Bab 2

1098 Words
Hari berganti, tapi sesak di d a d a masih terasa. Mata bengkak Yasmin terlihat jelas akibat terlalu lama menangis. Semalam, ia tidak bisa tidur. Suara-suara menyakitkan dari kamar sebelah jadi alasan kenapa ia tetap dalam kondisi sadar. Yasmin menutup mata sebentar. Menghela napas panjang lalu mulai turun untuk menyiapkan menu sarapan. Nyeri di perut akibat hari pertama menstruasi membuat aktivitasnya sedikit terganggu. Walau begitu, ia semaksimal mungkin berusaha mengabdi pada Hans, terlepas bagaimana pria tersebut memperlakukannya. Sekitar satu jam lebih, beberapa menu telah tersaji. Telur mata sapi, sup jagung, sambal terasi, serta dua cangkir teh untuknya dan Davina, juga secangkir kopi untuk sang suami. Semua telah siap di meja makan. Tangannya sesekali menahan rasa sakit di perut. Yasmin melirik jam di dinding, 06.30 dan saat itu pula Hans turun dari kamar di lantai dua. Tapi, pria itu tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang wanita yang direngkuh begitu mesra. Hans memakai kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Dua kancing baju yang paling atas terbuka, menampilkan d a d a kekarnya. Tapi, bukan itu yang jadi atensi Yasmin. Tanda merah di tubuh suaminya sungguh membuat hatinya semakin rapuh. Sementara Davina tampil anggun dengan dress warna abu selutut. Di lehernya juga terdapat sisa-sisa percintaan semalam dengan Hans. Sakit? Jangan ditanya lagi. Namun, Yasmin bisa apa? Ia hanya memendam lukanya sendiri. Wajah Yasmin melengos. Ia menelan ludah susah payah ketika merasa sesak di d a d a. “Mas, Davina, sarapan dulu. Aku sudah masak untuk sarapan kita.” Yasmin menarik dua kursi untuk Hans dan Davina duduk. “Mulai sekarang, panggil Davina ‘Mbak’, Yasmin. Secara umur dia lebih tua dari kamu!” Diam, Yasmin memilih tidak memedulikan perintah Hans dan hanya mengangguk lemah. Hans melirik sekilas ke arah makanan itu. Tatapannya datar. Ia berjalan melewati Yasmin. Membuka lemari pendingin, mengambil beberapa bahan, dan memakai apron miliknya sendiri. Yasmin berdiri dan terpaku menatap kegiatan suaminya itu. Hans masak nasi goreng dengan ayam suwir krispi dan membuat jus jambu. “Mas, aku sudah masak semua ini. Kenapa kamu masak lagi?” “Makan masakanmu sendiri.” “Tapi, Mas—“ Ucapan Yasmin terhenti saat Hans berbalik dan menatap tajam ke arah Yasmin. “Berapa kali saya bilang, Yasmin? Saya tidak akan sudi menerima perhatian sekecil apa pun dari kamu!” Sementara itu, Davina yang sedari tadi diam kini berdiri dan menghampiri keduanya. “Mas, ayolah, kita makan sedikit saja masakan Yasmin. Kasihan, Yasmin udah capek-capek masak untuk kita.” Davina berusaha membujuk karena tidak tega melihat raut wajah Yasmin yang penuh kekecewaan. “Sudah hampir jadi,” jawab Hans, lalu meletakkan nasi goreng itu di dua piring. “Kita makan masakanku, Davina. Dan ini jus untuk kamu.” Davina tidak membantah. Apalagi dua nasi goreng dan segelas jas itu sudah tersaji di atas meja pantri. “Kamu tega sama aku, Mas!” Yasmin tiba-tiba berteriak saat merasa kehadirannya tidak dihargai sama sekali. Hans tetap acuh tidak acuh. Ia memilih menekuri isi piringnya sambil sesekali menyuapi istri keduanya. "Mas, jangan begitu." "Jangan berdebat, Vin." Sakit hati, Yasmin akhirnya mengambil rantang tiga susun dan memindahkan makanan itu ke dalam sana. Ia keluar sebentar, memberikan makanan itu pada dua satpam yang berjaga di depan. “Lancang sekali kamu keluar tanpa seizin saya, Yasmin!” Teguran nada keras itu melayang saat Yasmin kembali dari luar. Langkah Yasmin terhenti. Ia berbalik dan menatap dalam suaminya. “Aku akan lebih menghargai jika Mas juga bisa bersikap sama! Lagi pula, tidak baik membuang-buang makanan.” Jawaban enteng itu Yasmin layangkan tanpa peduli dengan raut wajah Hans yang menahan geram. Hening, suasana hanya tegang. Yasmin mengemasi mangkuk dan piring bekas masakannya tadi. “Yasmin, biar aku bantu.” Davina turut membantu membawakannya ke wastafel dapur. Saat hendak mencuci, Yasmin mencegahnya. Ia menggeleng pelan. “Tidak pantas istri kesayangan menyentuh barang-barang kotor seperti ini. Duduk aja, Mbak. Aku tahu posisiku!” Hans yang mendengarnya dibuat kesal bukan main. Ia mencekal pergelangan tangan Yasmin, sangat kuat. “Dasar nggak tahu diri! Harusnya kamu bersyukur Davina mau membantu! Tapi, lihatl! Kamu malah menghina dia.” Yasmin menepis tangan Hans dan berbalik. Rasanya buang-buang tenaga saja meladeni emosi Hans. “Terserah apa katamu, Mas. Silakan nikmati waktu kalian berdua. Aku akan makan di belakang.” Dengan membawa amarah sekaligus perih, Yasmin membawa piring berisi nasi dan lauk-pauk itu ke halaman belakang. Ia menyuapnya ke mulut tanpa minat. Rasa masakan yang tadi Yasmin buat penuh ketulusan, sekarang terasa hambar. Wanita itu menatap kosong ke kolam renang, kemudian mendongak untuk menahan air mata yang hampir luruh. “Abah, Umi, Yasmin enggak kuat. Yasmin harus gimana?” Air matanya berhasil luruh di sela-sela kegiatannya menelan makanan. Pada akhirnya, makanan itu hanya tersentuh sedikit. Yasmin tidak lagi mampu menghabiskan. Belum sampai surut air matanya, Davina tiba-tiba datang dan membawa segelas jus untuk Yasmin. “Buat kamu, Yas. Enak, lho, buatan Mas Hans.” Gelas yang diletakkan oleh Davina, Yasmin dorong pelan. Ia menolak pemberian madunya. “Aku sudah kenyang. Buat Mbak saja.” Davina menatap mata teduh wanita bercadar itu cukup lama. Mata yang cantik, dengan bulunya yang lentik dan alis hitam tebal. Rasanya, mustahil sekali jika Yasmin buruk rupa seperti yang Hans katakan beberapa hari lalu. [“Bisa-bisanya Mama dan Papa menikahkan aku dengan wanita tidak jelas! Dia memakai cadar hanya untuk menutupi wajah yang rusak karena disiram oleh air keras oleh salah satu istri tetangganya! Dia penggoda, Davina. Dan aku tidak mungkin menikah dengan wanita m u r a h a n seperti dia!”] Tidak hanya sekali Davina mendengar alasan Hans benci dengan Yasmin. Sejujurnya, ia pun penasaran kenapa wanita itu terus memakai cadar, walau hanya berhadapan dengan Hans. “Kenapa Mbak Davina menatapku seperti itu? Apa ada yang salah?” Ucapan Yasmin membuat Davina tersadar dari lamunan. Ia menggeleng beberapa kali dan tersenyum tipis. “Yasmin, kita kan, sudah jadi keluarga. Boleh aku lihat wajah kamu? Em, maksudku ... buka cadar kamu sebentar saja.” Yasmin tertegun dengan permintaan Davina. Hans yang sudah menikahinya selama seminggu saja belum pernah memintanya melakukan itu. “Maaf, Mbak, tapi saya akan membukanya kalau Mas Hans yang minta. Dia yang berhak melihat saya lebih dulu, sebelum orang lain!” “Jangan mimpi kamu, Yasmin!” Suara bariton itu terdengar dari ambang pintu. Hans sudah berdiri di sana sambil memasang wajah angkuhnya. Yasmin menaruh atensinya pada Hans. Entahlah, ia selalu lemah jika sudah beradu tatap dengan mata elang suaminya. “Kamu pikir saya tidak tahu tabiatmu?” Hans lalu menyunggingkan senyumannya. “Jangan harap saya minta kamu melepas cadar itu! Karena itu tidak akan pernah terjadi, Yasmin. Tidak akan pernah. Camkan itu!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD