5 - Envious

1162 Words
    “Nay?”     “Eh?” Aku tergeragap. Kayla sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan bingung. Kedua tangannya memegang nampan berisi dua gelas es krim dan burger.     Cepat-cepat aku mengusap sisa air mata di wajahku. Kemudian memasang senyum tanggung di bibirku. Aku tahu, terlalu terlihat jelas bahwa aku baru saja menangis.     Kayla meletakkan nampannya, menyeret kursi dan duduk di hadapanku. Kedua matanya yang sipit menatapku lekat.     “Ada apa, Nay?” Tangannya yang putih bersih menyentuh tanganku yang berada di atas meja.     “Nggak apa-apa.” Cepat-cepat aku menariknya.     “Kamu… nangis, ‘kan?” Kayla hati-hati bertanya.     Aku diam. Mau berbohong juga tak mungkin, sudah terlihat jelas mataku yang bengkak. Maka akhinya aku mengangguk. “Tapi bukan karena apa-apa, kok.” Aku tersenyum. Meyakinkan Kayla bahwa aku benar-benar baik-baik saja.     “Terus kenapa nangis?” Kayla memasang wajah sedih. Gadis ini benar-benar pandai berempati.     “Hm…” Aku mencoba memilih kalimat paling pas. “Kamu denger lagu barusan?”     “Eh? Aku nggak perhatian. Hehehe.” Ia menggaruk kepalanya. Aku tahu itu hanya ekspresi bingungnya, tak mungkin kepalanya benar-benar gatal.     Aku tersenyum. Menarik nafas dalam, mencoba melegakan dadaku yang masih terasa sesak. “Barusan tuh ada lagu Bunda. Tau ‘kan? Aku jadi inget ibuku. Udah itu aja.”     “Nayaaa…” Kayla menggenggam kedua tanganku erat. Aku bingung, tak menyangka reaksinya akan begitu.     “Eeeeh? Kenapa?”     “Kamu kangen ibumu, ya? Yang sabar, ya, Nay.” Kali ini Kayla menepuk-nepuk punggung tanganku. “Semoga suatu saat kamu bisa ketemu sama ibumu.” Ucapnya tulus.     Kayla merupakan salah satu orang yang mengetahui soal kondisi keluargaku. Waktu itu aku tak sengaja menceritakannya. Saat malam hari sebelum wisuda. Orang tua Kayla datang ke kos. Karena kamar kami berdekatan, mau tak mau aku menyapa orang tua Kayla. Mengobrol basa basi sebentar. Sampai akhirnya ibu Kayla bertanya soal orang tuaku.     “Ayah saya sudah meninggal.” Kataku sembari tersenyum.     Yah, kalian tahu lah bagaimana reaksi orang tua Kayla. Terutama ibunya, ia segera menggenggam tanganku erat. Persis seperti yang dilakukan Kayla sekarang.     “Kalau ibu?” Tanyanya kemudian.     “Kalau ibu saya, hm… saya sudah lama nggak ketemu beliau. Hehehe.” Aku nyengir saja di akhir kalimat. Aku yakin, saat itu sama sekali tak ada raut wajah sedih yang kutampakkan. Tapi, ibu Kayla benar-benar memiliki hati yang lembut.     Ia segera merangkulku, pelukannya hangat. Sampai-sampai aku ingin menyurukkan kepalaku di sana. Tapi tentu saja aku menahan diri. Ini bukan orang tuaku.     Ibu Kayla tak berkata apa-apa. Ia hanya merangkulku dan menepuk-nepuk punggungku lembut. Persis saat ia melepas pelukannya, aku bisa melihat setetes air mata di ujung matanya.     Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Setelahnya aku pamit dan tidak bertemu lagi dengan orang tua Kayla. Karena selepas acara wisuda, semua orang sibuk dengan orang tua masing-masing. Makan-makan, foto-foto, berbahagia. Sementara aku kembali ke kamar kosku yang sempit, melepas semua pakaian yang membuat gerah itu, mandi, makan siang kemudian tertidur.     Begitulah, tak ada yang spesial di hari wisudaku. ***     Pukul lima sore, kami baru tiba di tempat kos. Hujan sudah reda. Tadi terjebak di restoran cepat saji sekitar setengah jam. Cukup untuk menghabiskan satu gelas es krim dan burger ukuran kecil.     Hari ini banyak sekali yang diurus. Untung saja kami pengangguran. Eh?     Kartu provider Kayla sudah diurus. Cukup mudah ternyata mengurusnya. Hanya perlu mengisi formulir, menjawab ini itu ketika ditanya, menunggu sebentar lalu selesai. Mengantrenya yang lama. Saat kami datang, antrean masih berada di angka empat puluh dua. Sedangkan kertas yang berisi nomor antrean di tangan Kayla masih terpaut 20 angka.     Aku gunakan waktu mengantre tadi dengan mengecek sosial media jualanku. Membalas pesan-pesan calon pembeli dan pembeli. Ya, bisnisku satu ini cukup lancar. Meski tak banyak juga, tapi setiap hari ada saja yang bertanya tentang produk sampai membayarnya. Sedikit kesulitan memang berjualan dengan sistem marketer begini. Karena aku tak memiliki barangnya, maka setiap ada calon pembeli bertanya tentang barang yang dimaksud, aku harus memastikannya dulu pada atasanku alias supplier aslinya. Untung saja supplierku ini punya dua admin yang cukup gercep, gerak cepat, membalas pesan. Jadi, calon pembeliku tak terlalu lama menunggu.     Penghasilanku dari berjualan online cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi sama sekali tidak lebih. Karenanya, aku juga harus tetap bekerja dengan gaji bulanan yang pasti. Supaya aku juga bisa memastikan, esok masih ada yang bisa kumakan untuk bertahan hidup dan ada uang yang bisa kusimpan jika sewaktu-waktu ada kebutuhan mendadak. Sakit, misalnya.     "Nay, nanti malam mau makan bareng?" Kayla berhenti di depan pintu kamarnya. Tangannya menggenggam gagang pintu.     "Boleh." Aku tersenyum, lalu tiba-tiba teringat nasi di rice cooker yang belum tersentuh. "Eh, nanti beli lauk aja, ya? Aku ada nasi. Belum kesentuh dari tadi habis dimasak."     "Oke." Kayla tersenyum. Ia melangkah masuk ke kamarnya. Aku pun melakukan hal yang sama.     Namun, langkahku terhenti demi melihat kepala Kayla menyembul dari balik pintu kamarnya.     "Kenapa?" Tanyaku heran.     "Jangan sedih sendiri, ya, Nay. Kamu boleh main ke kamarku kapan aja kalau ngerasa kesepian." Wajah Kayla sendu, alisnya turun.     "Eh?" Aku menatapnya bingung. Lalu seketika mengerti. "Hehehe, santai aja, Kay. Aku nggak sesedih itu. Toh, aku udah sepuluh tahun nggak ketemu ibuku. Jadi, hm… sudah biasa." Aku tersenyum getir di ujung kalimat.     Kayla masih menatapku kasihan.     "Sudah sudah, masuk sana! Mandi, bau!" Aku pura-pura menghardik. Aku tak suka dipandang kasihan begitu. Lagipula aku memang tak serindu itu dengan ibuku. Tadi itu hanya terbawa suasana.     Aku menjatuhkan diri di kasur. Menghela nafas panjang. Tiba-tiba teringat dengan amplop cokelat yang kuserahkan di meja resepsionis tadi pagi.     "Semoga kali ini diterima." Bisikku pelan.     Aku segera beranjak. Mengambil baju ganti dan handuk. Sebentar lagi masuk waktu maghrib.     Sekali lagi, langkahku terhenti. Ponselku berdering.     Naufal:     Besok jangan masak nasi! Aku traktir sarapan. Oke? Nggak boleh nolak.     Begitu isi pesannya.     "Haaah…" Aku menghela nafas lagi. Meski begitu, ujung bibirku sedikit tertarik ke atas.     Ya, aku senang. Bukan, bukan senang karena akan makan berdua dengan Naufal. Aku senang karena besok uangku aman. Tidak berkurang untuk membeli makan.     Oke.     Begitu isi pesan yang kukirim pada Naufal.     Kuletakkan sembarangan ponsel butut itu, bergegas ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba…     "Aaaaaaaaaaak!" Suara teriakan dari kamar Kayla menghentikan gerakanku.     Segera kuputar gagang pintu kamarnya. Gerakanku cepat, khawatir terjadi sesuatu dengan tetangga kamar kosku itu.     Pintu terbuka. Pemandangan di dalam kamar Kayla membuatku melongo.     Tidak terjadi apa-apa. Ya, Kayla tidak kenapa-kenapa. Ia sedang duduk di tepi ranjang memegang ponsel barunya. Sisanya normal. Kecuali kardus ponsel dan tas yang berserakan di lantai. Karena biasanya, kamar Kayla selalu bersih, rapih, dan wangi.     Untuk kesekian kalinya. Aku menghela nafas. Kali ini lebih karena merasa lega.     "Hehehe, ngagetin, ya? Maaf…" Katanya dengan tampang bersalah yang diimut-imutkan.     "Kenapa teriak, Kay?" Aku mengatur intonasi suaraku. Sungguh, sebenarnya aku sedikit kesal.     "Besok ada panggilan wawancara!" Wajah Kayla berbinar-binar. Tangannya mengepal, sebelah tangannya tidak. Sibuk memegang ponsel.     "Wah, selamat, ya!" Aku ikut tersenyum. Memberi selamat setulus mungkin.     "Doain besok lancar, ya, Nay?" Kayla sudah mendekat. Wajahnya memelas.     "He'em. Semoga lancar. Semoga lolos terus sampai resmi jadi karyawan di sana." Aku masih tersenyum. Berusaha terlihat setulus mungkin.     "Makasih!"     "Ya udah, aku mandi dulu, ya."     Kayla mengangguk. Segera kututup pintu kamarnya. Dan untuk terakhir kalinya hari ini, aku menghela nafas.     Padahal, ini surat lamaran Kayla yang pertama. Tapi sudah dapat panggilan wawancara?     Hah! Hidup memang nggak pernah adil!   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD