Brak!
Refleks Yasmin menoleh saat mendapati pintu utama rumahnya dibuka dengan kasar.
Hans—pria itu masuk dengan langkah gontai dan wajah pucat pasi.
Yasmin segera berlari, berniat hendak memapah suaminya. Namun, baru saja menyentuh lengannya sedikit, Hans sudah mendorong tubuhnya tanpa tenaga.
“Menjauh dari saya!”
Nada bicara itu terdengar dingin. Walau tubuhnya lemah, tapi ia masih menolak mentah niat baik Yasmin.
“Aku cuma mau bantu kamu, Mas. Kamu lemah begini, biar aku bantu ke kamar.”
“Tetap diam di tempatmu, Yasmin! Pusing kepala saya kalau dekat kamu!”
Pada akhirnya, Yasmin menurut. Tapi, tatapannya tidak lepas sedetik pun dari pria yang menaiki anak tangga dengan susah payah.
Beberapa kali Hans terhuyung, membuat Yasmin tidak tega. Ia membuntuti dari belakang dengan langkah pelan.
Benar saja, sesampainya di dalam kamar, tubuh Hans langsung limbung ke atas ranjang. Keringat sebesar biji-biji jagung terlihat keluar dari pelipisnya.
Lelaki itu begitu saja terlelap seperti orang mabuk dan hilang kesadaran.
Tidak, Yasmin tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia turun tangan, melepas jas, ikatan dasi di leher, lalu sepatu dan kaus kaki yang dikenakan sang suami.
Tangan halusnya meraba dahi sang suami.
“Ya, Allah! Badan kamu panas banget, Mas.”
“Davina ....”
Panggilan itu ... panggilan yang membuat hati Yasmin teriris. Pada saat seperti ini, ternyata ingatan Hans tidak lepas dari istri keduanya.
Yasmin gegas mengambil satu baskom air hangat dan handuk kecil untuk kompres.
“Kamu ... wanita p e n g g o d a! Tidak pantas menyentuhku, Yasmin!”
Tanpa memedulikan racauan Hans, Yasmin langsung mengompres dahi sang suami.
“Terserah kamu mau bilang apa. Yang penting, sekarang kamu minum obat dulu.”
Tanpa diduga, tangan lemah Hans justru menepis obat yang disodorkan oleh sang istri.
“Jangan sok peduli kamu! Pergi dari kamar saya!”
Yasmin tetap kekeh di sana. Bagaimana mungkin ia tega membiarkan Hans sendiri dalam keadaan seperti itu?
“Pergi!”
Sekali lagi, Hans mengusir Yasmin dengan nada lemah. Dan wanita itu memilih menurut.
Dengan berat hati, Yasmin melangkah keluar dari kamar, tapi membiarkan pintu itu tetap terbuka.
*
Beberapa jam kemudian ....
Hans sudah benar-benar terlelap setelah beberapa kali mengigau dan menyebut nama Davina.
Yasmin masuk kembali ke kamar, kemudian menutup pintunya rapat. Ia tidur di sofa untuk berjaga-jaga jika saja Hans membutuhkan sesuatu.
***
Hari berganti, kondisi Hans yang belum pulih membuat Yasmin memilih untuk izin tidak masuk mengajar hari ini.
Wanita itu sedang sibuk menyiapkan bubur ayam panas dan secangkir teh manis hangat untuk sarapan Hans.
Ia masuk ke kamar, membawa nampan itu dan meletakkannya di atas nakas samping ranjang.
“Mas, sarapan dulu. Aku sudah buat bubur ayam kesukaan kamu.”
Hans yang posisinya setengah duduk memalingkan wajah. Kepulan panas dari bubur ayam menyapa indra penciumannya.
Dari aromanya saja sudah sedap, apalagi rasanya. Ah, tidak! Hans lagi-lagi menepis pikiran itu. Ia tetap akan keras kepala untuk menolak makanan tersebut.
“Jangan pura-pura, Yasmin! Kamu mana bisa memasak makanan enak. Bahkan, untuk makan malam Mama dan Papa saja kamu pesan di restoran mewah, ‘kan? Memalukan!”
Yasmin menunduk, kemudian duduk di sofa. Ia menatap wajah suaminya dari samping. Wajah itu ... sangat tampan, tapi mulutnya selalu berucap tajam.
“Mau kamu anggap aku beli atau apa pun, aku terima. Yang penting, kamu makan sekarang.”
Hans tetap tidak berminat menyantap buburnya sedikit pun. Namun, tiba-tiba saja lambungnya terasa perih. Ia membungkuk, meremas kuat perutnya beberapa kali.
Menyadari raut wajah Hans yang kesakitan, Yasmin gegas maju untuk memeriksa kondisi suaminya.
“Aku tahu kamu punya asam lambung. Sedikit aja kamu makan, Mas. Jangan keras kepala begini. Makan, ya?”
Yasmin membujuknya lembut. Ia mengambil mangkuk bubur itu dan bersiap menyuapinya.
Pria itu masih diam, melirik buburnya sekilas sambil memegangi perutnya yang perih terus-menerus.
“Saya tidak mau makan!” Dengan tegas, Hans menolak disuapi, ia mendorong sendok bubur yang hampir menyentuh mulutnya.
Yasmin menarik tangannya lalu menghela napas lelah. “Kamu harus makan, Mas. Dari tadi malam kamu enggak makan. Kamu enggak boleh egois kalau emang enggak mau asam lambung kamu naik.”
Hans memalingkan wajah. “Kalau saya bilang tidak mau, ya, tidak mau! Jangan paksa saya!”
Wanita itu tetap duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan wajah suaminya yang pucat.
“Aku tidak akan memaksamu untuk menerima masakanku, Mas. Tapi, untuk kali ini saja, pikirkan keadaan kamu sendiri.”
Hans memilih diam. Kedua matanya menatap ke langit-langit. Isi kepalanya hanya tentang Davina.
Beberapa saat kemudian, Yasmin mencoba kembali menyendok bubur dan menyodorkannya ke mulut Hans.
“Tolong, Mas. Meskipun kamu benci aku, tapi kamu masih suamiku. Aku enggak bisa diam aja lihat kamu sakit begini.”
Pria itu menoleh perlahan, melirik sekilas wajah Yasmin yang terlihat lelah.
“Saya akan makan sendiri. Taruh saja di situ.”
“Baik, Mas. Dimakan, ya? Aku mau ke bawah dulu buat ambil obat kamu.”
Tidak ada respons yang diberikan oleh Hans, sampai bayangan Yasmin menghilang dari balik pintu.
Tatapan pria itu beralih pada mangkuk bubur panas di pangkuan. Ia menyendoknya sedikit, kemudian menyuapnya ke mulut.
Terpaksa Hans akui, rasa bubur itu memang enak. Lidahnya seperti dimanjakan oleh makanan tersebut.
Sampai tanpa sadar, bubur itu tinggal separuh saat Yasmin masuk dan membawa dua butir obat.
“Nah, gitu, dong, Mas. Dimakan. Enak, kan, masakanku?”
Yasmin tersenyum, sementara Hans langsung menatap tajam ke arah Yasmin. “Saya makan karena kamu yang maksa, bukan keinginan saya!”
“Terserah, Mas. Tapi, kenyataannya bubur itu habis.”
Bibir Hans mencebik. Ia mengambil dua butir obat yang disodorkan oleh Yasmin lalu meminumnya.
Diam-diam Yasmin tersenyum saat menatap mangkuk bubur yang hampir tandas itu.
“Kamu mau ke mana, Mas?”
Wanita tersebut menepi saat Hans berusaha turun dari ranjang.
“Tidak usah dekat-dekat! Saya mau ke kamar mandi!”
“Biar aku bantu. Badan kamu kayaknya masih lemes.”
“Tidak perlu!”
Yasmin patuh, ia membiarkan suaminya bertumpu pada tembok saat melangkah pelan.
Tapi, lagi-lagi kondisinya yang masih tidak stabil membuat pria itu lunglai ke lantai. Lututnya terasa tidak bertulang.
Sigap, Yasmin merangkulkan tangan pria itu ke pundak dan memapahnya ke kamar mandi.
Jantung Hans berdegup kencang. Sejenak, ia memperhatikan wajah istrinya yang tertutup cadar itu.
“Lain kali tidak perlu bersikap seperti ini, Yasmin. Saya tidak mau punya hutang budi sama kamu!”
“Ya Allah, Mas, aku ikhlas. Aku melakukan ini enggak mengharap apa pun dari kamu.”
“Terserah. Keluar kamu!”
Sudah berapa kali saja Yasmin diusir, tapi selama itu pula ia tidak memasukkannya dalam hati.
Tiap sikap acuh dan ucapan ketusnya, tidak lantas membuat Yasmin menyerah atau bahkan marah berlebihan.
Sehari penuh, ia bolak-balik ke kamar Hans untuk memastikan pria itu baik-baik saja.
Bahkan, saat tengah malam seperti ini pun, wanita itu rela tidur di sofa lagi, untuk sekadar memberi perhatian saat Hans tiba-tiba terbangun.
Sampai akhirnya, Hans membuka mata secara penuh dan terkejut mendapati istrinya yang sedang mengisi gelas dengan air putih.
“Tidur saja di kamarmu! Saya juga tidak akan mati hanya karena demam!”
“Kalau bicara itu yang baik-baik, Mas! Jangan sembarangan!”
***