Bab 5

1248 Words
“Lho, Mas Bian? Kok, Mas Bian ada di sini?” Biantara, adik iparnya itu mengangguk lalu memberi kode supaya Yasmin masuk saja ke dalam mobil. Wanita itu pun menurut. Ia memasang seat belt lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. “Tadi aku habis anterin temen ke rumah saudaranya. Kamu sendiri? Kok, di sekolah TK?” "Iya, Mas. Ada wawancara kerja di sini. Hehe." “Lho, kamu mau kerja? Emangnya Bang Hans nggak kasih kamu uang?” Biantara bertanya sambil mengemudikan mobilnya dengan laju sedang. “Bukan begitu, Mas. Uang yang diberi Mas Hans lebih dari cukup. Aku cari kerja buat mengisi waktu kosong aja.” Biantara mengangguk-angguk beberapa kali. Sebenarnya, itu bukan alasan utama Yasmin bekerja. Ia hanya ingin memanfaatkan waktu luangnya untuk kegiatan yang bermanfaat. Lagi pula, Yasmin memang sangat suka dengan anak-anak. “Oh, iya, gimana hubungan kamu sama Bang Hans?” Dahi Yasmin mengernyit saat tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. “Gimana apanya, Mas?” “Ya, secara Bang Hans dingin begitu. Belum lagi kalian kan, menikah karena perjodohan. Pasti tetap butuh adaptasi, ‘kan?” Cukup lama Yasmin terdiam. Hatinya berteriak, memintanya agar berkata jujur pada sang adik ipar. Tapi, logikanya lagi-lagi menyeru agar ia tetap bertahan dan menyembunyikan semua yang terjadi. “Oh, itu. Alhamdulillah, kami baik.” “Syukur kalau gitu. Jadi, aku bisa berharap punya keponakan baru dari kalian.” Sontak Yasmin berdeham ketika mendengar ucapan Biantara. Bagaimana mungkin hal itu akan terjadi, sedangkan ia saja tidak pernah disentuh oleh Hans. “Maaf, Yasmin, saya enggak ada maksud lain. Saya ikut senang kalau kamu baik-baik aja sama Bang Hans.” Percakapan keduanya terputus saat mobil Biantara masuk ke pintu gerbang rumah sang kakak. Ia berhenti di halaman depan tanpa mematikan mesin mobilnya. Yasmin turun dari mobil dan sedikit membungkukkan badan. “Mas Bian enggak mau mampir dulu?” Biantara menggeleng. “Enggak, Yasmin. Saya masih ada pekerjaan di kantor. Saya pamit dulu, ya. Assalamualaikum.” "Walaikumsalam, Mas." Usai mendapat anggukan dari Yasmin, mobil Biantara langsung berbalik untuk keluar dari pekarangan rumah besar dan mewah milik kakaknya. Sementara Yasmin, ia masuk ke dalam rumah. Tanpa diduga, Davina berdiri di dekat jendela sambil menatap mobil Biantara yang mulai menjauh. “Mbak Vina belum berangkat ke kantor?” Davina melangkah ke arah Yasmin yang berdiri di dekat sofa. “Belum, nunggu jemputan dari sekretarisku,” jawabnya setelah melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. “Cepet banget wawancaranya. Gimana tadi? Lancar?” Yasmin mendudukkan diri di sofa dan meletakkan tasnya. “Alhamdulillah, Mbak. Ya, meskipun agak deg-degan. Keputusannya masih lusa.” Davina terdiam. Ia tiba-tiba ikut duduk di samping Yasmin dengan jarak cukup dekat. “Aku perhatiin kamu cukup deket sama adik-adik Mas Hans?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Davina. Bingung, Yasmin tidak tahu harus menjawab apa. Jika dibilang dekat, memang cukup dekat. Kedua adik iparnya selalu segan terhadapnya. Hanya saja, Yasmin sadar jika umurnya masih jauh di bawah Biantara dan Byakta. Hal tersebut yang membuatnya tetap memanggil ‘Mas’ sebagai bentuk menghormati. “Nggak terlalu deket juga, Mbak. Sekedarnya aja.” “Yakin? Tadi aku lihat Bian kayak akrab banget sama kamu.” “Perasaan Mbak Vina aja.” Meskipun Yasmin menganggapnya biasa saja, nyatanya tidak bagi Davina. Wanita itu tertunduk dalam, seperti menyembunyikan sesuatu yang membebani. “Kenapa, Mbak? Kok, mendadak sedih?” “Kamu beruntung kalau bisa mengambil hati keluarga Mas Hans.” Beruntung? Yasmin memang mengakui hal itu. Namun, tidak ada lagi hal lebih beruntung selain diberi perhatian oleh suaminya sendiri. “Mbak Vina lebih beruntung. Mbak punya raga dan hati Mas Hans. Jauh sekali jika dibandingkan denganku.” Davina menggeleng, menepis ucapan Yasmin yang benar adanya. Ia memang memiliki raga dan hati dari seorang Hans Pratama Yudha. Tapi, tanpa Yasmin tahu, ia terkesan bukan wanita baik-baik di mata keluarga suaminya. Pernah beberapa kali Davina diajak Hans ke rumah. Dan respons kedua orang tua Hans serta saudaranya bisa dibilang cukup dingin, terkesan acuh tak acuh. “Enggak, Yasmin. Di mata keluarga Mas Hans, sudah pasti kamu yang terbaik. Dan pastinya, Mama Ranti dan Papa Hanggaraa juga sayang banget sama kamu, ‘kan?” Yasmin mengakui apa yang diucapkan oleh Davina. Ia seperti punya pengganti kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Umminya meninggal karena gagal ginjal yang kronis. Sementara abahnya pun turut berpulang belum lama ini karena stroke dan pembengkakan jantung. “Iya, aku sangat bersyukur punya mertua yang baik dan sayang sama aku, Mbak.” Davina membeku di tempat. Ia menatap mata indah Yasmin. Eyeliner dan eyeshadow yang dikenakan membuat kelopak mata Yasmin terlihat cantik. Entah kenapa, Davina merasa Yasmin menyembunyikan kecantikan yang tidak biasa di balik cadarnya itu. Drt-drt-drt! Ponsel yang bergetar mengalihkan atensi Davina dari Yasmin. “Yasmin, aku berangkat dulu, ya. Sekretarisku udah di depan, nih.” Yasmin hanya mengangguk dan beranjak dari sana setelah Davina berangkat. Ia beralih ke meja makan. Masakan yang ia siapkan tadi pagi ternyata ludes tidak ada sisa. Ia tersenyum, rasanya usaha yang ia lakukan tidak sia-sia. “Assalamualaikum, Mbak Yasmin.” “Wa ‘alaikumsalam,” jawab Yasmin sambil berjalan pelan ke arah suara. “Lho, Pak Hardi. Ada apa, Pak?” “Ini, Mbak, saya mau balikin rantang. Tadi Tuan kasih saya makanan. Makasih banyak, ya, Mbak. Masakan Mbak enak banget.” Pak Hardi menyerahkan rantang makanan susun itu pada Yasmin. “Iya, Pak, sama-sama.” Yasmin menatap nanar rantang yang sudah kosong di tangannya. Ah, lagi-lagi ia dikecewakan oleh harapannya sendiri yang terlalu tinggi. Ia kira makanan itu habis karena dimakan Hans dan Davina. Nyatanya, sang suami lebih rela memberikan hasil masakan istrinya untuk satpam rumah. “Seburuk itu aku di matamu, Mas? Sampai-sampai apa yang aku buat tidak pernah kamu sentuh sama sekali.” *** Malam hari .... Suara deru mesin mobil membuyarkan lamunan Yasmin yang sedang duduk di pantri dapur sambil memegangi cangkir berisi cokelat panas. Ia menoleh, kemudian memilih untuk keluar dan menemui tamu malam ini. Tanpa diduga, wajah kedua mertuanya menyambut hangat wanita bercadar itu. “Mama, Papa, kok, enggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” sambut Yasmin, lalu menyalami kedua tangan mertuanya begitu takzim. “Kan, aku bisa siap-siap masak spesial buat Mama sama Papa.” Ranti mengusap puncak kepala yang tertutup hijab itu. “Enggak perlu, Sayang. Nih, Mama bawa makanan untuk kamu dan Hans.” Dengan bangga, ia mengangkat rantang yang dibawa. “Wah, Mama yang repot jadinya.” “Enggak, Sayang." Hanggara hanya menampilakan senyum ringkas yang hangat. Pandangannya mulai mengedar dan berhenti pada garasi rumah yang kosong. “Hans belum pulang, Yasmin?” “Belum, Pa. Paling juga lembur lagi, Pa.” Yakinlah, itu hanya dalih Yasmin untuk mencari aman. Namun, yang jadi bebannya sekarang adalah Davina. Madunya itu belum kunjung pulang sampai sekarang. Jangan sampai keduanya pulang bersama hingga tertangkap basah oleh Ranti dan Hanggara. “Ck, kebiasaan Hans itu. Terlalu sibuk dengan bisnisnya. Kamu yang sabar, ya, Yasmin.” Ranti mengusap lengan menantunya dengan lembut. “Iya, Ma. Ayo, kita masuk, Pa, Ma. Udara di luar dingin.” Yasmin menggiring kedua mertuanya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Dua cangkir teh panas dan sepiring bolu pandan yang ia buat tadi disajikan di atas meja. “Hans beruntung dapat istri seperti kamu, Yasmin.” Belum sampai Yasmin menjawab, kehadiran dua orang di ambang pintu mengalih atensi mereka. Hans dan Davina masuk ke dalam rumah dalam kondisi saling bergandeng mesra. Pria itu sesekali mencium kening istrinya penuh sayang. Rupanya, keduanya belum menyadari kehadiran Hanggara dan Ranti. “Apa yang sudah kamu lakukan, Hans?!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD