Part 1

1347 Words
Pagi-pagi sekali Agatha sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah yang seakan tidak pernah habisnya. Agatha Andriette Sanady. Seorang gadis yang masih menjomblo di umurnya yang hamper menginjak kepala 3. Bukan karena ia tak berniat menikah, namun setiap kali ia menjalin hubungan dengan lawan jenis, selalu saja membuatnya kecewa. Bukan karena ia tak cantik, bukan pula karena ia diselingkuhi, namun karena hidupnya yang seorang perawan namun telah memiliki 2 anak yang menggemaskan. Banyak sekali komentar-komentar negative yang selalu diarahkan padanya. Ia tak pernah menggubrisnya, ia hanya khawatir dengan ibunya dan kedua anaknya yang mungkin saja bisa mempengaruhi psikologi mereka. “Anaa!” teriak Agatha memanggil anak sulungnya. “Andriana! Cepat mandi nak, mamah udah beres nyuci nih.” Andriana segera menghampiri anaknya yang tak kunjung datang dan melihat anak sulungnya tengah tertidur pulas dengan handuk yang menempel di kedua pundaknya. “Astaga Anaa! Kok malah tidur lagi sih. Yuk bangun yu, kita harus pergi sekolah pagi-pagi karena mamah harus menghadiri rapat. Ayo! Anak cantik anak baik, yang selalu nurut mamah.” Andriana berhasil membawa anak sulungnya ke kamar mandi. Sembari menunggu Andriana, Agatha menyuapi anak bungsunya yang sudah rapih dan semakin menggemaskan dengan bedak acak-acakan di wajahnya. “Agatha, mamah udah masakin kamu nasi goring, cepat makan! Nanti malah gak keburu sarapan lagi. Sini, biar mamah yang suapin Rian.” Agatha memperhatikan Rian yang anteng bermain mobil-mobilan dan segera mengecup pipi tembemnya, kemudian ia menyerahkan piring berisi sarapan untuk Rian kepada mamahnya. Mamahnya, Rita Naufalningtyas adalah satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong untuk menjaga kedua anaknya selama ia bekerja. Mamahnya jugalah yang menjadi satu-satunya orang yang selalu ada setelah ia kehilangan seluruh keluarganya, termasuk papahnya. Tragedi besar yang mengharuskannya menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi orangtua tunggal dari anak-anak malang tak bersalah. Agatha selalu merinding ngeri jika sudah mengingat kejadian paling menghancurkan seumur hidupnya, apalagi bagi mamahnya. Mamahnya harus kehilangan orang-orang yang paling ia cintai. Suami yang dicintainya, Prayogi Sanady dan anak sulung kebanggaannya, Tristan Yoga Sanady beserta menantunya, Chyntia Kamilia. Sebelum tragedi itu terjadi, Agatha menjalani hidupnya dengan aktif layaknya anak muda yang tak ingin melewatkan masa mudanya dan selalu melakukan banyak hal yang ia sukai. Agatha menikmati masa mudanya tanpa beban dan pikiran lain selain hidupnya. Kehidupan masa muda yang ia jalani harus berubah tatkala ayah dan kakaknya pergi terlebih dahulu, bahkan tanpa pamit dan mengucapkan kalimat perpisahan. Meski Agatha benci mengatakannya ia tetap harus bersyukur Tuhan masih berbaik hati menyelamatkan kedua anak menggemaskan yang kini sudah tumbuh semakin besar, Andriana dan Andrian. Titipan Tuhan yang dikirim melalui kakaknya dan kakak iparnya. Setelah beberapa drama yang terjadi setiap senin pagi, Agatha berhasil membujuk kedua anaknya untuk segera bersiap mengingat hari senin yang pastinya selalu disuguhi dengan macetnya kota Jakata jika terlambat sedikit saja dari waktu yang biasa mereka rencanakan. Andriana atau Ana bersekolah di tempat yang sama dengan Andrian atau Rian. Agatha memang sengaja mencari sekolah yang sama untuk kedua anaknya. Sementara Ana yang sudah bersekolah di bangku kelas 3 SD, sedangkan Rian masih di bangku Taman Kanak-kanak. Dua orang anak kecil yang menggemaskan dan lucu. Ana tahu betul bahwa Agatha adalah bibinya dan adik dari ayahnya, namun Ana tak keberatan memanggilnya mamah, ia malah senang karena dengan begitu ia masih bisa memamerkan mamahnya didepan teman-temannya. Mamah muda yang selalu tampil modis dan paling cantik diantara orangtua teman-temannya. Sedangkan untuk Rian, tak ada yang berani memberitahunya. Entah menunggu Rian tumbuh dewasa atau memang tidak ada yang berniat memberitahunya mengingat kedekatan mereka yang juga melebih ibu kandung dan anak kandungnya. “Cepet sedikit dong nak, keburu macet nanti.” Agatha sudah siap didalam mobil tuanya bersama Rian yang sudah duduk manis dibelakang dengan menggunakan car seat type all in one car seat sembari memakan biscuit dan susu di sebelah tangannya yang lain. “Iya iya, mah. Bawel ih.” Ana bergegas masuk dengan roti yang masih setengahnya belum ia makan sempurna. “Udah salim sama nenek?” “Udah.” “Good girl. Dadah dulu sama nenek.” Kedua anak menggemaskan itu melambaikan tangannya kepada neneknya yang dibalas dengan lambaian tangan dari nenek mereka. Agatha sedikit berlari kecil menuju lift dan segera berlari cepat mengetahui bahwa lift yang yang ingin ia tuju akan segera tertutup. Terlambat. Pintu lift sudah tertutup dengan banyaknya orang yang ada di dalam lift. Kemudian Agatha segera bergeser menggunakan lift yang satunya, berharap lift yang ia tunggu kini tidak akan terlalu lama datang. Akhirnya Agatha bisa tenang, lift yang ia tunggu datang tak lama setelahnya. Agatha bergegas masuk bersama segelintir orang yang juga ikut menunggu selama beberapa detik Agatha berdiri menunggu disana. Agatha memilih berada di pinggir ruangan lift agar lebih mudah baginya memencet tombol lift dan keluar dari ruangan lift, namun beberapa saat pintu lift akan tertutup, seseorang menahannya disana. Seorang pria yang ia perkirakan beberapa tahun lebih tua darinya menahan pintu lift dan segera mempersilakan seorang pria lainnya. Dan yang membuat Agatha agak tidak nyaman, pria paruh baya yang menahan pintu lift seakan sedang menyingkirkan kotoran saat seorang pria muda yang Agatha perkirakan diatas usianya itu. Ia sampai harus menempel lekat dengan dinding lift karena desakan dari pengguna lain yang ada disampingnya. Apakah ia seorang presiden? Atau pemilik gedung besar ini sehingga kehadirannya seperti seorang raja yang sedang berkunjung.. Jika demikian, mengapa ia tak menggunakan lift VVIP yang berada diseberang lift ini? Gerutu Agatha didalam hatinya. Agatha bergegas keluar dari pintu lift begitu lift berhenti di lantai yang ia tuju. Orang yang bagaikan raja pun ikut keluar dari lift yang ia tempati juga, namun Agatha tidak memperdulikannya. Mungkin ia akan menemui bosnya atau orang penting lainnya di lantai ini. “Gila ya orang-orang. Hampir aja gue telat gara-gara lift.” Gerutu Agatha sesampainya di kubikel yang ia tempati. “Kenapa neng? Pagi-pagi udah naik darah aja?!” sahut Vivian sahabatnya disamping kubikel miliknya. “Gue masuk lift sama tuan muda yang gila kebersihan deh gue rasa. Masa ia kita dipinggirin kayak kotoran. Aturan kan kalo doi orang penting harusnya masuk lift khusus aja gak usah bikin gak enak orang-orang yang ada di lift khususon bawahan.” Cerocos Agatha. “Lift khusus atasan emang lagi ada perbaikan, Ta.” Timpal Reno yang sudah sibuk dengan kertas-kertas yang ada ditangannya. Vivian kemudian menepuk bahunya dan berkata, “Hati-hati Ta. Kali aja yang pinggirin lo itu jodoh lo.” Celetuk Vivian dan segera berlalu meninggalkan Agatha dan kubikel tempatnya. Agatha menatap kepergian Vivian dengan mata yang menyeramkan dibarengi dengan tawa tertahan dari Reno. “Sinting. Hidup gue aja udah ribet, jangan sampe tambah ribet dapet jodoh kaya gitu.” Agatha bergidik membayangkannya. “Hati-hati, Ta. Bisa jadi tuh yang diomongin si Vian.” Celetuk Reno. “Berisik lo.” Kesal Agatha dengan wajah menekuk. Agatha tak ambil pusing dan segera memulai aktivitas rutinnya seperti biasa. Waktu sudah menunjukkan hampir jam makan siang. Seharian ini, Agatha benar-benar disibukkan dengan pekerjaannya yang memang sedang deadline akhir bulan. Seharian ini pula, ia tidak menyentuh handphonenya sama sekali. Agatha juga khawatir, malam ini ia harus lembur dan membiarkan mamahnya mengurus kedua anak aktif di rumah sendiri. Bukan Agatha tidak mau untuk menyewa seorang baby sister untuk membantu mengurus kedua anak aktif itu, tapi untuk saat ini ia tidak mampu untuk menyewanya. Keperluan mamah dan kedua anaknya kini adalah yang terpenting baginya. Mungkin jika posisinya lebih tinggi dari sekarang, ia bisa menyewa seorang baby sister. Makanya, ia harus bekerja berkali lipat lagi dari sekarang. Sebagai karyawan marketing di perusahaan advertising dan ia juga merangkap menjadi asisten fotografer seorang teman dari temannya yang lain di akhir pekan. Tak ada waktu baginya untuk mengeluh atau sekedar menghela nafas. Semua keperluan dirinya, kedua anaknya dan ibunya menjadi penyemangat baginya untuk tetap semangat. Demi senyuman menggemaskan dari kedua anaknya dan senyum menenangkan dari ibunya. Dirinya? Agatha tak pernah ingin lagi memikirkan dirinya setelah kehidupan barunya. Suara dering ponsel yang sedari tadi berbunyi tak terdengar oleh Agatha, hingga Reno menyadarkannya dari sibuknya ia berkutat dengan pekerjaannya. “Ibu Agatha? Kami dari sekolah Ana dan Rian. Saat ini kami sedang berada di rumah sakit. Tadi Rian sempat mengalami kecelakaan…” suara dari sebrang panggilannya membuat hati Agatha melonjak. Jantungnya serasa berpacu seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD