Part 3: Bos Penindas

1197 Words
Agatha berhenti sejenak, ia penasaran dengan orang yang ada dibelakangnya. Suara langkahnya ikut berhenti. Agatha kemudian melangkahkan kakinya lagi. Suara sepatunya terdengar melangkah lagi. Kemudian dengan sengaja Agatha menjatuhkan nametagnya dan memungutnya kembali. Agatha melihat dari ujung matanya. Lelaki tadi yang sempat ia tuduh macam-macam. Agatha segera berbalik dengan perasaan kesalnya. “Darimana kamu tahu saya kerja disini? Sejak kapan kamu menguntit saya?” “Apa Kamu lupa lagi kata terimakasih?” “Apa?” Agatha benar-benar kebingungan. Pertolongan apa yang dia berika sehingga ia harus berterinakasih padanya?! “Jika kaki saya tidak menahan pintu lift, saya tidak akan mencium aroma tidak enak didalam lift tadi,” Reinhard melewati Agatha tanpa repot menjelaskan lagi. “Oh, ya. Saya tidak akan berada di dalam lift lebih dulu jika saya menguntit. Koridor ini juga terlalu sempit dilewati dua orang. Bastian! Segera singkirkan barang-barang tidak perlu yang menghalangi jalan.” Wajah Agatha semerah tomat matang jika saja rambut panjangnya tidak menutupinya. Rasa malu yang kemarin saja masih Agatha rasakan, dan kini sudah bertambah lagi bahkan dua kali lipat karena ia sudah menuduh Reinhard lagi. Sepertinya ia terkena kecemasan yang parah. Setibanya Agatha di kantor, ia disuguhkan dengan ramainya teman-teman kantornya. Tidak biasanya kantor seramai ini pada jam kerja. “Kenapa sih?” Agatha segera menanyakannya pada dua teman yang ada disamping dan didepannya mengenai keributan yang sedang terjadi. “Ta, lo udah ketemu belom sama bos baru kita?” Tanya Reno. “Oh, belum. Kenapa emang?” “Kemarin kan rumornya bakal dijabat sama bapak Mahardika, ternyata sama anaknya.” Jelas Reno. “Oh, ya?! Terus apa masalahnya?” Agatha tak mengerti. Apa masalahnya?! “Bukannya bagus sama anaknya, lebih muda dan lebih ngerti juga sama gen Z jaman now.” “Menurut kabar burung yang gue denger…” “Burung lo dengerin, No, No.” canda Satrio. Agatha memang tidak memperdulikan siapa yang akan mejadi atasannya nanti, ia hanya akan bekerja sekeras mungkin sampai semua tagihan dan keperluan keluarganya terpenuhi. Toh jika memang dipimpin anaknya, ia akan tetap mendapatkan gajih. “Maen nyamber aja sih lo,” Reno membulatkan matanya dan memperingatkan Satrio yang sama antengnya dengan Agatha, “Katanya, anaknya lebih parah dari bapaknya Ta. Gila disiplin, super duper galak, kaya es batu, dan tidak mau menerima kesalahan.” Lanjut Reno. “Bagus dong. Bukannya kerja emang harus gitu ya,” Dengan tenang Agatha memberikan pendapatnya, “Mungkin bagi yang suka kesiangan, bolos dan sekenanya aja kalo kerja ya bakal ketar-ketir sih.” Sindirnya jelas dengan tatapan mata pada Reno. Reno nyengir kuda dengan wajah tanpa dosanya. Agatha menyunggingkan senyumnya dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir, ia duduk di kursi kerjanya dan bersiap untuk memulai kerjanya yang seperti tidak pernah selesai. Jam istirahat sudah habis, Agatha masih terlihat mengotak atik computer yang ada di mejanya. Sementara teman-temannya yang lain berdatangan satu persatu setelah keluar untuk makan siang. Agtha bukan tak ingin ikut, ia hanya tidak suka menunda pekerjaannya dan ia lebih memilih memakan bekal makan siang buatan ibunya yang ia bawa dari rumah. Meski sudah dingin dan sedikit kurang sedap, Agatha tak memperdulikannya, dengan begini ia juga bisa mengirit pengeluaran. Suara telepon dari meja Vivian berdering. Agatha tahu, itu pasti dari atasannya yang baru. Mengingat Vivian tak kunjung datang dari makan siangnya, Agatha mencoba untuk menjawab panggilan dari telepon yang terus berdering nyaring. “Hallo.” “Ke ruangan saya sekarang juga.” Ucap suara dari seberang telepon singkat. “Ibu Vivian ma…” Telepon yang berdering sedari tadi hanya memperdengarkan suara dari seorang pria yang terdengar masih muda. Suaranya terdengar mengintimidasi, dan tak bisa di tolak, “...sih belum datang.” Lanjutnya lagi meski ia tahu itu tidak akan didengar oleh orang yang ada disana. Mau tak mau Agatha menuju ke ruangan atasannya itu. Ia tak ingin membuat nama Vivian jelek. Mungkin ia akan memberikan pengertian pada atasannya itu bahwa yang menjawab panggilannya adalah ia sendiri. Agatha juga tidak keberatan untuk menjadi perwakilan Vivian kalau-kalau ada pekerjaan yang harus dikerjakan Vivian. Agatha mengetuk pintu kantor atasannya yang tak terlihat dari luar karena atasannya ini menutup semua bagian ruangannya yang terhalang dinding kaca dengan horizontal blinds. “Bereskan laporan yang saya minta semalam. Hari ini juga.” Ucap Reinhard tanpa perlu merasa basa-basi dan tanpa repot melihat pada lawan bicaranya “Tapi pak…” “Saya tidak menerima keluhan apapun. Toh saya tidak minta hal rumit.” Reinhard masih tak mengangkat kepalanya. “Maksud saya…” Reinhard mengangkat kepalanya perlahan dan ia mengerutkan sedikit keningnya melihat Agatha. “Oh, kamu. Bisa-bisanya kamu?!” Agatha sedikit merasa tidak enak dengan apa yang keluar dari mulut atasan gila nya ini. Ia memang bersalah karena sudah melakukan kesalahan yang lumayan fatal pada atasan yang baru ia ketahui beberapa saat lalu ini, tapi apa memang lelaki angkuh inin tidak memiliki rasa hormat? Meski Agatha bukan seorang penggila hormat. “Maaf, maksud bapak?” “Hahhh…” Reinhard menarik nafasnya perlahan. Sebenarnya ia malas berdebat saat ia sendiri sedang disibukkan dengan beberapa hal yang masih ia pelajari. Salahkanlah ayahnya yang dengan seenaknya menempatkannya pada posisinya sekarang. Meski ia tahu, ia sedang dimanfaatkan oleh ayahnya sendiri, Reinhard mau tidak mau harus menuruti kemauan ayahnya melalui ibunya yang selalu cerewet memintanya untuk menikah saat ia memutuskan hidup sendiri. “Saya sudah mengatakan apa yang saya butuhkan. Silakan keluar.” Agatha melangkah keluar dengan perasaan kesal dan gondok didalam hatinya. Seandainya saja ia tidak membutuhkan uang, mungkin saat ini ia akan sedikit merobek bibir lelaki angkuh ini sampai telinganya agar lelaki angkuh ini mau sedikit mendengarkan ia bicara dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Agatha berbalik dengan memegang daun pintu kantor Reinhard, “By the way, sekarang baru saja masuk jam makan siang dan para karyawan kantor sedang mengisi amunisi mereka sekedar untuk menahan kesabaran punya atasan seperti bapak. Saya! Bukan general manager disini, saya kesini mewakili atasan saya. Permisi pak.” Jelas Agatha dan segera keluar dari bilik yang membuatnya sesak sesaat. Ingin rasanya ia membanting pintu hingga menjadi dua, namun ia masih tidak memiliki keberanian sampai kesana. Sudut bibir kiri Reinhard tertarik ke atas hingga memperlihatkan sedikit gigi-gigi rapihnya. “Menarik.” Gumamnya. Reinhard kembali berkutat dengan lembaran-lembaran kertas yang tadi ia keluhkan pada Agatha. Kemudian ia membubuhkan tanda tangan disana setelah ia melihat dengan baik laporan yang ia terima. Tidak ada koreksi, bahkan laporan yang ia baca mudah ia mengerti dan tidak rumit. #Flashback# Suara riuh dari luar ruangannya bisa ia dengar karena ia tak sepenuhnya menutup pintu kantornya. Reinhard bisa melihat dari kaca yang tak tertutup horizontal blinds, semua karyawan meninggalkan kubikel mereka masing-masing. Hanya wanita pemarah dan ceroboh itu yang masih betah duduk di kursinya dengan beberapa tumpukkan kertas dan sepertinya ia sedang dikejar deadline. Tak lama setelah kepergian teman-teman karyawannya, gadis itu terlihat membuka bekal makan siangnya. Reinhard tahu dari data rumah sakit, bahwa ia adalah ibu tunggal dengan dua orang anak. Entah ia ingin menghemat atau ia mendedikasikan makan siangnya untuk pekerjaannya. Reinhard semakin tertarik untuk mengerjai Agatha. Sebelumnya, Reinhard tak pernah tertarik sedikitpun dengan orang lain. Bahkan keluarganya sendiri, tapi entah mengapa ia malah tertarik untuk mengerjai gadis ceroboh itu. Reaksinya saat terkejut, ekspresi wajahnya saat malu terlihat menggemaskan. Reinhard tertawa kecil saat mengingatnya. #Flashback end#
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD