Alea membuka kedua matanya perlahan. Pandangannya masih buram, kepalanya masih pusing berputar. Di sampingnya ada Gavin yang tengah duduk dengan mata terpejam. Pria itu tertidur karena hampir semalaman menunggui Alea.
Alea memandang wajah Gavin yang sedang tertidur. Meskipun ada rasa sakit yang ia rasakan saat menatap suaminya. Tapi ini adalah kesempatan untuk Alea memandang Gavin tanpa ragu.
Mata Gavin terbuka tiba-tiba dan menangkap mata Alea yang tengah menatapnya. Alea yang tertangkap basah sedang menatap suaminya lantas membuang muka ke sembarang arah.
"Kamu sudah bangun." Gavin beranjak dari duduknya. "Aku akan memanggil perawat untuk melepaskan infus. Dokter bilang kamu sudah boleh pulang setelah bangun."
Sepeninggal Gavin, Alea masih memalingkan wajahnya. Jarinya meremas kuat selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
---
Gavin datang bersama seorang perawat yang akan melepas infus di tangan Alea. Alea menutup rapat kedua matanya saat perawat itu mulai melepaskan jarum yang terpasang di tangannya. Sebenarnya ia sangat takut dengan benda yang bernama jarum. Selain jarum jahit tentunya.
Seharusnya, pasangan pada umumnya, jika hal seperti ini terjadi, Gavin akan berdiri di samping Alea untuk menemani melawan rasa takut. Tapi kan mereka bukan pasangan pada umumnya. Gavin berdiri di samping Alea namun tidak melakukan apa-apa selain menatap intens Alea dengan dingin. Membiarkan istrinya melawan rasa takutnya seorang diri.
Alea merasakan setiap prosesnya. Bagaimana saat jarum itu di tarik keluar hingga darah yang mengalir karena jarum infus berhasil dicabut.
"Mbak, sudah selesai." Suara lembut dari perawat menyadarkan Alea. Tepat saat ia membuka matanya, ia melihat Gavin yang berdiri di sampingnya dengan wajah yang datar.
"Ayo pulang."
Gavin beranjak meninggalkan Alea di belakang. Meskipun Alea sudah siuman, namun ia belum pulih sepenuhnya. Kakinya terkilir dan Alea masih sangat pusing. Maka tak heran jika Alea berjalan sempoyongan, ke kiri-ke kanan.
"Mas, itu istrinya dibantu berjalan. Kasihan pincang begitu."
Wanita tua yang menegur Gavin karena sudah meninggalkan istrinya jauh di belakang lantas menatap Gavin heran.
Gavin menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiri Alea. Direngkuhnya perempuan berwajah pucat itu ke dalam gendongannya lalu berjalan menuju parkiran.
"Mas ... Alea jalan kaki aja."
"Berjalan kaki dengan sempoyongan, lalu membiarkan orang berpikir kalau aku adalah suami yang kejam karena membiarkan istrinya. Begitu?" Gavin menyergah Alea dengan tuduhan tak berdasar.
Padahal kan memang dia suami yang kejam. Dia nya saja yang tak sadar diri.
***
Gavin merebahkan Alea di atas kasur. "Ini obat kamu. Jangan lupa diminum nanti. Aku akan kasih tahu Ibu kalau kamu sakit." Gavin menyerahkan paper bag berisi obat yang ia tebus di apotik pada Alea.
"Makasih, Mas." Alea berucap sungkan. Ia merasa tak nyaman sudah membuat Gavin repot.
Gavin hanya bergumam untuk membalas ucapan Alea. Langkah kakinya terbuka menuju pintu.
Sepanjang undakan tangga, Gavin meregangkan otot tangannya yang pegal karena menggendong Alea dari garasi hingga ke kamarnya di lantai dua. Gavin merasa sedikit tak nyaman, suhu tubuh Alea masih sedikit panas, untuk itu dirinya menggendong Alea.
Jemari Gavin sibuk mengirimi Marla pesan teks, memberi tahu wanita itu bahwa Alea sedang sakit. Ia sengaja tidak memberi tahu Marla melalui telepon, karena Gavin masih merasa sedikit kesal pada ibunya yang sudah menurunkan semua foto Rosa di kamarnya.
