Setelah sepuluh hari di New York, hari ini Davina kembali ke tanah air.
Hans berdiri di antara kerumunan. Tubuh tegapnya menonjol dalam balutan jaket kulit warna hitam.
Matanya bergerak liar, mencari sosok Davina di tengah keramaian tempat itu.
Tidak lama, wanita yang sudah lama ia rindukan mulai terlihat. Davina mendorong koper silvernya dan tersenyum sambil melambaikan tangan pada Hans.
“Mas Hans!” panggil Davina, setengah berlari. Ia mendekap tubuh suaminya erat. “Kangen banget sama kamu, Mas.”
Tangan Hans mengusap punggung wanita bermantel hitam itu. Ia mengecup keningnya berkali-kali.
“Sepuluh hari itu lama, Vin. Kamu tega membuatku begini.”
“Maaf, Mas. Kan, ini demi masa depan kita juga. Ayo, kita pulang sekarang!”
Hans mengangguk sambil mengambil alih koper dari tangan Davina. Sementara satu tangannya merengkuh pinggang sang istri begitu mesra.
Sampai di dalam mobil, Davina menghela napas perlahan. Ia sandarkan kepalanya pada bantalan kursi. Matanya melirik jam digital di tangannya.
“Eh, Mas, kayaknya Yasmin sebentar lagi pulang. Kita sekalian jemput dia, ya?”
Hans langsung menggeleng. “Nggak!”
“Lho, kenapa? Kan, sekalian—“
“Kamu baru pulang, butuh istirahat. Jangan ngeyel! Dia bisa pulang sendiri!”
Kali ini Hans berbicara dengan nada tegas. Itu artinya, pria itu benar-benar menolak permintaan Davina.
“Oh! Ya, udah, deh, Mas.”
Wanita tersebut memilih patuh. Ia menatap jendela. Gerimis mulai turun dan Davina merasa sedikit khawatir dengan Yasmin yang tempat kerjanya cukup jauh dari rumah.
“Bagaimana kerjaan kamu di New York? Ada kendala enggak?”
“Alhamdulillah, Mas. Konferensinya juga berjalan sukses.”
Hans lega mendengarnya. Ia kembali fokus pada setir kemudi. Hingga beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi memasuki pekarangan rumah.
Pria itu langsung turun dan membukakan pintu untuk Davina. Ia menggendong tubuh sang istri ala bridal style.
“Mas, ih!” Spontan Davina berteriak pelan dan memukul d a d a bidang Hans saat merasa terkejut.
“Kamu harus terima hukuman dariku, Vin! Kamu salah besar karena sudah membuatku menderita begini selama sepuluh hari.”
Davina menarik gemas hidung mancung suaminya. Ia melayangkan kecupan di bibir pria itu.
“Tapi, aku capek banget, Mas. Aku mau mandi terus tidur.”
“Kita mandi sama-sama, Sayang.”
Davina hanya memasang wajah lelah. Tapi, selanjutnya ia hanya menuruti permintaan Hans.
Keduanya masuk ke dalam kamar mandi tanpa sehelai pun pakaian dan menutup pintunya rapat.
Satu jam kemudian ....
Niat hati yang ingin tidur dan beristirahat penuh, ternyata urung dilakukan.
Semua itu sebab Hans yang meminta jatahnya setelah libur selama sepuluh hari.
Saat Davina menuruni tangga, Yasmin membuka pintu utama.
Wanita bercadar itu menggigil kedinginan. Ia memeluk tubuhnya sendiri.
“Mbak Davina sudah pulang?”
Yasmin menatap pada Davina yang masih berdiri di anakan tangga. Ia sontak menundukkan pandangan saat tanpa sengaja melihat bekas merah di leher jenjang madunya.
“Sudah, Yasmin. Eh, kamu kenapa basah kuyup begini? Kamu enggak bawa payung?”
Wanita itu hanya menggeleng singkat sambil menahan dingin di sekujur tubuh. Baju dan hijabnya basah kuyup.
“Iya, Mbak, aku lupa bawa payung tadi. Aku ke kamarku dulu.”
Baru beberapa langkah di anakan tangga, Yasmin kembali berhenti saat kepalanya yang menunduk melihat sepasang kaki yang berdiri di hadapannya.
Yasmin mendongak, mendapati Hans yang memasang wajah sinis terhadapnya.
“Sengaja kamu enggak bawa payung, ‘kan? Biar saya jemput kamu lagi?” tanya Hans sinis. “Tidak akan pernah lagi, Yasmin!”
“Enggak, tuh! Aku enggak berharap sama sekali. Kamu aja yang kepedean, Mas! Aku kehujanan udah biasa, kok. Emang kamu, yang kehujanan sedikit saja langsung masuk angin berhari-hari!”
Usai mengatakan itu, Yasmin langsung pergi begitu saja ke kamar.
Hans meremas railing, merasa geram dengan sikap Yasmin.
“Dasar, nggak tahu diuntung! Awas saja kamu, Yasmin!”
Pria tersebut berteriak, bahkan saat punggung istri pertamanya menghilang dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Mata tajamnya tidak lepas begitu saja.
Sementara Davina hanya menggeleng beberapa kali melihat interaksi Yasmin dan Hans. Ia raih tangan pria itu dan menggenggamnya erat.
“Jangan gitu banget dong, Mas. Inget, yang urus kamu pas masuk angin empat hari kemarin siapa coba kalau bukan Yasmin?”
Tentu saja Davina tahu, karena selama di New York, ia cukup sering menghubungi Yasmin untuk sekadar bertanya tentang keadaan Hans.
Pria itu berdecap kesal saat diingatkan jasa Yasmin selama beberapa hari belakangan.
Empat hari Hans terkapar lemah dan mau tidak mau harus menerima tiap perhatian yang diberi oleh Yasmin.
“Jangan ingat-ingat lagi! Aku paling nggak suka terlihat hutang budi sama orang lain, apalagi Yasmin, wanita yang nggak tahu diri itu, Davina.”
Davina menatap dalam-dalam wajah Hans. Benarkah tidak ada sedikit saja rasa untuk Yasmin?
“Tapi, kamu udah nyicip masakan dia, ‘kan? Gimana? Enak?”
“Entah. Sakit kemarin juga bikin lidahku enggak bisa merasakan apa-apa, Vin. Jadi, apa pun rasanya asal makanan itu bisa aku telan.”
"Bohong, ih! Coba aja nanti, pasti kamu ketagihan kalau beneran ngerasain masakannya.”
Hans mulai sedikit kesal ketika Davina terus-menerus menggodanya perihal Yasmin.
“Cukup, Vin! Ayo, kita masak sama-sama untuk makan siang.”
“Siap, suamiku!”
Keduanya pun mulai berkutat di dapur.
Di siai lain, di dalam kamar, Yasmin selesai membersihkan diri dan mengenakan sweater hangat.
Wanita itu bercermin. Menatap wajahnya yang belum tertutup oleh kain cadar.
“Kapan kamu akan memintaku melepas cadar ini, Mas? Seterpengaruh itu kamu mendengar penilaian orang-orang tentangku.”
Yasmin bergumam, kemudian mengenakan cadarnya kembali. Parfum aroma candy ia semprotkan di beberapa bagian.
Tiba-tiba wanita tersebut kembali tertunduk saat tanpa sadar teringat bekas merah di leher Davina. Matanya mulai memanas.
“Enggak! Kamu kuat, Yasmin. Anggap kalau itu privasi mereka! Kamu enggak berhak ikut campur atau cemburu. Kamu enggak ada hak! Kamu bukan siapa-siapa bagi Mas Hans, dan kamu harus sadar diri!”
Yasmin berusaha menguatkan diri. Tapi, bohong jika ia setegar itu.
Mau bagaimanapun, wanita tersebut juga istri Hans yang patut diperlakukan layaknya seorang istri pada umumnya.
Ia berhak marah, cemburu, atau bahkan meminta perhatian. Ah, tapi ... sudahlah! Terlalu banyak berharap hanya akan membuatnya semakin sakit hati.
Air mata yang merembes keluar itu Yasmin usap dengan kasar. Ia keluar dan menuju arah dapur.
Akan tetapi, pemandangan di meja makan cukup membuatnya teriris. Davina dan Hans sedang saling suap dan berbincang dengan ekspresi yang sama hangatnya.
Lama menatap, Yasmin akhirnya memalingkan wajah, kemudian sedikit membungkuk ketika mencari sesuatu di dalam kulkas.
“Yasmin, sini!” panggil Davina sambil menepuk kursi di sebelahnya yang kosong. “Aku sama Mas Hans udah masakin buat kamu juga.”
Yasmin tertegun. Ia melirik ke arah Hans yang hanya berdeham singkat dan memasang wajah datar.
“Enggak, Mbak. Aku masak sendiri aja. Makasih tawarannya.”
Davina memandang Hans yang memasang wajah cuek. Ia menggenggam lengan sang suami lalu memberi kode singkat.
“Nggak, Davina. Aku nggak akan membujuk supaya Yasmin mau duduk di sini ataupun makan makanan hasil masakanku.”
“Ck! Terserah kamu, deh, Mas!”
Wanita itu lantas menekuk wajah, lalu kembali menatap Yasmin yang sibuk membuat salad buah.
Davina berdiri, dan tanpa izin mencicipinya langsung menggunakan sendok.
“Em, enak banget, Yas. Aku minta sedikit boleh, ‘kan?”
Yasmin mengangguk. “Silakan ambil sesukanya, Mbak. Aku izin ke kamar dulu, ya, sekalian mau ngerjain tugas dari sekolah.”
Davina mengulas senyum simpul dari bibirnya yang berhias lipstik. Ia menatap kepergian Yasmin sampai bayangannya hilang di balik pintu kamar.
“Lain kali nggak usah memuji Yasmin berlebihan. Yang ada dia tambah besar kepala, Vin.”
Wanita itu menatap intens suaminya yang memang selalu tidak suka dengan hal apa pun yang dilakukan Yasmin.
“Sekali saja kamu coba lihat sisi baik Yasmin, Mas. Kasihan. Aku juga nggak mau dicap jadi madu yang jahat.”
Hans yang semula fokus pada ponsel, kini beralih menatap ke arah Davina.
“Jangan pernah menganggap diri kamu madu, Davina. Kamu satu-satunya bagiku, dan sampai kapan pun akan begitu. Hanya kamu, istriku.”
Davina mampu merasakan bagaimana tulusnya ucapan Hans. Namun, lagi-lagi ia sadar diri.
Sudahlah dinikahi secara siri dan dirahasiakan, jadi istri kedua, dan ... tidak diakui sebagai menantu keluarga besar suaminya sendiri.
“Kenapa diam, Sayang? Mikirin apa kamu?”
Tangan Hans membelai lembut wajah istrinya.
“Posisi Yasmin lebih menguntungkan daripada aku, Mas. Semua keluargamu sayang ke dia.”
Jari telunjuk tangan Hans menyentuh bibir Davina.
“Sssttt, jangan bilang seperti itu. Setelah kamu hamil, aku yakin, pelan-pelan Papa dan Mama akan memberi kita restu.”
“Mungkin, tapi aku nggak yakin, Mas.”
“Kita harus yakin. Sudahlah, kamu istirahat. Ayo, aku temani.”
Hans merangkul Davina dan membawanya ke kamar untuk beristirahat.
***
Di kamar Yasmin ....
Yasmin tidak bisa fokus untuk membuat bahan mengajar esok hari.
“Sampai kapan aku jadi orang ketiga di rumah tanggaku sendiri?”
Raut kesedihan kentara jelas di wajah. Sementara jari-jemarinya sibuk dengan kertas origami di samping laptop yang layarnya menyala.
“Huh! Tiba-tiba aku pengen ke makam Ummi sama Abah, tapi ....”
Ucapan Yasmin terhenti ketika teringat sesuatu. Ia meraih selembar foto dari dalam tasnya.
Sebuah foto masa kecil Yasmin yang bahagia. Di sana senyum kedua orang tuanya merekah.
“Ummi, Abah ... pernikahan macam apa yang Yasmin jalani sekarang? Yasmin harus bagaimana?”
Tok-tok-tok!
Suara ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Yasmin cepat-cepat menyimpan foto itu kembali.
Ia menoleh ke arah pintu.
“Masuk aja, pintunya nggak dikunci, kok.”
Tidak lama sampai akhirnya Davina duduk di sofa dekat ranjang. Ia menunjukkan tiket yang telah dipesan secara online pada Yasmin.
“Kita akan pergi ke Bali bertiga, Yasmin.”
Kedua alis Yasmin tertaut. Ia bingung dengan maksud Davina.
“Untuk apa, Mbak?”
“Honeymoon, dong. Masa kamu nggak paham, sih?”
Yasmin memutar kursi yang ia duduki. Sekarang posisinya membelakangi si Madu.
Ia menggeleng beberapa kali. Konyol sekali, honeymoon bertiga.
“Silakan Mbak dan Mas Hans saja yang pergi,” kata Yasmin sambil pura-pura menyibukkan diri dengan laptopnya. “Aku akan tetap di rumah.”
Entah kenapa, kali ini Davina tidak suka penolakan Yasmin. Ia beranjak lalu berjalan untuk mendekati wanita tersebut.
“Lho, kenapa? Kamu harus tetap ikut, Yasmin. Nanti apa kata Om Hanggara dan Tante Ranti kalau tahu Mas Hans pergi ke Bali tanpa kamu? Dia pasti akan curiga dan hubungan kami terancam!”
Brak!
Yasmin membanting buku modulnya kasar. Matanya melirik tajam ke arah Davina.
“Itu urusan Mbak. Aku tetap enggak mau pergi, Mbak, maaf.”
“Kamu jangan egois, dong, Yas! Kita bisa pergi bertiga, apa susahnya, sih?”
***