresi Alea yang menahan pahit membuatnya geli.
"Bu, kira-kira kalau Alea pengin kerja, diperbolehkan Mas Gavin nggak ya?" ujarnya menanyai Marla.
Tentu saja Alea sangat ingin bekerja, selain karena dirinya sudah terbiasa juga karena Alea tidak ingin berpangku sepenuhnya pada Gavin. Menjadi Alea sangat serba salah. Perempuan itu menikah dengan suaminya tapi mereka seperti orang asing di rumah ini. Sebenarnya, setelah Gavin memberi tahu bahwa dirinya tidak akan memberi Alea kesempatan, Alea merasa Gavin akan meninggalkan dirinya suatu saat jika dirinya tidak berhasil meluluhkan hati suaminya itu.
"Kenapa, Al? Kamu bosan ya di rumah tanpa kegiatan?" Kepala Alea mengangguk. Membenarkan ucapan Marla.
Marla menggumam sejenak, matanya berputar ke atas seakan berpikir sesuatu. "Kalau Ibu sih tidak setuju kamu bekerja, Al. Bagaimana kalau kamu buka usaha sendiri saja nanti?" Marla tersenyum. Pikirnya lebih baik bekerja sendiri daripada ikut bekerja dengan orang lain.
"Tapi, Alea nggak punya banyak uang untuk buka usaha, Bu."
Sontak Marla tertawa karena merasa lucu dengan menantunya yang polos dan baik hati ini. Apa Alea sudah lupa kalau dirinya sudah menikah dengan Gavin dan menjadi menantu di keluarga Liandra? Sekalipun perempuan itu tidak memiliki uang barang satu rupiah pun, tapi Alea memiliki keluarga Liandra dalam hidupnya. Apa Alea lupa hal itu?
"Anak ini pikirannya masih polos rupa nya. Kamu tidak perlu memikirkan modal. Kamu terima beres saja nanti, oke?" Marla memberikan senyumannya lagi.
***
Tiga puluh menit lagi adalah jam pulang kerja Gavin. Alea yang sedang tidak enak badan seharusnya istirahat di dalam kamar, namun perempuan itu malah sibuk bergulat dengan peralatan memasak di dapur. Meskipun sakit ia tetap ingin merawat suaminya yang dingin seperti musim dingin di Antartika itu.
"Kuat, Al. Kamu harus kuat!" Alea menyemangati diri sendiri. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi saja.
Sesekali Alea melirik jam di dinding, memeriksa waktunya memasak tinggal berapa menit lagi hingga Gavin pulang.
"Astaga, ternyata lima menit lagi!" seru Alea panik. Segera dirinya mempercepat untuk menyajikan masakan yang ia olah di atas piring lalu menata nya di meja makan.
Tepat setelah Alea selesai menyajikan, terdengar suara pintu utama dibuka. Gavin masuk ke dalam rumah dengan wajahnya yang seperti biasa. Yaitu wajah dengan sorot mata dingin.
Alea bergegas menghampiri Gavin. "Mas, Aku udah masak," ujarnya memberitahu.
"Aku sudah makan."
Deg!
Rasanya hati Alea seperti tertimpa sesuatu. Sakit. Sakit sekali. Perempuan itu sudah membela-bela kan untuk memasak ditengah ia sedang sakit hanya untuk suaminya, Gavin. Tapi yang dibikinkan masakan malah sudah makan di tempat lain.
Alea tersenyum getir. "Syukurlah, kalau Mas Gavin sudah makan," sahutnya berusaha tenang. Seolah hal itu bukan masalah. Padahal jauh di lubuk hatinya, perempuan itu sedikit kecewa.
Gavin membuka langkah melalui Alea menuju kamarnya. Sedikit pun Gavin tidak mengedarkan pandangannya menatap Alea yang sedari tadi di hadapannya. Pria itu menganggap seolah istrinya itu tidak ada di sini. Padahal apa susahnya memandang istri sendiri Ditambah Alea sangat cantik jelita. Tidak ada ruginya juga untuk Gavin memandang istrinya itu.
"Mas Gavin mau Alea buatkan teh?"
"Nggak usah."
"Atau Mas Gavin perlu sesuatu gitu?"
Gavin menghentikan langkah tiba-tiba, kemudian berbalik menatap Alea yang berdiri tepat di belakangnya. "Nggak perlu urusin aku. Kamu urus saja diri kamu yang sakit itu."
Alea terperangah. Bahkan jantungnya sekarang tiba-tiba berdetak tidak karuan. Kenapa Gavin selalu berbicara kasar padanya? Padahal Alea sudah berusaha menjadi istri yang baik. Rasanya sekarang tubuh Alea sedikit bergetar, kakinya mati rasa seperti kala itu.
Melihat Alea yang berdiri tegang di hadapannya membuat Gavin berdecih dalam hati.
"Banyak drama perempuan satu ini."
Mungkin sekarang Gavin tengah kerasukan setaan, pria itu menyebut istri yang sah di mata agama dan Tuhan dengan sebutan kata seperti itu. Jika saja Alea dapat mendengar apa yang sedang suaminya pikirkan, bisa-bisa Alea menjadi semakin sakit karena Gavin menyerang perasaannya bertubi-tubi.
"Maaf, Mas ...." Alea tertunduk. Kedua matanya dipenuhi dengan buliran bening. Kenapa setiap berhadapan dengan Gavin, Alea selalu tidak bisa menahan diri. Kenapa dirinya selalu lemah padahal selama ini ia bahkan hidup berdampingan dengan kata-kata kasar dari orang lain. Tapi saat mendengar kata kasar itu keluar dari mulut suaminya, Alea tidak bisa menahan diri dan selalu merasakan sakit di dalam hatinya.