Bab 3

1203 Words
“Jangan pernah buka cadarmu di depan saya, Yasmin! Saya tidak sudi melihat wajah rusakmu! Kamu pantas mendapat hukuman itu dari orang yang kamu goda suaminya! Air keras bahkan tidak cukup untuk menanggung dosamu karena sudah merusak rumah tangga orang lain!” Kalimat menohok serta nada keras Hans membuat bahu Yasmin bergetar. Dadanya nyeri. Tapi, sebisa mungkin ia tahan agar tidak menjatuhkan air mata di depan Hans. Tidak! Sesakit apa pun, Yasmin tidak boleh menangis dan terlihat lemah, apalagi di depan madunya. “Kamu bahkan belum pernah melihat rupaku, Mas! Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan! Itu fitnah!” “Saya lebih percaya informasi dari orang-orang bayaran saya, daripada apa yang keluar dari mulut kamu itu!” Sorot mata Yasmin yang panas itu menghunus ke wajah suaminya. “Baik, silakan dengarkan ucapan mereka sampai kamu puas, Mas. Semoga suatu saat kamu tidak menyesal karena sudah percaya dengan tuduhan itu!” Yasmin beranjak sambil membawa piring yang makanannya masih sisa banyak. Sekarang hanya ada Davina dan Hans yang duduk di kursi itu. Hans menghela napas kasar. Ia mengusap wajahnya frustrasi. Setiap kali melihat Yasmin atau saling beradu pandangan, bukan keteduhan yang ia dapat. Hanya gejolak emosi yang semakin naik dan membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengucap kalimat kasar. “Mas, jangan terlalu kasar sama Yasmin. Kasihan dia. Mau gimana juga dia istrimu, ‘kan?” Pria itu menoleh cepat, memperlihatkan raut tidak sukanya ketika diingatkan soal status Yasmin di rumah ini. “Jangan bahas wanita itu lagi, Davina.” “Iya, Mas, maaf, tapi ... dari mana kamu tahu soal kelakuan Yasmin yang menggoda suami para tetangga?” “Banyak orang yang bilang. Aku dengar saat tamu-tamu undangan bude Yasmin datang ke acara pernikahan kami. Juga orang-orang bayaranku yang sudah aku minta mencaritahu tentang Yasmin.” Hening. Davina sibuk larut dengan pikirannya sendiri. Apa mungkin Yasmin seburuk itu? “Ya, sudah. Mas tenang, ya. Jangan dibahas lagi." Davina mengusap lengan suaminya. Mencoba untuk mengalihkan pikiran lelaki itu. "Oh, iya, Mas, kamu mau nemenin aku belanja hari ini nggak?” Belum sampai Hans menjawab, tiba-tiba saja Yasmin keluar dan berdiri di hadapan Hans. “Mas, bahan dapur dan keperluan rumah habis semua. Aku minta izin keluar buat belanja.” “Oh, ya, sudah! Kebetulan banget, Yasmin. Kita pergi bareng aja. Mas Hans juga mau anterin aku belanja. Gimana? Kamu mau, ‘kan?” Yasmin terlihat ragu mendengar tawaran Davina, ia melirik ke arah Hans. Selalu saja wajahnya yang datar dan sinis yang ia dapatkan. “Iya, Mbak. Aku ikut gimana baiknya.” Hans hanya diam. Ia menarik pergelangan tangan Davina untuk dibawa keluar dulu setelah mengambil kunci mobil. Sementara itu, Yasmin menyusul dari belakang setelah mengunci semua pintu dengan terburu-buru. Yasmin berhenti sejenak saat Davina sudah lebih dulu membuka pintu mobil bagian depan. “Eh, ayo, Yasmin, kamu duduk depan. Biar aku yang di belakang.” “Tidak! Kamu duduk di depan, Davina! Lebih baik kita tidak pergi kalau dia sampai duduk di sampingku.” Mendengar seruan dari Hans, Yasmin menatap Davina dan mengangguk pelan. Wanita bercadar itu masuk dan duduk di kursi belakang. Sepanjang perjalanan, Yasmin hanya menjadi penonton kemesraan dari madu dan suaminya. Davina memang pandai membangun obrolan hangat dengan Hans. Satu tangan mereka saling menggenggam satu sama lain. Bahkan sesekali Hans menarik tangan halus Davina dan mengecupi punggung tangan wanita itu. "Udah dong, Mas. Fokus dulu nyetirnya." "Iya, Sayang." Menyaksikan bagaimana keduanya sangat dekat bahkan romantis, membuat Yasmin meremas selempang tasnya kuat-kuat. “Yasmin, kenapa kamu diam aja dari tadi?” Teguran dari Davina yang tiba-tiba membuat Yasmin menoleh. “Enggak ada apa-apa, Mbak,” jawab Yasmin datar. “Mas, nanti sekalian beli buah, ya? Persediaan buah juga habis.” “Terserah!” Singkat, padat, dan keras. Yasmin sama sekali tidak menyangka jika semakin hari sikap Hans semakin sinis. Bagaimana ia ingin rumah tangganya dekat dengan surga, sementara suaminya saja sama sekali tidak menganggapnya ada. Sesampainya di pusat perbelanjaan, pada akhirnya, Yasmin belanja seorang diri. Dia memilih beberapa bahan makanan dan buah-buahan segar untuk persediaan selama dua minggu. Sementara itu, Davina dan Hans sibuk berbelanja di lantai berbeda. Mereka memborong beberapa pakaian, tas, dan sepatu. “Mas, Yasmin jangan lupa dibeliin. Biar aku pilih.” “Memangnya kamu tahu selera dia? Pakaiannya saja kuno begitu! Bercadar pula! Tidak perlulah, nanti biar dia belanja sendiri!” Davina tetap kekeh, ia menarik lengan suaminya ke stan khusus pakaian syar’i dengan brand ternama. “Kalau Mas nggak mau pilih, Mas bisa tunggu di sini. Biar aku yang pilih buat Yasmin.” Walau terpaksa, Hans akhirnya mengikuti Davina. Menemani istrinya memilih beberapa model pakaian syar’i yang satu paket dengan cadar. Ia selalu mengabulkan permintaan perempuan itu dan tidak mendebatnya. Membuat Davina bahagia adalah salah satu tujuan hidupnya saat ini. “Yasmin belum punya warna abu dan biru, ‘kan? Soalnya aku belum pernah lihat dua warna ini dipakai sama dia.” Hans hanya mengedikkan bahu, acuh tidak acuh. Selama menikah dengan Yasmin, mana pernah ia memperhatikan penampilan wanita itu. Memandang wajahnya saja enggan. “Sebentar, aku juga mau beliin dia tas, Mas.” “Cukup. Enggak perlu begitu, Vin. Kerjaan dia juga cuma di rumah, ‘kan?” Bibir Davina berdecap kesal. Mau bagaimanapun, ia juga paham beratnya jadi Yasmin. Davina membayar belanjaan itu menggunakan black card milik Hans lalu mulai turun ke basemen mall. “Mas, Yasmin kok, lama banget, ya? Apa kita susul aja? Takutnya barang belanjaan yang dia bawa banyak.” “Enggak perlu. Kalaupun memang banyak, nanti biar dia minta bantuan sama staff mall buat bawa ke mobil.” Wanita itu akhirnya menurut. Keduanya duduk di dalam mobil cukup lama. “Ck, benar-benar buang-buang waktu!” Tangan Davina terulur menyentuh pundak suaminya dan mengelusnya lembut. “Sabar, keperluan rumah itu banyak. Tadi aku minta menyusul kamu menolak. Jangan marah-marah terus, Mas.” Tidak lama, Yasmin mengetuk kaca mobil Hans. Pria itu menurunkan kaca pintu dan menatap malas ke arah Yasmin. “Ada apa?” “Bagasinya dibuka, Mas. Aku mau masukin barang-barang belanjaan kita.” Hans terpaksa turun dan membuka pintu bagasinya. Hanya itu. Ia bahkan tidak ada niat sedikit pun untuk turut membantu Yasmin memindahkan barang belanjaan yang jumlahnya cukup banyak. “Bisa cepat sedikit tidak?! Lambat kamu!” “Ya, kalau mau cepet bantuin, dong, Mas!” Dengan nada sedikit kesal, Yasmin akhirnya menjawab. Sedari tadi Hans hanya berpangku tangan dan menontonnya dari samping body mobil. Davina akhirnya turun. Ia turut membantu Yasmin memindahkan semua barang belanjaan. “Selesai! Yasmin, sekarang kamu yang duduk di depan sama Mas Hans.” Yasmin menurut, ia berjalan ke arah pintu depan dan menarik hendelnya. “Tidak bisa, Davina! Aku tidak mau berdampingan dengan wanita ini! Kamu istriku dan kamu yang berhak duduk di depan.” Penolakan keras dari Hans justru membuat Yasmin semakin gencar untuk menambah suasana panas. Ia tetap keras kepala duduk di depan, sesuai perintah Davina. “Aku juga istri kamu, kalau kamu lupa, Mas. Di depan wali dan saksi, tertulis sah secara agama maupun negara. Jadi jelas kedudukanku seperti apa, ‘kan? Aku bahkan lebih berhak daripada Mbak Davina!” Jujur saja, nyali Davina langsung menciut mendengar kata-kata Yasmin, dan Hans menyadari perubahan raut wajah istri keduanya. “Kurang ajar kamu, Yasmin! Kamu menyinggung perasaan istri saya!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD