7 - The Bad News

1459 Words
Pesanan kami sudah datang. Semangkok soto ayam, sepiring gado-gado, dan tiga mangkok es buah. Ya, akhirnya Tari memesan es buah. "Nggak pesen makan, Tar?" Naufal bertanya pada Tari. "Enggak. Tadi udah sarapan di rumah sakit. Pengen es buah aja. Kangen bangeeeet…" Tari menatap es buah di hadapannya seolah sedang melepas rindu. "Hahaha, itu 'kan emang kesukaanmu." Naufal mulai menyendok gado-gadonya. Aku melakukan hal yang sama. Tidak berniat ikut terlibat dalam percakapan. Tapi setidaknya aku tahu, sepertinya Naufal sering makan es buah di sini dengan Tari. Entah kenapa ada sudut hatiku yang terasa nyeri. Satu suap soto ayam masuk ke mulutku. Luar biasa! Ini enak banget! Atau aku saja yang sudah terlalu lama tidak makan soto ayam? Entahlah. Yang pasti rasa soto ayam ini mampu membuatku melupakan rasa nyeri yang mendadak kurasakan tadi di hatiku. Sepuluh menit berlalu. Soto ayamku habis. Kini aku berpindah ke mangkok es buah. Selama sepuluh menit itu pula Naufal dan Tari mengobrol akrab. Sesekali aku terlibat, tapi lebih banyak tidak. Aku jadi tahu seberapa dekat mereka. Mereka bahkan terlihat serasi saat bersama. Yang satu tampan, satu lagi cantik. Aku jadi seperti obat nyamuk. "Aku pamit, ya? Makasih udah dibolehin gabung." Tari tersenyum manis padaku. Eh, aku baru sadar ada lesung pipi di pipi kirinya. "Iya, sama-sama." Aku ikut tersenyum. Tentu saja tidak semanis senyum Tari. "Dah…" Gadis cantik itu melambaikan tangan. Berlalu dari hadapan kami. "Tari itu temen satu kelompok dulu banget waktu ospek. Nyambung banget kalo ngobrol, jadi akrab sampe sekarang." Naufal menjelaskan. Padahal aku tidak bertanya. "He'em." Jawabku singkat. Aku fokus menyuap sesendok penuh es buah. Es buah ini benar-benar nikmat. Rasa buah yang beragam, manisnya pas, dilengkapi dengan kental manis, wah luar biasa! "Kamu… cemburu, Nay?" Uhuk! Uhuk! Apa?! Aku menggeleng tegas. "Enggak lah! Mana mungkin." Wajahku panas. Sepertinya pipiku memerah. Naufal tersenyum. Lagi-lagi senyum yang sulit kuartikan. "Habis ini mau ke mana?" Ia mengubah topik begitu saja. "Pulang ke kos." "Di kos ngapain?" "Hm? Mungkin ngurusin jualan online." Jawabku asal. Aku benar-benar tidak punya ide. "Mau jalan-jalan sama aku? Mumpung aku bawa mobil." Naufal cengengesan. "Enggak. Nggak usah." Jawabku cepat. Drrrt… drrrt… Ponselku bergetar. Dahiku mengernyit begitu melihat nomor asing yang menelponku. "Siapa, Nay?" Naufal menyadari ekspresiku. Aku menggeleng. Menunjukkan layar ponselku. "Angkat aja." Sarannya kemudian. Aku menggeser ke atas ikon telepon berwarna hijau. Menempelkan ponsel ke telinga. Menunggu seseorang di seberang sana bersuara lebih dulu. "Halo?" Suara laki-laki. Aku masih diam. Menelan ludah. "Halo? Naya?" Deg! Siapa? Aku penasaran, tapi sekali lagi memilih diam. "Naya? Kanaya? Ini bener nomer kamu, Nduk?" Suara itu terus memanggil namaku. "Kenapa?" Naufal berbisik. Mungkin ia melihat ekspresi terkejutku. Aku tak merespon pertanyaan Naufal. Sekali lagi menelan ludah. "Ha-halo?" Akhirnya aku bersuara. Laki-laki di seberang telepon terdengar menghela nafas. "Ini betul Kanaya?" "Ini siapa?" Aku mengabaikan pertanyaannya, balik bertanya. "Om Dito. Ini Om Dito, Nduk." Om Dito? Aku samar-samar memiliki ingatan tentang namanya. Tapi agak tidak percaya juga dengan ingatanku. "Om Dito, adiknya ibu, Nduk. Masih ingat?" Ingatanku benar! "A-ada apa, Om?" "Ibu, Nduk. Ibu meninggal." Suara Om Dito mulai terisak. "Ibu meninggal di rumah sakit barusan. Stroke, Nduk." Jder! Seperti tersambar petir, tubuhku menegang. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mulai bercucuran. Pun air mataku. Tanpa menunggu perintah dariku sudah menetes deras. Ponsel di tanganku meluncur jatuh. Prang! *** Ibuku, wanita yang melahirkanku, wanita yang sudah sepuluh tahun terakhir tidak pernah aku tahu kabarnya itu tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia. Om Dito memberitahu sebuah alamat padaku, memintaku datang. Pemakaman ibuku akan tetap menunggu kedatanganku hingga sore ini. Tapi kata Om Dito, jika aku memang enggan datang, tak apa. Maka terpaksa jasad ibu akan dikebumikan tanpa kehadiranku. Setelah kesadaranku pulih, aku bergegas kembali ke kos. Masih dengan menangis dan gemetar. Aku tak punya banyak waktu. Begitu tiba di kamar kos, segera saja aku mengemasi barang-barang untuk kemudian bertolak ke sebuah kota kecil di ujung Jawa Timur. Tempat terakhir jasad ibuku akan dimakamkan. "Naya kenapa?" Kayla berdiri di depan pintu kamarku. Pakaiannya sudah rapi, sudah siap berangkat wawancara pekerjaan. "Ibuku… meninggal." Suaraku parau. Air mataku masih deras mengalir. Tanganku gemetar memasukkan pakaian ke dalam tas. Bruk! Kayla berhambur memelukku. Tasnya sudah jatuh di lantai, isinya berserakan. Gadis itu ikut menangis. Terisak. Ia tak mengatakan apa-apa, tak bertanya apapun. Tapi belaian tangannya di punggungku, entah kenapa, terasa menenangkan. Tangisku semakin menjadi-jadi. Bukan lagi terisak, kini aku meraung. Berteriak tertahan dengan suaraku yang parau. Hatiku sakit, sakit sekali. Tanpa sadar aku menyurukkan kepala ke pelukan Kayla. Aku butuh seseorang untuk bersandar saat ini. Kami bertangisan. Setidaknya untuk beberapa menit ke depan. Hingga akhirnya aku merenggangkan pelukan. "Doamu terkabul, Kay." Ucapku dengan senyum dipaksakan. Aku bercanda. "Huhuhu, maafin, Nay." Kayla menangis lagi. Aku terkekeh pelan. "Jangan nangis! Mau berangkat wawancara, 'kan?" Kayla mengangguk lemah. "Sudah, sana berangkat! Sebentar lagi aku juga berangkat." "Eh, ke mana?" Kayla sudah berhenti menangis. Ia mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. "Ke tempat ibuku dimakamkan." Aku tersenyum. Memberi tanda bahwa kali ini aku benar-benar baik-baik saja. "Naik apa?" "Hm…" Aku menimbang, perlu memberitahu Kayla atau tidak. "Naik mobil, diantar Naufal." Akhirnya kuberitahu juga. Ya, tadi setelah dengan terbata-bata aku mengatakan berita duka itu, Naufal seketika menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menolak, tapi Naufal memaksa. Katanya, ia khawatir jika aku pergi sendiri. Lagipula, kota yang akan kudatangi belum pernah kukunjungi sebelumnya. Sedang Naufal sudah pernah beberapa kali ke sana untuk berlibur. Kayla sudah pergi setelah memperbaiki riasannya. Ia minta maaf tidak bisa menemaniku, ia juga mendoakan kebaikan untuk ibuku. Aku mengangguk, berterima kasih. Tak banyak yang kubawa, hanya tas ransel berisi beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya. Ah, layar ponselku retak. Tapi untungnya masih bisa menyala. Memang tangguh ponsel butut ini. "Sudah siap?" Naufal meneleponku. "Sudah." Jawabku singkat. "Aku tunggu di depan g**g, ya?" "Oke. Makasih, ya, Fal." Ucapku tulus. "Ini bukan apa-apa, Nay." Aku tahu di seberang sana ia sedang tersenyum. *** Setiap kali melakukan perjalanan, aku paling suka melihat pemandangan di luar jendela. Pepohonan yang ditanam di pinggir jalan untuk membantu menurunkan suhu udara, seolah berlari menjauhi kendaraan yang kunaiki. Hamparan persawahan yang hijau seolah memanjakan mata. Menyejukkannya setelah lelah bekerja. Tapi kali ini, itu semua tidak kunikmati. Aku memang memandang ke luar jendela. Tapi pikiranku melayang jauh ke masa sepuluh tahun silam. Saat tanganku masih mampu menyentuh kulit bersih ibuku, saat rambut pendekku kala itu selalu ia sisir rapih sebelum berangkat sekolah, saat senyum manisnya selalu mampu menjadi pelipur laraku, saat kedua orang tuaku menjadi sosok pertama yang kulihat setiap bangun tidur. Saat semuanya terasa indah dan manis. "Tidur, Nay?" Naufal menoleh sekilas. Kemudian kembaki fokus menyetir. "Enggak." Aku memperbaiki dudukku. "Tidur aja, aku nggak apa-apa." Ia tersenyum. Tapi kali ini sama sekali tak membuatku terpesona. "Nggak apa-apa, aku nggak ngantuk." Hening sesaat. Aku teringat kejadian empat tahun silam, saat Naufal juga menjadi orang pertama yang menghiburku di hari kematian ayahku. Aku jadi malu, selalu merepotkannya. "Maaf, ya, Fal." Suaraku bergetar. Tenggorakanku tercekat "Untuk?" "Merepotkanmu." Aku terisak. Kedua tanganku menutup wajahku yang mulai berair. "Hey, hey. Aku sama sekali nggak merasa direpotkan." Bahuku berguncang demi menahan isak tangis yang semakin menjadi. "Empat tahun lalu…" Suaraku serak. "Kamu juga aku repotkan." Mobil memelan, kemudian sempurna berhenti. Naufal menyentuh tanganku. Berusaha menurunkannya. Aku menurut. "Nay…" Suaranya lembut memanggil namaku. Perlahan kuangkat wajahku. Malu sebenarnya menunjukkan wajahku yang sedang menangis. Tapi entah kenapa, aku menurut saja. Kedua bola mata Naufal menatapku dalam. Warna irisnya yang cokelat tua bisa kulihat dengan jelas. Sorot matanya begitu menenangkan dan hangat. Seolah mampu membuat segala kesedihanku sirna hanya dengan menatapnya. "Nay…" Suaranya masih lembut. "Hm?" "Aku nggak tahu kenapa kamu selalu merasa lebih rendah dari orang lain…" Kalimatnya menggantung. Mungkin menunggu jawaban dariku, tapi aku tak berniat menjawab. Kenyataannya begitu, levelku memang lebih rendah dari orang kebanyakan. "Kamu, sama seperti yang lain, Nay. Kamu boleh minta bantuan orang lain, kamu boleh menerima kasih sayang dari orang lain. Meski orang itu bukan orang yang punya hubungan darah denganmu." Aku membalas tatapan Naufal. Kali ini, ada sorot kesedihan di sana. Laki-laki itu menghela nafas. Tubuhnya mundur perlahan. "Nggak semua orang di dunia ini tuh jahat, Nay. Nggak semua orang di dunia ini tuh punya maksud terselubung setiap kali berbuat baik padamu." Naufal tak lagi menatapku. Matanya menyorot jalanan yang cukup ramai di siang hari. Aku masih bungkam. Tangisku sudah sejak tadi berhenti. "Kalau kamu merasa perlu membalas setiap kebaikan orang lain padamu, setidaknya berhenti berprasangka buruk pada mereka. Yang lebih menyakitkan dari penolakan atas niat baik seseorang itu adalah prasangka buruk, Nay." Aku menelan ludah. Jelas aku mendengar nada kecewa di suara Naufal. "Maaf…" Suaraku pelan. Hampir tak terdengar. Naufal menghela nafas pelan. Tangannya kembali memegang kemudi, kakinya menginjak pedal gas. Mobil Honda Brio merah milik kakak Naufal ini kembali membelah jalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD