Aku baru pulang sekolah saat itu. Kelas lima sekolah dasar. Langsung menuju toko. Karena biasanya ibu ada di sana. Menjaga toko sampai sore. Lalu pulang untuk masak makan malam.
Biasanya ibuku akan menyambut kedatanganku, mencium pipiku, memelukku hangat. Tapi, itu tidak terjadi siang itu.
Saat aku datang, ibuku sedang duduk di depan telepon. Tangannya masih menggenggam gagang telepon. Wajah ibuku pucat pasi.
"Bu…" Aku mendekat dengan perlahan.
"Eh, anak ibu sudah pulang? Sini, Sayang." Ibu meletakkan gagang telepon kemudian merengkuhku. Membelai rambutku yang kusam karena seharian terkena panas.
"Ibu kenapa?" Aku bertanya setelah pelukan kami lepas.
"Nggak apa-apa, Sayang." Ia tersenyum. Manis seperti biasa.
Aku memperhatikan kedua bola matanya di balik kacamata minus. Ada yang berbeda di sana. Tapi, aku tak tahu itu apa. Wajahnya masih pucat, tapi sudah tidak sepucat tadi.
"Ibu sakit?"
Ia menggeleng tegas. "Enggak." Katanya sembari tersenyum.
Syukurlah. Maka aku bergegas berganti pakaian. Di toko kami ada satu ruangan yang disekat menggunakan papan kayu. Di dalamnya ada kasur, bantal, dan radio butut. Biasanya ibu akan beristirahat di sini jika lelah. Tempat ini juga sering aku jadikan tempat istirahat sepulang sekolah. Tapi hari ini aku mau main.
Persis setelah aku berganti pakain, ayah datang. Wajahnya sama pucatnya dengan ibu saat aku pertama datang tadi. Penampilan ayahku berantakan. Kemejanya kusut, rambutnya semrawut, keringat bercucuran di dahinya.
"Bu, Ayah akan lapor polisi." Suara ayah bergetar.
Polisi? Siapa yang dilaporkan?
Seketika aku bergidik ngeri. Ada apa ayahku berurusan dengan polisi?
"Ssst… ayah. Jangan keras-keras. Ada Naya." Suara ibu berbisik, tapi aku masih bisa mendengar.
Apa? Ada sesuatu yang disembunyikan dariku?
"Nayaaa…" Suara teriakan dari luar toko membuyarkan kengerian di benakku.
"Naya, ada yang nyari tuh." Ibu memberitahuku. Masih dengan senyum di wajahnya. Seolah penampilan ayah yang berantakan tak berarti baginya.
"Iya. Naya pergi main dulu, ya, Bu." Aku berlari ke luar toko. Bergabung dengan teman-teman sepermainanku. Mereka bukan teman-teman yang satu sekolah denganku. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di sekitar sini. Usianya hampir seusiaku, karenanya kami mudah dekat.
Waktu itu, mudah saja buatku melupakan segala kejadian aneh di toko. Melupakan wajah panik ayahku, pun wajah pucat ibuku. Melupakan persoalan lapor polisi itu. Aku tidak tahu, hari itu adalah awal dari segala bencana yang terjadi di keluargaku. Awal dari semua penderitaan yang akan kualami dan akhir dari segala indahnya masa kanak-kanakku.
***
Saat itu sekitar dini hari. Petir di luar menyambar-nyambar. Membentuk bayangan mengerikan. Hujan deras mengguyur entah sejak kapan. Tempiasnya membentuk embun di kaca jendela. Ibuku masih tertidur. Aku terbangun dengan posisi meringkuk di sebelahnya.
Aku beranjak, duduk di tepi tempat tidur. Mengintip ke kasur di ruang tengah. Ayah tak ada. Aku turun dari tempat tidur. Berjalan hati-hati ke belakang. Saat melewati kamar belakang, aku mengintip ke dalamnya. Ayah juga tak ada. Ini jam berapa? Kenapa ayah belum pulang?
Aku terus berjalan ke belakang, ke kamar mandi. Menunaikan hajat. Di dalam kamar mandi suara guyuran hujan terdengar lebih jelas. Keras sekali, ditambah angin yang menderu-deru. Mengerikan. Saat petir menyambar, kotoran di jendela yang diterpa cahaya petir membentuk bayangan menakutkan. Membuatku bergegas menyudahi keperluanku.
Begitu hajat selesai kutunaikan, segera aku keluar kamar mandi. Setengah berlari aku kembali ke kamar.
Brak!
Pintu depan terbuka. Suara gebrakannya membangunkan ibu. Aku bergidik melihat sosok tinggi besar berdiri di ambang pintu. Ibu berlari ke luar kamar. Menyalakan lampu.
Ayah?
Ayahku berdiri di sana. Dengan jas hujan yang menyelimuti tubuhnya. Air hujan menetes dari ujung-ujung bajunya. Ia melepas jas hujan segera. Meletakkannya di teras. Ibu yang mengetahui kedatangan ayahku segera bergegas mengambil handuk. Mengelap sisa-sisa air hujan dari rambut, wajah, dan beberapa bagian tubuh lainnya.
Ayah sudah masuk ke dalam rumah. Duduk di kursi kayu. Wajahnya kuyu, pucat, dan lelah. Aku mendekat perlahan.
"Ayah dari mana?"
Ayahku tersentak. Mungkin baru menyadari bahwa sedari tadi aku sudah terbangun.
"Kok bangun, Nay?"
"Tadi ke kamar mandi." Jawabku pelan. Aku memegang pegangan kursi kayu. Berdiri di dekat ayahku. "Ayah dari mana?"
"Hm… ada urusan." Ia tersenyum. Senyum yang aneh. "Naya tidur lagi aja. Ini masih jam dua loh."
Aku mengangguk. Kembali ke tempat tidur. Sebenarnya aku penasaran apa yang terjadi. Tapi rasa kantuk mengalahkan rasa penasaranku.
Subuh hari aku dibangunkan ibu seperti biasa. Ayah yang datang dalam keadaan basah kuyup semalam seolah tak pernah terjadi. Ibu tersenyum seperti biasa. Menyiapkan sarapan dan seragam sekolahku. Ayah pun begitu. Wajahnya yang pucat dan kuyu semalam seolah sirna ditelan waktu. Ia kembali menjadi sosok yang humoris dan menyenangkan. Sarapan pagi ini dengan nasi goreng, telur dadar, dan khusus untukku segelas s**u.
Bedanya pagi ini dengan pagi sebelum-sebelumnya adalah, ibu tidak ikut mengantarku. Biasanya, setiap pagi kami akan berangkat bersama. Bertiga mengendarai sepeda motor peninggalan kakek dari ayahku. Ibu akan diturunkan di toko, mulai membuka toko hingga sore hari. Sementara ayah dan aku terus melaju hingga ke sekolahku.
Aku tidak bersekolah di sekolah yang ada di dekat rumah. Aku disekolahkan di sekolah yang ada di Kecamatan. Kata ayah, sekolah itu bagus. Guru-gurunya pintar dan baik, teman-temannya juga menyenangkan. Ya, memang itu yang kurasakan sampai sejauh ini.
Setelah mengantarku pagi itu, ayah bergegas ke kantor. Kantor ayahku juga berada di Kecamatan. Sebuah kantor asuransi swasta.
Hari itu, aku tidak tahu bahwa ayah dan ibuku sedang melewat hari yang sangat berat dan melelahkan.
***
Ini sudah hari ketujuh ibu tidak buka toko. Selama tujuh hari itu juga ayah sering pulang malam. Masuk rumah dengan wajah lelah dan kadang basah kuyup karena hujan deras mengguyur. Aku bertanya-tanya alasannya. Tapi kata ibu, ayah sedang ada urusan penting. Aku hanya diminta mendoakan semoga urusan ayah dan ibu berjalan lancar tanpa kendala.
Hari ini hari Minggu, biasanya aku akan menghabiskan waktu di rumah. Menonton acara televisi favorit. Tapi sejak subuh tadi ibu sudah mengajakku untuk berkunjung ke toko. Bukan untuk membuka toko melainkan untuk bersih-bersih.
“Siang aja bersih-bersih tokonya gimana, Bu?” Aku mencoba menawar saat sarapan. Sarapan hari ini sederhana saja. Nasi, telur dadar, dan kecap. Untuk ayah dan ibuku ada tambahan lauk tahu goreng dan sambal kecap. Untukku itu sudah sangat spesial.
“Nggak bisa, Nduk. Nanti kepanasan di jalan. Mending pagi aja, siang sudah bisa pulang. Naya bisa langsung istirahat.” Begitu kata ibuku. Ia menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya.
Aku cemberut. Acara televisi favoritku terancam tidak bisa kutonton.
“Nonton tivi-nya kan bisa minggu depan lagi. Nggak apa-apa, ya?” Ibu coba membujukku.
“Kenapa Ibu nggak bersih-bersih sama Ayah aja?” Entah kenapa aku melontarkan ide buruk itu.
“Ayah harus pergi, ada urusan. Ibu sama Naya aja bersih-bersih toko, ya?” Ibu tersenyum. Masih tetap merayuku. “Kalau urusan Ayah hari ini lancar, besok Ibu bisa buka toko. Sepulang sekolah Naya bisa main ke toko, main sama anak-anak tetangga di sana.” Rupanya ibuku tak kehabisan ide.
“Hm… ya sudah, deh.” Meski mengiyakan, aku tetap memasang wajah cemberut. Pura-pura lemas menyendok nasi dan lauk.
Ibu tersenyum, mengusap rambutku lembut.
Selepas sarapan, semua orang bersiap-siap. Ibu dan aku sudah mandi dan berpakaian rapi. Sementara ayah baru saja keluar dari kamar mandi. Tidak menyapaku yang sedang menonton acara televisi pagi, langsung menuju kamar yang letaknya bersebalahan dengan ruang tengah.
Dinding penyekat ruangan-ruangan di rumahku tidak terbuat dari batu bata dan semen. Melainkan hanya selembar triplek yang disangga oleh kayu di bagian bawahnya agar tetap bisa berdiri. Iya, triplek tipis yang bisa patah dengan sekali hantam. Saking tipisnya, kadang-kadang aku bisa mendengar percakapan ayah dan ibu dari dalam kamar. Seperti pagi ini, aku bisa mendengar suara ayah dan ibuku dari ruang tengah yang sepertinya sedang membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi belakangan ini.
“Ayah yakin mau coba pinjam ke saudara?” Suara ibuku berbisik, tapi aku masih bisa mendengar.
“Iya, mau gimana lagi? Modal kita habis. Kalau mau toko jalan, kita harus cari modal.” Suara ayahku juga berbisik. Lagi-lagi aku bisa mendengarnya.
“Apa kata saudara nanti, Yah? Ibu nggak enak.”
“Lalu solusinya apa, Bu?” Suara ayah sedikit meninggi.
“Kita jual barang-barang yang bisa dijual.” Kali ini suara ibu sedikit lebih tegas.
Aku menutup mulut. Mataku terbelalak. Seberapa genting masalahnya? Barang apa yang mau dijual?
Kudengar ayah mendengus. “Ayah coba dulu pinjam sama saudara. Kalau nggak ada yang bisa kasi pinjam, baru kita coba solusi dari Ibu.”
Hening. Tidak ada suara lagi. Sepertinya itu keputusan yang akhirnya diambil dan disepakati ayah dan ibuku.