“Sekretaris kantor Hans, Ma. Hans izin angkat telepon dulu.”
Tanpa menunggu jawaban kedua orang tuanya, Hans beranjak dan menepi sedikit jauh dari ruang keluarga.
Yasmin tahu, pastinya Davina-lah yang menelepon. Gerak-gerik mata suaminya terlihat gelisah dan ia bisa melihatnya walau dari kejauhan.
“Yasmin, kalau Hans macam-macam, jangan sungkan bicara sama Mama, ya. Mama bakal jadi garda terdepan buat bela kamu.”
Yasmin mengangguk. “Iya, Ma. Mas Hans selalu bersikap baik, kok.”
Mau bagaimanapun, ia harus menutupi keburukan suaminya. Entah terbuat dari apa hatinya sampai mampu bersikap sabar sejauh ini.
“Kamu pinter banget buat kue, Yasmin. Masakan juga sangat enak. Kenapa tidak buka usaha saja, Nak?”
Kali ini Hanggara yang memberi pertanyaan. Ia memang tipe pria yang selektif dengan rasa makanan.
“Em, lain kali mungkin, Pa. Soalnya Yasmin baru saja melamar kerja jadi guru TK.”
Kedua netra Ranti berbinar. Ia mencomot kue lapis dan mengunyahnya perlahan.
“Mama, sih, yakin kalau kamu jadi guru TK, anak-anak bakal betah sama kamu. Secara kamu itu kan lembut begitu.”
Tanpa Hanggara dan Ranti tahu, wajah di balik cadar itu terasa panas. Ia tersenyum malu saat kedua mertuanya tidak berhenti memuji sedari tadi.
Mereka berbincang cukup lama, sampai Hans akhirnya kembali.
Yasmin menelisik baik-baik wajah suaminya yang tampak muram. Dan ini pasti tentang Davina.
“Hans, kamu ini terlalu sibuk. Sekali-kali pergilah honeymoon. Papa pesankan tiket buat kalian.”
Mendengar kata-kata “Honeymoon”, Yasmin dan Hans sama-sama diam.
“Lho, kok, pada diem? Ini kesempatan kalian buat menghabiskan waktu bersama secara i n t i m,” sahut Ranti, menatap anak dan menantunya bergantian. “Honeymoon enggak melulu soal anak, kok. Kalian kalau memang belum siap punya anak, tunda dulu enggak apa-apa. Yang penting quality time dulu.”
Hans langsung berdeham. “Iya, nanti kalau Yasmin ada hari libur panjang, ya, Ma. Soalnya besok Yasmin sudah mulai mengajar.”
Alibi Hans memang cukup pandai. Padahal, Yasmin pun belum mendapat kepastian dari hasil wawancaranya kemarin, dan ia tidak bicara apa pun soal ini pada sang suami.
“Ya, sudah, terserah kalian saja. Yang penting rumah tangga kalian harus bahagia,” putus Hanggara, memilih mengalah. Ia lantas melihat jam di tangan. “Sudah malam rupanya. Papa sama Mama pulang dulu, ya.”
Hans dan Yasmin berdiri lalu menyalami kedua orang tuanya secara bergantian.
Mereka mengantarkan Hanggara dan Ranti sampai ke halaman depan.
“Hati-hati, Ma, Pa.”
Mereka melambaikan tangan sampai akhirnya mobil itu mulai hilang dari pandangan.
Hans langsung berlari ke dalam rumah, tapi tidak lama keluar kembali sambil membawa kunci mobil.
“Mas, mau ke mana?”
“Tidak usah banyak tanya kamu! Gara-gara kamu Davina harus rela menunggu di apartemennya yang kosong sampai semalam ini!”
Yasmin hanya menunduk ketika wajahnya dituding oleh sang suami. Ia membiarkan Hans pergi begitu saja dengan kecepatan tinggi.
Apa pun hal buruk yang terjadi, selalu saja ia yang disalahkan.
“Sekhawatir itu kamu, Mas. Apa kamu juga akan seperti itu kalau aku ada di posisi Mbak Davina?”
***
Pagi hari ....
Rasa bahagia Yasmin tidak terukur ketika baru saja mendapat kabar dari sekolah bahwa ia diterima menjadi guru TK dan diminta datang hari ini juga.
Usai menyiapkan sarapan, mengurus pekerjaan rumah lainnya, akhirnya Yasmin bersiap untuk pergi ke sekolah.
“Yasmin, ke sini sebentar. Aku mau bicara penting sama kamu!”
Panggilan dari Davina membuat Yasmin cepat menghampirinya. Ia duduk di samping sang madu.
Wanita bercadar itu melirik Hans yang duduk tenang dengan ponsel di tangannya sambil menyesap kopi buatan Davina.
“Ada apa, Mbak?”
“Aku harus ke New York nanti malam. Aku di sana sekitar tujuh sampai sepuluh hari. Selama aku enggak ada, kamu yang mengurus Mas Hans, ya.”
Mendengar itu, refleks Hans tersedak saat menyesap kopinya. Ia menatap tajam ke arah Davina.
“Maksud kamu apa, Vin? Aku bisa urus diriku sendiri tanpa dia! Enggak! Enggak ada kamu, enggak ada siapa pun yang bisa menggantikan peran kamu sebagai istriku.”
Penolakan keras itu membuat Yasmin mengangguk lalu berdiri dari sana.
“Syukur kalau kamu enggak mau diurus sama aku, Mas. Aku berangkat kerja dulu. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Hanya Davina yang menjawab salam Yasmin, sedangkan Hans memasang wajah tidak sukanya terhadap Davina.
“Kenapa harus selama itu, Davina?”
Hans memprotes keputusan Davina yang akan pergi berhari-hari.
Wanita itu menghela napas dan berpindah posisi duduk agar lebih dekat dengan Hans.
Ia belai wajah pria itu lembut, berharap kekesalan suaminya berkurang.
“Cuma sepuluh hari, Mas. Lagi pula, Yasmin juga pasti mengurusmu dengan baik. Aku percaya itu.”
Bibir Hans berdecap, wajahnya melengos sambil menyingkirkan tangan Davina.
“Enggak, Vin. Aku maunya tetap kamu yang ngurusin aku.”
Davina raih dagu sang suami lalu membawanya supaya menatap ke arahnya.
“Iya, kalau aku ada di rumah, sudah pasti aku akan mengurus kamu. Kan, memang biasanya kayak gitu, Mas.”
Wajah Hans terlihat masam. Ini untuk pertama kalinya ia akan pisah dengan Davina dalam waktu cukup lama.
“Ya, tapi kamu enggak bisa seenaknya meminta Yasmin mengurusku begitu! Aku enggak suka, Vin.”
Davina pun tahu bagaimana perasaan suaminya terhadap Yasmin. Hal itu pula yang membuatnya ingin mencari momen agar Yasmin bisa lebih dekat dengan Hans.
Ia bahkan tidak berpikir untuk serakah menguasai Hans sendirian.
“Sementara, Mas. Jangan keras kepala gitu, dong. Memang kamu bisa nyiapin semuanya sendiri? Selama ini juga Yasmin, lho, yang banyak ambil peran jalanin pekerjaan rumah tangga.”
Hans menoleh, ia tertegun dengan sikap istri keduanya yang lembut dan perhatian.
Pria tersebut juga tidak bisa menyangkal bahwa Yasmin memang selalu berusaha terlihat sempurna dalam mengerjakan hal sekecil apa pun.
“Aku enggak peduli! Aku bisa mengerjakan semuanya sendiri selama kamu pergi ke luar negeri!”
“Yakin, Mas? Tapi, kalau tiba-tiba kamu sakit, gimana? Yakin bisa mengerjakan semuanya sendiri?”
Sorot tajam mata elang milik Hans menatap jeli ke arah Davina. Ah, lagi-lagi ia selalu luluh dengan wajah cantik sang istri.
“Doa kamu jelek banget, Vin. Kamu berharap aku sakit terus diurus sama Yasmin. Begitu?”
Davina terkikik geli. Suka sekali ia menjahili suaminya yang selalu menjaga jarak dari Yasmin.
“Enggak, Mas, aku kan bilang kalau misalnya, bukan berarti berharap itu terjadi. Pokoknya, selama aku enggak ada, kamu jangan ketus banget sama Yasmin. Kasihan.”
Hans merengkuh pinggang Davina supaya jarak duduknya semakin dekat. Dikecupnya wajah wanita itu berkali-kali.
“Sayang aku sama kamu, Vin. Maaf, ya, tadi malam kamu harus nunggu lama.”
“Enggak apa-apa, Mas. Aku tahu hubungan kita ini enggak mudah. Entah sampai kapan kita bertahan menyembunyikan semua ini.”
Nada bicara Davina terdengar lirih. Ia tahu, meskipun cinta Hans begitu besar terhadapnya, tapi tidak mampu melawan restu dari keluarganya, terlebih Hanggara.
“Aku janji bakal jaga kamu, Davina. Tunggu waktu yang tepat supaya aku bisa bicara sama Papa dan Mama soal hubungan kita.”
"Sampai kapan aku harus menunggu, Mas?” tanya Davina. Kepalanya mendongak, menatap wajah sang suami. “Memangnya apa alasan keluargamu tidak menyukaiku, Mas? Aku mau jawaban itu dari dulu, tapi enggak pernah kamu kasih.”
***