Sekejap Gavin tersadar. Jika pagi ini Marla datang berkunjung dan mendapati Alea tidur di kamar atas, Marla pasti akan mengamuk lagi. Segera Gavin kembali menaiki tangga untuk memindahkan Alea ke kamar utama.
"Ada apa, Mas?" tanya Alea begitu melihat Gavin di daun pintu.
"Ayo turun. Kamu istirahat di kamar utama saja. Sebentar lagi ibu akan datang," sahut Gavin lalu berniat merengkuh tubuh Alea, lagi.
"Nggak usah, Mas. Alea bisa sendiri." Tolak perempuan itu. Kakinya ia turunkan dari kasur lalu berjalan dengan hati-hati.
Di belakangnya, Gavin mengikuti sembari memperhatikan setiap langkah Alea yang gemetar dan pincang. Nyatanya melihat Alea seperti ini membuat Gavin merasa sedikit kasihan.
---
Alea merasa sedikit tegang berada di dalam kamar Gavin. Sedari tadi perempuan berparas cantik itu sangat gelisah. Bagaimana bisa dirinya tenang berbaring di atas kasur sedangkan Gavin tengah membersihkan diri di kamar mandi dalam satu ruangan yang sama. Setiap desir air yang tertangkap di telinga Alea membuatnya bertambah tegang. Alea berpikir serius. Bagaimana jika nanti Gavin keluar hanya dengan berbalut handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. Apa yang harus ia lakukan.
"Mungkin aku pura-pura tidur saja." Alea bergumam.
Begitu Alea mendengar suara pintu dibuka, ia langsung memejamkan matanya. Akan sangat canggung jika dirinya melihat tubuh Gavin yang tidak sepenuhnya tertutup kain.
Gavin melewati Alea dengan handuk yang melilit di bagian bawah tubuhnya. Dengan santai ia memasang kemeja di depan Alea yang tengah terpejam.
"Aku tahu kamu tidak tidur, Alea," seru Gavin.
Siapapun akan tahu jika Alea sedang berpura-pura tidur. Orang mana yang tidur sambil menggenggam erat selimut? Alea memang tidak pandai berakting.
"Buka saja mata kamu," seru Gavin lagi.
Dengan ragu Alea membuka kedua matanya. Betapa terkejut Alea begitu matanya terbuka dan mendapati Gavin yang tengah memasang celana panjangnya. Apa-apaan Gavin ini? Menggoda Alea kah?
Refleks Alea kembali menutup kedua matanya dengan tangan. Meskipun Gavin sudah memakai celana dalam, tetap saja membuat Alea tersipu saat melihatnya. Entah apa yang Gavin pikirkan saat melakukan hal itu. Yang jelas itu namanya sengaja menggoda.
Alea baru bisa bernafas lega setelah Gavin keluar dari kamar ini, meninggalkan dirinya seorang yang merasa kepanasan. Alea beranjak bangun. Segera ia menyalakan AC untuk mengusir hawa panas di ruangan ini.
"Aduh ...." Gumam Alea menutupi seluruh wajahnya dengan tangan. Lagi-lagi Alea tersipu.
***
Marla datang dengan wajah cemas. Setelah membaca pesan dari Gavin ia langsung menuju ke sini karena sangat khawatir pada Alea.
"Sayang, bagaimana perasaan kamu? Masih pusing? Atau kamu mau makan sesuatu, biar Ibu buatkan untuk kamu," tanya Marla berbondong.
Alea tersenyum manis. Matanya memandang Marla dengan penuh syukur karena memiliki wanita itu dalam hidupnya. Kedekatan Marla dengan Alea memang tidak diragukan lagi. Hubungan mereka melekat erat karena kasih sayang masing-masing. Marla begitu menyayangi Alea. Begitupun sebaliknya.
Di balik rasa khawatirnya melihat Alea yang sedang sakit. Marla merasa lega karena Alea dan Gavin tidur di kamar yang sama. Dirinya sangat berharap jika hubungan Alea dan Gavin berangsur membaik. Karena Marla tahu persis jika putranya masih belum sepenuhnya menerima Alea sebagai seorang istri.
"Bu, kalau Alea boleh meminta. Alea pengin makan bubur. Soalnya Alea harus minum obat ini," ucap Alea setelah menyingkirkan rasa sungkannya.
Marla tersenyum lebar. Merasa sangat senang Alea meminta hal itu terhadapnya. "Kamu tunggu ya. Ibu akan buatkan."