Bab 6

1322 Words
“Hah!” Hans tersentak dari tidurnya yang lelap. Ia memegangi d a d a ketika napasnya tersengal-sengal. Beruntung kejadian itu hanya mimpi. Ia melirik ke arah samping, syukur saja Davina tidak terbangun akibat dirinya yang tiba-tiba terbangun sambil berteriak. Mimpi itu ... benar-benar terasa nyata. Ia bisa melihat bagaimana kemarahan Hanggara saat menyaksikan dirinya pulang sambil merangkul pinggang Davina dengan mesra. Mengambil posisi duduk, segelas air putih di samping lampu tidur ia raih dan meneguknya hingga tandas. Hans menghela napas, masih berusaha menormalkan degup jantungnya yang kencang. “Jangan sampai Yasmin bicara soal pernikahanku ke Mama dan Papa.” Pria itu bergumam, kemudian melihat jam di dinding. Sudah pukul 04.00 dan hal tersebut membuatnya memilih beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika bukan karena mimpi buruk, sudah pasti pria itu masih terlelap pada jam segini. Tidak butuh lama, sampai akhirnya pria itu masuk ke ruang ganti dan mencari pakaian kerja yang hendak digunakan hari ini. Tapi, atensi Hans seketika beralih pada suara ketukan pintu. Ia berbalik dan mendapati Yasmin sudah ada di sana sambil menenteng kemeja putih dan celana warna abu. “Mas, bajunya baru selesai aku setrika.” Hans maju, kemudian mengambil baju itu dengan sedikit kasar. “Sudah berkali-kali saya bilang, Yasmin! Berhenti bersikap seolah-olah kamu itu istri yang baik!” Yasmin hanya menunduk. Ia tidak mau membalas tatapan penuh amarah dari sang suami. “Maaf, Mas. Tapi, aku cuma mau cari berkah dari kamu sebagai suamiku.” “Apa pun alasan kamu, saya tidak mau tahu, Yasmin! Muak saya sama kamu!” Belum sampai Yasmin menjawab, tubuhnya sudah didorong kasar oleh Hans. Brak! Pintu tersebut dibanting keras saat istri pertamanya sudah benar-benar berada di luar. Yasmin hanya menghela napas lesu sambil mengusap-usap dadanya. Sabar, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini. Wanita bercadar itu berbalik, hendak turun ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat Davina keluar dari kamar. “Yasmin, Mas Hans di mana?” “Lagi di kamar ganti. Aku ke dapur dulu, Mbak.” “E–eh, tunggu, kamu enggak usah masak buat kami, Yasmin. Percuma aja, karena Mas Hans emang nggak mau makan masakan kamu.” Sedih rasanya, tapi Yasmin hanya mengangguk dan pergi dari sana. Wanita itu berusaha melapangkan d a d a untuk menerima kenyataan pahit yang dialami. Dan benar saja, setelah lama berkutat di dapur, Yasmin memang memasak untuk dirinya sendiri. Ia hanya membuatkan secangkir kopi untuk Hans dan dua gelas jus untuk dirinya juga Davina. Tidak berselang lama, Hans turun sambil menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Ia melirik sinis pada Yasmin yang sedang menyantap makanannya sendiri. “Mas, aku udah buatin kopi buat kamu. Kalau sarapannya, kata Mbak Da—“ “Saya lebih suka kamu diam.” Ucapan Hans sukses membuat Yasmin bungkam. Wanita itu memasang wajah datar lalu membersihkan peralatan makannya di wastafel ketika sarapannya selesai. “Saya tidak mau tahu, Yasmin. Kalau sampai Papa dan Mama tahu tentang pernikahan saya dengan Davina, kamu orang pertama yang akan saya salahkan! Dan kamu harus mendapat hukuman dari saya!” Ucapan Hans yang kedua kalinya membuat Yasmin membeku di samping wastafel. Yasmin mengusap tangan basahnya dengan tisu lalu berbalik menatap punggung pria yang sedang memotong daging di pantri. “Maksud Mas apa? Kok, tiba-tiba banget bicara begitu?” Tidak kunjung mendapat jawaban, Yasmin berjalan mengitari meja pantri hingga posisinya kini berdiri di seberang Hans. “Saya tahu kamu dekat dengan Papa dan Mama. Kalau sampai kamu bicara hal macam-macam tentang saya dan Davina, kamu akan tahu sendiri akibatnya!” Suara Hans datar, tatapan matanya tetap mengarah pada pisau tajam itu. “Oh, ini pasti gara-gara Mbak Davina yang bilang ke Mas, ya?” Dahi Hans mengernyit. Ia jelas tidak paham apa yang dimaksud Yasmin. “Maksud kamu?” “Mbak Davina pasti bilang kalau kemarin lihat aku dianterin Mas Bian. Iya, ‘kan, Mas?” tebak Yasmin, mulai memasang raut khawatirnya. “Mas jangan salah paham, aku bisa jelasin.” Tidak bisa dipungkiri bahwa pengakuan Yasmin pun membuat Hans terkejut. Pria itu sampai menghentikan aktivitasnya sejenak. “Lalu apa peduli saya, Yasmin? Kamu pikir saya cemburu? Bodoh sekali kalau sampai kamu beranggapan begitu!” Yasmin kembali membisu. Ia melihat Hans tersenyum mengejek sebelum akhirnya berpindah ke depan kompor. Wanita itu mengejarnya, kemudian kembali berada di dekat Hans. Sekarang hanya beberapa senti jarak keduanya berdiri. “Bu–bukan begitu, Mas. Aku cuma mau jelasin kalau aku enggak bicara apa-apa sama Mas Bian.” Merasa geram karena kegiatan masaknya seperti direcoki, Hans membanting spatula itu di wajannya cukup kasar. Ia condongkan tubuh tegapnya ke arah Yasmin yang tinggi badannya hanya sedada pria itu. Keduanya bertemu tatap. Hans tertegun sesaat ketika menatap mata Yasmin lekat. Cantik. Hans tidak munafik jika mata bulat istri pertamanya memang indah. Tapi, segera ia menepis perasaan itu dan mencengkeram rahang Yasmin kuat. “Pasang telingamu baik-baik. Mau kamu tidur dengan pria lain pun, saya tidak peduli. Kamu itu penggoda, Yasmin. Dan tidak akan ada kesan baik sedikit pun di mata saya!” Hans menarik satu sudut bibirnya ke atas. Ia bawa bibirnya itu ke samping telinga Yasmin lalu berkata, "Saya sangat yakin kamu bahkan sudah tidak perawan, Yasmin. Sudah berapa laki-laki yang pakai badan kamu, huh?" Deg! Tiap kalimat yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah bambu yang menusuk dalam hatinya berkali-kali. Salahkan jika Yasmin ingin lari? Tapi, kenapa ia tidak punya kekuatan sedikit pun? Entah apa alasannya, ia tetap bertahan dalam rumah tangga j*****m seperti ini. “Terserah kamu, Mas. Silakan sakiti aku sepuasmu. Tapi, jangan bermimpi aku akan berhenti berbakti sama kamu!” Yasmin berbicara saat cengkeraman di wajahnya mulai mengendur. Aneh. Rasanya Hans tidak habis pikir dengan wanita yang selalu terlihat kuat di matanya. Berkali-kali pria itu menyakiti, berkali-kali pula Yasmin punya cara untuk bertahan. “Menyingkir dari hadapan saya, Yasmin!” Kalimat penuh penekanan itu membuat Yasmin akhirnya pergi dari sana. Ia kembali ke kamar untuk mengambil beberapa pakaian kotor untuk dibawa ke belakang. Huh! Wanita itu hanya menghela napas saat melihat cucian yang menggunung. Rupanya madunya itu pun seperti tidak ada niat untuk sekadar mencuci pakaian kotornya sendiri. Selagi mesin cuci itu berputar, Yasmin membersihkan rumah. Menyapu dan mengepel lantai bagian belakang yang kotor akibat hujan kemarin. Tanpa Yasmin sadari, Davina sudah berdiri di depan mesin cuci. Ia melihat bajunya turut masuk ke sana. “Yasmin, kamu enggak perlu nyuci punyaku jugalah. Kasihan kamu. Nanti aku laundry aja karena aku emang nggak sempet buat nyuci sendiri.” Teguran dari Davina tidak dipedulikan sedikit pun oleh Yasmin. Ia membawa kain pel itu untuk dicuci dan disimpan kembali ke tempat semula. “Yasmin, kamu marah?” Yasmin menoleh ke arah Davina lalu menggeleng singkat. “Enggak baik numpuk kotoran, Mbak. Biar aku cuci sekalian.” Davina kikuk. "Maaf ngerepotin kamu." Madu Yasmin itu akhirnya pergi dari sana dan memilih menemani Hans yang sedang bersiap untuk berangkat kerja. Tidak berselang lama, ponsel Yasmin bergetar. Ia meraihnya dari dalam saku. Tertera nama mama mertuanya di layar. Ia menggeser layar warna hijau itu. [“Assalamualaikum, Ma.”] [“Walaikumsalam, Yasmin. Yasmin, Mama cuma mau ngabarin. Nanti malam Mama sama Papa mau ke rumahmu.”] [“Boleh banget, Ma. Yasmin tunggu kedatangannya.”] [“Ya, sudah, Mama cuma mau bilang itu. Assalamualaikum.”] [“Walaikumsalam.”] Percakapan via telepon itu berakhir. Yasmin berlari ke arah halaman depan untuk menemui sang suami. “Mas, Mama baru aja telepon. Katanya nanti malam mau ke sini.” “Apa?!” Wajah terkejut Hans tidak bisa dikontrol kali ini. “Pasti ini rencana kamu, ‘kan? Sengaja kamu mau membeberkan pernikahan saya dan Davina? Iya?!” Yasmin menepis dugaan dari suaminya. Setakut itu pernikahan rahasianya terungkap. “Enggak, Mas, aku enggak ada maksud kaya gitu,” jawab Yasmin, lalu memperhatikan wajah suaminya baik-baik. “Tapi ... aku enggak bisa bayangim gimana kalau memang aku membeberkan hubungan kalian, Mas. Mama sama Papa bakal semarah apa, ya, nanti?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD