8 - The Funeral

1277 Words
"Nay, habis ini kita masuk kota. Kamu nggak telepon om yang tadi telepon kamu?" "Oh, iya. Sebentar…" Aku mengaduk isi tasku. Menemukan ponsel butut yang layarnya retak sebagian. Memilih nomor panggilan terakhir. Tuuut… tuuut… "Halo?" Suara Om Dito terdengar serak. "Halo, Om. Ini Naya." "Ya, Nduk? Kenapa?" "Sebentar lagi Naya masuk kota, Naya harus nunggu di mana?" "Oh, sudah mau masuk kota?" Kali ini suaranya terdengar senang. "Tunggu di terminal aja. Nanti Om jemput." "Oh, iya, Om." Aku hanya mengiyakan. Lupa menanyakan ke mana arah menuju terminal. "Ya sudah, Om tutup dulu. Pemakaman akan menunggumu, Nduk. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Sambungan telepon terputus. "Gimana, Nay?" Naufal bertanya. Matanya fokus menatap ke depan. "Disuruh tunggu di terminal. Tapi aku lupa nggak tanya arah ke terminal. Maaf." Aku menunduk. Merasa bersalah. "Hm…" Naufal celingukan. "Ah, itu!" Serunya kemudian. Sebuah papan petunjuk jalan dengan tulisan 'terminal' dan tanda panah ke kiri tergantung di atas tiang tepi jalan. Naufal segera memutar setir ke kiri. Memasuki jalanan beraspal yang lebih sempit. Suasana perjalanan seketika berubah. Kali ini rumah-rumah warga dan pertokoan tampak tak terlalu rapat. Bangunan-bangunan memiliki tinggi yang hampir sama, tak ada bangunan yang tinggi menjulang. Kawasan pertokoan pun tampak ala kadarnya. Lalu lalang warga di tepi jalan ramai terlihat. Naufal terus menyetir, mengikut arah petunjuk jalan. Sepuluh menit berjalan, Naufal memutar setir ke kanan. Kali ini memasukk kawasan pertokoan yang terlihat lebih ramai dan padat. Meski begitu, jalannya masih sama sempitnya. Di ujung jalan, bis dan angkutan umum terlihat berjajar menunggu penumpang. Pintu masuk terminal pasti ada di sekitar sana. Drrrt… drrrt… Ponselku bergetar. Om Dito. "Halo, Om?" "Sudah di mana?" Suaranya tak terlalu jelas, tertutup suara kendaraan bermotor dan klakson yang bersahutan. "Sebentar lagi sampai terminal." Aku melirik Naufal. Ia memelankan laju mobil. "Om, sudah di depan pintu masuk terminal. Ya sudah, Om tunggu, ya?" "Iya, Om." Sambungan telepon terputus. "Kita berhenti di depan pintu masuk terminal." Ujarku pada Naufal. Ia memelankan laju mobilnya. Sekitar dua ratus meter lagi kami tiba di seberan pintu masuk terminal. Drrrt… drrrt… Om Dito mengirim pesan, mengabari bahwa ia menunggu di depan minimarket di seberang pintu masuk terminal. Mengenakan jaket kulit warna hitam. Mobil Naufal berhenti tepat di depan minimarket. Aku celingukan. Itu dia! Om Dito duduk di atas motor bebek warna merah-hitam. Matanya mencari-cari, mungkin mencari kami. Aku turun dari mobil, menghampiri adik kedua ibuku itu. "Om…" Sapaku begitu sudah dekat. "Oh, Naya?" Mata Om Dito membulat. Wajahnya tak banyak berubah. Masih sama seperti yang kuingat terakhir kali bertemu. Sepuluh tahun lalu. Di Makassar, Sulawesi. "Iya, Om." Tiba-tiba, mata Om Dito berkaca-kaca. Ia menatapku lamat-lamat. "Kenapa, Om?" "Kamu sudah besar, Nduk." Ia menyusut hidungnya. "Ayo, naik!" Katanya sembari menepuk boncengan motor. "Eh, Naya sama temen. Naik mobil." Aku menunjuk mobil Naufal yang terparkir tak jauh dari tempat Om Dito menunggu. "Kalau gitu Om jalan duluan. Kalian ngikutin Om dari belakang. Dekat, kok, dari sini" Om Dito tersenyum. Bersiap mengenakan helm. "Oke, Om." Aku berbalik, kembali ke mobil. Mengatakan instruksi yang disampaikan Om Dito tadi pada Naufal. Motor Om Dito dan mobil Naufal melaju beriringan. *** Pukul empat sore kami tiba di kediaman adik pertama ibuku. Aku mengenalnya sebagai Tante Lisa. Aku ingat, aku pernah beberapa kali mengunjungi bahkan menginap di rumah Tante Lisa. Kejadian itu sudah belasan tahun lalu. Tapi rumah Tante Lisa tak banyak berubah. Membuatku mengingat kembali memori kala itu. Begitu aku tiba di rumah Tante Lisa, perempuan berusia empat puluhan itu berhambur memelukku. Membuatku terkejut. Tante Lisa hanya diam memelukku, sambil menangis tersedu-sedu. Tak ayal, setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Lagi. Disusul puluhan bahkan ratusan tetes berikutnya. Suasana duka semakin pekat menggantung di langit-langit rumah ini. "Maaf, Nduk." Tante Lisa melepas pelukan. Mengusap pipinya yang basah. "Maafin Tante. Maafin ibumu juga, ya?" Wanita yang mirip dengan ibuku itu menatapku dalam. Sorot kesedihan sangat kental di sana. Aku mengusap pipiku kasar. Mengangguk, meski tak mengerti maksud ucapannya. Tante Lisa membimbingku masuk. Semua orang di ruangan itu menatapku. Sebagian aku mengenalnya, tapi lebih banyak tidak. Di tengah ruangan, sebuah keranda mayat terbuka seluruhnya. Di dalamnya, sesosok jasad terbaring kaku. Mendadak tungkaiku lunglai. Aku terduduk. Jantungku berdetak cepat. Itu pasti jasad ibuku. Tanganku bergetar, bibirku kelu, air mataku kembali deras mengalir. Aku menatap nanar jasad itu. Memori kematian ayahku empat tahun lalu terulang kembali. Tapi kali ini, ada satu perasaan lain yang ikut membuncah. Membuat dadaku terasa lebih sesak dan nyeri. Aku terisak, tersedu-sedu. Wanita yang tak pernah kutemui selama sepuluh tahun terakhir itu, sungguh, aku merindukannya. Sangat rindu. Tapi bukan pertemuan seperti ini yang kurindukan. "Nduk…" Tante Lisa menyentuh lenganku. Aku menoleh dengan wajah bersimbah air mata. Tante Lisa mengangguk, membimbingku lebih mendekat ke keranda. Aku mengangguk. Berjalan menggunakan lututku hingga tiba di tepi keranda. Jasad itu sudah kaku, tertutup kain kafan putih. Tidak seluruhnya, wajah ibuku masih tampak. Wajah itu seputih kapas. Matanya terpejam. Hidungnya yang mancung masih sama, bibirnya yang merah muda alami sudah berubah pucat. Ibuku, jasad ini benat-benar ibuku! Ibuku yang kulihat terakhir kali dari geladak kapal, sepuluh tahun lalu. Melambaikan tangan melepas kepergianku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas saat itu, entah ia menangis entah tidak. Entah ia tahu atau tidak, bahwa hari itu adalah terakhir kalinya kami bertemu. Entah, kala itu aku pun tak tahu. Tanganku bergetar, kupaksakan menyentuhnya. Kain kafan itu dingin, wajah ibuku lebih dingin lagi, kesedihan seketika menusuk hatiku. Aku tergugu. Tersungkur di atas tubuh ibuku yang sudah tak bernyawa. Isakanku bergema ke seluruh ruangan. Menambah duka suasana sore itu. "Ibu… ibu…" Aku berbisik pilu. Suaraku serak. "Ibu… Naya kangen." *** Awan mendung bergerak cepat. Menutupi langit biru di atas kota ini. Hari semakin sore, maka pemakaman dipercepat. Khawatir hujan. Tanah di pemakaman sudah selesai digali. Penutup keranda dipasang sempurna. Sekaligus kain hijau bertuliskan kalimat tahlil. Sholat jenazah juga sudah dilaksanakan secara berjamaah siang tadi. Aku dan Naufal menyolatkannya sesaat sebelum keranda dibawa. Ya, Naufal meminta izin untuk ikut menyolatkan ibuku. Lokasi pemakaman tak jauh dari rumah Tante Lisa. Sekitar seratus meter saja. Aku berjalan bersama iring-iringan rombongan lainnya. Tante Lisa masih menggamit lenganku. Wanita itu terus menyusut hidungnya. Tangisnya belum sempurna berhenti. Aku? Sama saja. Mataku panas. Dadaku terlalu sesak. Bayangan-bayangan ibuku saat masih hidup dulu terus berkelebat. Dan baru kusadari, betapa sedikitnya memori yang kumiliki tentangnya. Tiba di pemakaman, tiga orang laki-laki termasuk Om Dito turun ke liang kubur. Keranda dibuka. Tubuh kaku ibuku dipindahkan perlahan, diterima dengan baik oleh tiga orang yang menunggu di bawah. Sekali lagi diturunkan dengan perlahan. Ditelakkan persis di pojok liang lahat. Tiga buah bulatan tanah dijadikan penyangga tubuhnya. Aku tak kuasa menahan tangis. Sekali lagi, aku terisak. Tante Lisa mengelus lenganku lembut. Tiga orang yang turun ke liang lahat tadi mulai menyusun papan kayu menutupi tubuh ibuku. Perlahan, tubuh itu hilang dari pandangan. Hanya jajaran papan kayu yang terlihat. Menjelang matahari terbenam, pemakaman selesai. Salah seorang tokoh agama membacakan doa. Kami mengamini. "Masih mau di sini, Nduk?" Tante Lisa bertanya. Sebagian orang yang tadi mengikuti proses pemakaman sudah kembali pulang. Sebentar matahari sempurna tenggelam. Aku menggeleng. Apa yang bisa kulakukan di dekat makam ibuku? Mendoakannya? Aku bisa mendoakannya dari mana saja. Doa tidak terikat tempat. Menangis? Ya, aku bisa menangis sepanjang malam. Menyesali banyak hal, bahkan marah akan banyak hal. Menuntut Tuhan mengapa aku yang dipilih mengalami semua penderitaan ini. Tapi itu semua sia-sia, aku tidak butuh itu. Aku sudah melakukannya sejak hari pertama orang tuaku meninggalkanku seorang diri. Sepuluh tahun lalu. Kini, aku hanya ingin istirahat. Merehatkan badan dan pikiran. Karena hidupku masih harus terus berlanjut. Tante Lisa kembali membimbingku. Meninggalkan pemakaman, meninggalkan tubuh ibuku di bawah sana. Gundukan tanah basah itu kini sendirian, persis saat matahari kembali ke peraduan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD