6 - Date?

1242 Words
Sebuah mobil Honda Brio warna merah terparkir di seberang mulut g**g tempat kosku. Sepuluh menit lalu, Naufal menghubungiku. Bilang bahwa ia baru saja keluar dari parkiran kampus 2, langsung menuju tempat kosku. Aku tak menyangka laki-laki itu akan mengendarai mobil hari ini. Kukira motor bebek saja seperti biasa. Tak ayal, jantungku berdegup kencang. Otakku menebak-nebak di mana Naufal akan mengajakku makan. Apakah di tempat mahal? Mengingat Naufal memang orang kaya. Atau di tempat romantis? Tiiin! Pikiranku buyar seketika. Sepertinya Naufal menyadari keberadaanku yang berdiri mematung di mulut g**g. Kaca depan mobil terbuka, menampilkan sosok Naufal yang selalu tampak ramah. "Ayo, sini!" Teriaknya sembari melambaikan tangan. Aku mengangguk, menoleh ke kanan dan ke kiri. Aman, segera menyeberang jalan. "Mau makan di mana kita?" Tanyaku begitu membuka pintu mobil. "Di kantin FK." Jawab Naufal masih dengan tersenyum. "Kirain ke mana sampe bawa mobil segala." Aku berseloroh. "Hahaha, tadi habis nganter kakakku ke kampus pascasarjana. Sekalian aja aku bawa mobilnya." Naufal menjelaskan. Aku ber-oh panjang sambil mengangguk-angguk. Aku tahu kakak Naufal sedang mengambil kuliah S2 di kampus yang sama dengan kami, tapi sekalipun aku tak pernah bertemu dengannya. Ya buat apa juga ia bertemu denganku? Bukan siapa-siapa. Naufal menyalakan mesin. Memperhatikan spion, kemudian menginjak pedal gas pelan. Tangannya lihai memutar setir mobil. Mobil yang membawa kami melaju pelan di jalanan yang tak terlalu lebar. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Naufal mentraktirku makan. Ini juga bukan kedua atau ketiga kalinya. Ia sudah berkali-kali mentraktirku makan. Sejak saat di bangku putih abu-abu hingga kuliah. Kadang iseng saja, tak ada momen apapun. Ketemu di kantin, aku sedang makan sendiri. Ia juga datang seorang diri. Lalu tanpa ba-bi-bu, laki-laki jangkung itu akan duduk di hadapanku dan bilang, 'makananmu udah kubayarin'. Apa aku senang? Bisa iya bisa tidak. Ya senang karena uangku jadi tidak berkurang. Tidak senang karena aku merasa berhutang padanya. Belum lagi gosip di sekitar kami yang menyebar tak terkendali. Tapi karena aku cenderung mendiamkan rumor itu, lama-lama hilang sendiri. Meski kemudian muncul lagi jika Naufal bersikap 'baik' padaku. "Kenapa ke kantin FK, Fal?" Aku bertanya saat mobil berhenti di perempatan lampu merah. Kurang dari 1 kilometer lagi kami akan tiba di kampus 2. "Kamu belum pernah makan di sana, 'kan?" Ia menoleh sekilas padaku. "Iya, sih." Aku menjawab tanggung. "Empat tahun kamu kuliah masa nggak pernah makan di kantin FK? Makanya sekarang kuajakin." Lagi-lagi Naufal tersenyum. Laki-laki ini memang tahu letak pesonanya. Senyumnya benar-benar menawan. "Emang ada yang spesial di sana? Kantin mahasiswa 'kan ya gitu-gitu aja." "Eh, kata siapa?" Naufal menginjak pedal gas. Lampu lalu lintas sudah berubah hijau sedetik lalu. "Kantin FK tuh lebih lengkap dan variatif. Anak-anak FK 'kan terkenal berduit. Jadi isi kantinnya juga beda. Level makanannya itu di atas kantin-kantin fakuktas lain. Enak-enak loh makanannya. Variatif lah pokoknya." Naufal menjelaskan seperti seorang sales mempromosikan produknya. Aku jadi terkikik geli. "Kenapa ketawa?" Ia menatapku sekilas. Wajahnya keheranan. "Kamu kayak sales kantin FK." Masih ada tawa di ujung kalimatku. Naufal tersenyum. Tidak langsung padaku, aku mengintip dari spion yang memantulkan wajahnya. Senyuman yang selalu terlihat berbeda di mataku. Yang kadang-kadang membuatku salah tafsir bahwa ia masih menyimpan rasa padaku. Plak! Sudut hatiku menampar keras. Menyadarkanku dari pesona laki-laki berkulit sawo matang bersih itu. Mobil Naufal sudah memasuki parkiran FK. Parkiran paling luas di kampus 2. Karena yang membawa mobil tak hanya dosennya, tapi juga mahasiswanya. Bahkan tahun lalu ada peringatan untuk mahasiswa yang diperbolehkan membawa mobil hanyalah mahasiswa semester lima ke atas. Karena tempat parkir mobil di FK sudah tidak mampu menampung. Mobil Naufal diparkir rapih bersama jajaran mobil lainnya. Begitu mesin dimatikan, aku segera membuka pintu. Panas terik matahari seketika menghantam. Membuatku memicingkan mata. "Yuk!" Ajak Naufal. Kami berjalan beriringan menuju kantin. *** Benar kata Naufal. Kantin FK ini berbeda dari kantin yang lain. Apalagi kantin FEB. Kantin ini lebih tinggi levelnya. Ruang makannya didesain ala kafe. Ada yang indoor dan outdoor, ada ruang makan private juga. Belum lagi menu makanannya. Mulai dari mie ayam, gado-gado, soto, sampai sushi dan udon ada. Naufal mengajakku duduk di luar. Meja dengan empat kursi yang dinaungi sebuah payung besar. Persis seperti di kafe-kafe. Ini pukul setengah sepuluh, kantin baru buka setengah jam lalu. Mahasiswa belum banyak yang datang. Kursi-kursi baru terisi hampir separuhnya. "Nih!" Naufal menyodorkan daftar menu makanan. Benar-benar variatif sepertinya katanya tadi. Yah, harganya juga sedikit lebih mahal daripada di kantin FEB. Lima menit berlalu, akhirnya aku memutuskan untuk memesan soto ayam saja. Menu yang kira-kira paling familiar di lidahku. Dan juga aku sudah lama sekali tidak makan soto ayam, semoga saja tidak lupa rasanya. "Nggak pengen nyoba yang lain?" Tanya Naufal begitu aku mengatakan pesananku. "Udon, misalnya?" Aku melirik daftar menu. Satu porsi udon paling murah dibanderol dengan harga empat puluh lima ribu rupiah. "No no no. Soto ayam aja." Kataku sembari tersenyum. Tentu saja aku menolak. Makanan apa yang harganya sampai segitu. "Atau sushi?" Naufal masih tak menyerah. "Soto ayam aja." "Atau kebab?" "No. Nggak kenyang. Hahaha." Aku tergelak. "Oke, soto ayam aja." Naufal tersenyum. "Oh ya, minumnya?" "Hm, bebas, deh. Ngikut kamu aja." "Oke." Naufal tersenyum kemdian berlalu. Ia memasuki pintu kaca. Menuju meja pemesanan, berbicara dengan mbak-mbak yang duduk di belakangnya. Aku mengalihkan pandangan, melihat lalu lalang mahasiswa dan kendaraan bermotor. Kafe ini strategis. Letaknya di depan, di samping gedung dekanat, dekat dengan pintu masuk dan tempat parkir. Jadi mudah untuk diakses oleh mahasiswa, dosen, ataupun orang luar. Desainnya yang instagramable dan menunya yang variatif cocok sekali untuk dijadikan tempat nongkrong. Tapi, mungkin mahasiswa FK tidak sesenggang itu sampai akan nongkrong di kantin. Kuliah mereka 'kan banyak praktikumnya. "Hey, ngeliatin apa?" Naufal sudah duduk di hadapanku. "Eh, nggak ada." Aku memperbaiki dudukku. "Minumnya aku pesenin es buah. Di sini es buahnya enak banget. Aku udah beberapa kali beli." "Oke." Aku tersenyum tanggung. Kembali melihat mahasiswa yang lalu lalang. Ternyata beda fakultas, beda juga suasananya. Seperti di FEB, suasana yang bebas itu sangat terasa. Semua orang berdandan sesuka hati asal masih mengikuti aturan kampus. Tapi di sini, rata-rata mahasiswanya berpakaian sopan dan rapih. Bahkan laki-lakinya. Tidak ada tuh mahasiswa yang mengenakan kaos berbalut kemeja yang sengaja dibuka kancingnya. Tidak ada juga sepatu berhak tinggi apalagi tas fashionable dan riasan ala beauty vlogger. Mahasiswa-mahasiswa FK ini berdandan ala kadarnya, tangan mereka menggamit buku-buku tebal, tas mereka pun tampak berat. "Hey, Fal!" Seorang gadis berambut panjang berdiri di dekat meja kami. Menepuk pundak Naufal, dan tersenyum ramah. Aku menelan ludah. Gadis itu cantik sekali. Rambutnya hitam panjang digerai begitu saja, kulitnya putih bersih, matanya bulat, hidungnya mancung, bibirnya berwarna merah muda alami. Tangannya menenteng tas spunbound warna hitam, sepertinya didapat dari acara seminar atau apalah. Di punggungnya tergantung tas ransel warna maroon. "Hey, Tari! Pulang jaga?" Naufal menyalami gadis itu. Mereka tampak akrab sekali. "Iya, nih! Jaga 12 jam. Gila! Capek banget." Gadis itu membulatkan bola matanya. Yang justru membuatnya tampak lebih cantik. Tanpa permisi, ia menarik kursi kosong di sebelah kami. Barulah setelah ia duduk, ia menyadari keberadaanku. "Eh, maaf." Katanya sembari setengah menunduk. "Ikutan duduk, ya?" Bibirnya melengkung. "Iya, silakan." Aku ikut tersenyum. "Tari." Katanya sembari menyodorkan tangan. "Naya." Aku menyambutnya. "Pacarmu, Fal?" Kali ini ia bertanya pada Naufal. "Bukan." Jawabku cepat. "Bukan, tuh, katanya." Naufal menunjukku dengan dagunya. Mulutnya cemberut. "Berarti gebetan, dong?" Tari mengedipkan matanya. "Bisa jadi." Kali ini Naufal menjawab lebih cepat. Bibirnya tersenyum. Senyuman yang sangat sulit kuartikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD