Bab 9

1195 Words
Sore hari ..... Yasmin melirik Davina yang sedang sibuk mengemasi barangnya di dalam kamar. Ia berhenti melangkah, kemudian masuk untuk turut membantu. “Biar aku bantu, Mbak.” “Makasih, Yasmin. Sebenarnya, aku juga enggak bisa pergi selama itu, tapi gimana lagi. Ini tuntutan pekerjaan.” Bukan sebuah kesenangan jika Davina pergi karena tidak akan ada pengaruhnya sama sekali untuk Yasmin. Hans tetaplah Hans. Pria yang selalu bersikap dingin dan berkata ketus pada Yasmin. Mustahil jika tidak adanya Davina lalu Hans bisa memperlakukan Yasmin dengan baik. “Yasmin,” panggil Davina lalu menggenggam tangan wanita itu. “Gunakan waktu dengan baik. Selama aku tidak ada, ini kesempatan buat kamu dekat sama Mas Hans.” Lagi-lagi Yasmin hanya terpaku melihat sikap Davina yang hampir tidak merasa kecewa sedikit pun walau menjadi istri kedua. “Sebesar apa pun usahaku untuk dekat dengan Mas Hans, tapi kalau Mas Hans aja enggak sudi mau gimana lagi, Mbak. Mas Hans itu cintanya cuma sama Mbak.” Kesedihan menyembur di wajah putih Davina. Ia sangat menyayangkan takdir Yasmin yang harus jadi istri pertama, tapi tidak pernah terlihat di mata Hans. “Aku juga enggak tahu gimana akhir dari nasib hubunganku dan Mas Hans. Pernikahan rahasia itu enggak enak, Yasmin.” Yasmin pun paham. Pernikahan bukan sekedar hubungan dua manusia berbeda jenis, tapi dua keluarga yang menyatu. “Maaf, Mbak, tapi kalau boleh tahu, apa yang buat keluarga Mas Hans enggak setuju kalau Mas Hans menikah dengan Mbak Davina?” Genggaman di tangan Yasmin, Davina lepas begitu saja. Ia menggeleng, kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lebar yang dipaksa. “Entahlah, tapi kata Mas Hans, papanya yang emang keras. Apa yang jadi pilihan Om Hanggara, enggak ada yang bisa bantah.” Yasmin hanya mampu diam mendengar jawaban madunya. Padahal, jika Hanggara mencari menantu yang setara, jelas Davina pemenangnya. Apalah arti Yasmin yang hanya yatim piatu, berasal dari keluarga sederhana, dan tidak punya pendidikan tinggi seperti keluarga Hans. “Usaha apa yang kamu lakukan sampai bisa meluluhkan hati keluarga Mas Hans, Yasmin?” “Tidak ada, Mbak. Aku cuma ikut kata almarhum Abah dan Ummi. Karena aku yakin, pilihan mereka adalah yang terbaik buat aku.” Walau Yasmin berkata jujur, tidak lantas membuat Davina percaya begitu saja. “Enggak mungkin. Katakan, Yasmin, tirakat apa yang buat kamu terlihat spesial di mata keluarga Mas Hans.” Desakan dari Davina malah semakin membuat Yasmin bingung. Demi apa pun, ia tidak punya cara khusus untuk mengambil hati kedua mertuanya. Pada saat masih hidup di kampung pun, Yasmin hanya beberapa kali bertemu dengan kedua mertuanya yang berkunjung ke rumah. “Kenapa diam, Yasmin? Kamu solat malam? Berapa kali? Terus doa apa yang kamu sebut? Beri tahu aku, Yasmin!” Davina sampai memegangi bahu Yasmin dan mengguncangnya pelan. Dan Yasmin membiarkan madunya melakukan itu. “Aku enggak bisa menjawab pertanyaan Mbak,” jawab Yasmin, lalu menyingkirkan tangan Davina dari bahunya. “Tapi, satu hal yang harus Mbak tahu, enggak ada wanita yang mau ketemu sama pria yang sudah ada pemiliknya, Mbak. Aku tahu posisi, tapi bukan berarti aku mundur.” “Maksudmu ... bagaimana? Kamu mau aku pergi dan kamu mau jadi yang satu-satunya untuk Mas Hans?” Yasmin tersenyum miris ketika mendengar dugaan Davina yang menurutnya terlalu jauh. “Mbak, sadar! Jangan seolah-olah Mbak yang tersakiti di sini. Aku lebih sakit, Mbak, tapi apa? Aku bertahan sejauh ini semata-mata karena tidak mau jadi istri yang durhaka!” Davina terkejut. Baru kali ini ia mendengar nada bicara Yasmin yang cukup keras. Efek lelah sehabis pulang mengajar ternyata membuat emosi Yasmin meluap begitu saja. “Tapi, kamu enggak tahu sakitnya jadi aku yang dipandang sebelah mata sama keluarga suami, Yasmin.” Yasmin menatap datar wajah Davina yang kini basah oleh air mata. Ia hendak mengusapnya, tapi urung dilakukan. “Kita sama-sama sakit, Mbak, tapi dalam versi berbeda.” Tanpa diduga, Hans tiba-tiba datang. Melihat istri keduanya menangis, ia langsung membawanya dalam pelukan. Pria itu menoleh ke arah Yasmin dan menatapnya nyalang. “Apa yang sudah kamu perbuat, huh?! Masih belum cukup buat hubungan kami serumit sekarang?” Pertanyaan itu terdengar menusuk di telinga Yasmin. Seolah-olah ia merupakan dalang di balik kesialan yang menimpa Hans dan Davina. “Kamu sendiri yang buat semuanya rumit, Mas! Jangan bisanya hanya menyalahkanku.” “Diam!” Sentakan Hans membuat Yasmin terenyak. Ia beranjak dari ranjang tidur dan menatap dalam-dalam suaminya. Tapi, tanpa diduga Hans memalingkan wajah. Entah sejak kapan pria itu hilang keberaniannya untuk beradu mata dengan istri pertamanya. “Jangan pernah menatap saya seperti itu, Yasmin!” Dan, ternyata ... Yasmin tetap tidak memutus tatapannya sedikit pun. Ia malah semakin mendekati Hans yang masih memeluk istri keduanya. “Kewajiban mana yang tidak aku penuhi sebagai istrimu, Mas? Bahkan, untuk sekadar mencuci pakaian Davina saja aku lakukan. Masih mau menuntut bahwa aku tidak pernah melakukan pekerjaanku sebagai istri?” “Saya tidak pernah menyuruh kamu melakukan itu, Yasmin. Jadi, jangan bersikap seolah-olah saya dan Davina yang minta!” Beberapa kali Yasmin mengangguk. Sudut matanya mulai memanas. Seperti biasa, wanita itu selalu menahan diri untuk terlihat kuat dengan tidak menangis. “Harus seperti apa lagi aku berbakti? Aku menghormatimu, Mas, tapi sepertinya kamu juga enggan untuk terima baktiku! Baiklah, mari kita akhiri. Aku akan bicara dengan Papa-Mama tentang kebenaran hubungan kita!” Kesabaran Hans dibuat habis oleh keputusan tegas dari Yasmin. Napasnya mulai memburu, sebelah tangannya mengepal kuat. Ia mendudukkan Davina yang menangis sesegukan, kemudian mencengkeram kuat leher Yasmin dan menyentak tubuhnya ke dinding. "Mas, jangan!" teriak Davina, mencoba melerai tangan Hans dari leher Yasmin. "Yasmin sama sekali nggak bersalah!" "Diam kamu, Davina! Minggir, tolong menepi! Jangan halangi aku!" "T-tapi, Mas ...." "Duduk!" Teriakan Hans membuat Davina urung melakukan niat tuk menolong Yasmin. Lelaki itu tidak akan bisa dibujuk jika sudah seperti itu. “Silahkan pukul aku sekalian, Mas!" desis Yasmin, lantang. "Tapi, kalau memang kamu mau semuanya cepat selesai, aku bersedia memulainya lebih dulu.” “Kamu mulai berani mengancam saya, hm?” Hans memperkuat cengkeramannya hingga melihat sorot mata Yasmin yang malah tidak ada ketakutan sedikit pun. “Aku tidak mengancam. Tapi, silakan jadikan Davina satu-satunya dan aku akan bicara dengan Mama-Papa.” Pria itu kembali menyentak tubuh Yasmin hingga punggungnya menabrak dinding. “Jangan mentang-mentang Papa dan Mama berada di pihakmu lalu kamu seenaknya menindas saya dengan Davina!” Cukup kasar, Yasmin menepis tangan suaminya dari leher. Ia menghirup oksigen dengan rakus sambil memegangi dadanya. “Lain kali tanya sebabnya kenapa Davina menangis! Tidak sepantasnya kamu menumpahkan semua kesalahannya padaku.” “Lalu kalau bukan karena kamu, siapa lagi? Davina itu wanita baik-baik! Tidak sepadan dengan kamu yang hanya seorang penggoda!” Jleb! Sebutan itu adalah hal paling menyakitkan yang harus didengar Yasmin berkali-kali. Ia geram bukan main. Rasanya ingin sekali Yasmin membalas perkataan itu dengan banyak makian. Tapi, kembali lagi pada nalurinya sebagai seorang istri yang wajib menjaga ucapannya ketika berbicara pada suami. “Mau sampai kapan pun, kamu tidak akan pantas bersanding dengan saya, Yasmin! Saya hanya cinta sama Davina. Hanya dia istri saya.” Dengan lantang Hans mengatakan itu. Ia beranjak untuk merangkul Davina dan mengajaknya pergi dari sana sambil menyeret koper. “Tidak ada hal paling menyakitkan, selain harus menahan sakit sendirian karena ucapan kamu, Mas!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD