11 - Book of Memories

1359 Words
Akhirnya aku kembali. Meninggalkan kenangan indah di sebuah kota kecil di ujung Jawa Timur. Ya, aku anggap indah. Karena akhirnya aku bertemu dengan keluargaku. Keluarga yang menganggapku, menghargaiku, memanusiakanku. Aku juga jadi punya saudara baru, Sabrina, adik tiriku. Ya meski sekarang aku belum bisa mengajaknya hidup bersamaku, semoga suatu saat aku bisa. Subuh tadi aku kembali ke tempat rantauku. Tante Lisa membawakan sekotak penuh sambal goreng tempe. Katanya, anak kos 'kan nggak sempat masak. Kalau lapar bisa langsung makan nasi sama sambal goreng tempe. Terima kasih, Tante Lisa. Tante Citra juga membekaliku dengan sekotak nasi, mie, dan telur dadar untuk lauk di perjalanan. Dua kotak, untuk Naufal juga. Kotak bekalnya juga sekalian diberikan padaku. Terima kasih, Tante Citra. Ia juga melepas kepergianku bersama Sabrina di gendongannya yang masih mengantuk. Anak itu memaksa untuk ikut melepas kepergianku. Minta dibangunkan pagi-pagi sekali. Padahal aku sudah bilang, tak mengapa. Tapi ia memaksa. Sudah lama aku tak merasakan hangatnya suasana kekeluargaan begitu. Rasanya senang sekali. Sampai berat hati untuk pergi meninggalkan kota dingin itu. Menjelang tengah hari mobil Naufal baru memasuki kota. Macet di perbatasan. Aku ingin membayar kebaikan Naufal, tapi tidak tahu harus bagaimana. Mobil Naufal berbelok di depan gedung kampus yang panjang dengan taman hijau yang menyejukkan. Mobil ini melaju lambat, melewati jalan yang hanya cukup dilalui dua mobil. "Fal…" "Hm?" Naufal menoleh. Wajah tampannya terlihat lelah. Ajaibnya, ia tetap tersenyum. "Makasih banyak, ya." Aku berusaha tersenyum tulus. Karena aku benar-benar berterima kasih padanya. "Sama-sama." Ia membalas senyumku. "Hm… Kamu mau sambal goreng tempenya sebagian?" Aku menyodorkan kotak sambal goreng tempe yang kuletakkan di pangkuan. "Nggak usah, buat kamu aja." "Beneran? Kamu 'kan juga anak kos." "Nggak usah, beneran. Lagipula aku udah bukan anak kos." Naufal nyengir. "Eh? Kok bisa?" Aku mengangkat alis. Baru tahu. "Hm, orang tuaku pindah ke sini sejak setengah tahun lalu." "Eh, aku baru tahu." "Hehehe, iya. Aku memang nggak cerita ke siapapun." Naufal semakin memelankan laju mobilnya, sebentar lagi kami sampai di depan g**g tempat kosku. "Oh iya, aku merasa harus membalas kebaikanmu, Fal. Bilang aja kalau kamu butuh bantuanku atau apapun, ya? Jangan menolak. Aku nggak enak kalau cuma menerima aja." Aku memasang wajah pura-pura mengancam. "Hahaha, oke." Naufal tergelak. Ia menginjak pedal rem. Mobil berhenti perlahan. Tepat di depan mulut g**g tempat kosku. "Makasih banyak, ya, Fal." Aku tersenyum. Bersiap membuka pintu mobil. "Eh, kayaknya aku udah punya permintaan." "Hm?" Aku menyandarkan punggung kembali. "Besok ada waktu?" "Hm, kayaknya ada. Kenapa?" "Ayo makan malam bareng." Naufal tersenyum. "Aku yang traktir!" Lanjutnya kemudian. "Eh, kenapa kamu yang traktir? Enggak, aku aja." "Ya sudah, oke." Naufal tersenyum. Menyilakanku keluar. "Besok jam berapa?" Aku bertanya sebelum benar-benar meninggalkan mobil. "Besok aku kabari." "Oke." Aku melambaikan tangan. Menyeberang jalan dan meninggalkan mobil Naufal di seberang ujung mulut g**g. Besok malam? Hm… Eh? Besok malam 'kan malam minggu? Aduh, apa ajakan Naufal berarti kencan? Wajahku seketika memerah, jantungku berdegup kencang. Cepat-cepat aku menggeleng. Menepis pikiran-pikiran pembenaran atas perasaanku. Jangan ge-er, Nay! *** Begitu sampai di kamar kos, aku segera mandi dan berganti pakaian. Rasanya segar sekali. Perutku sudah kenyang oleh bekal yang dibawakan Tante Citra tadi. Kayla juga sedang tidak ada di kamarnya. Jadi tidak ada yang perlu aku lakukan selain tidur. Memulihkan tenaga dan menenangkan hati. Sore hari, saat matahari mulai tergelincir ke barat, aku baru bangun. Masih setengah sadar membuka pintu kamar kos. "Nayaaa…" Kayla berhambur memelukku. Aku yang masih belum mengumpulkan seluruh kesadaran seketika tersentak. Tapi kubiarkan saja Kayla melakukannya. "Kapan datang?" Kayla melepaskan pelukannya. "Tadi siang." Aku mengusap wajah. Kesadaranku sudah sepenuhnya kembali. "Gimana?" "Apanya?" Alisku bertaut. Tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Kayla. "Kamu 'kan sudah lama nggak ketemu keluarga ibumu dan… ibumu. Gimana perasaanmu?" "Oh, itu. Seneng." Aku tersenyum. "Tapi banyak kagetnya." "Eh, kenapa?" Mata sipit Kayla membulat. Meski tentu tidak bulat betul. "Hm… ceritanya nanti aja, ya? Aku kebelet. Mau ke kamar mandi. Hehehe." Aku nyengir. Tapi aku beneran kebelet. "Oh, iya. Hehehe. Nanti ke kamar, ya? Aku habis beli kue di outlet punya artis yang baru tuh." "Oke." Aku bergegas. Sudah di ujung. Selepas dari kamar mandi, sholat ashar dan merapikan kamar, aku menepati janji pada Kayla. Main ke kamarnya. Rupanya benar, Kayla membeli kue dari outlet artis yang baru buka beberapa hari kemarin. Sedang ada promo grand opening katanya. Satu kotak ukuran diameter dua pilih senti cuma empat puluh ribu. Harga segitu, buatku tetap mahal. Lebih baik beli gorengan di ujung g**g, lima ribu dapat lima potong besar. Enak, bisa buat lauk makan. Kami bercerita banyak hal, lebih tepatnya Kayla bertanya banyak hal dan aku menjawab sekenanya. Aku tidak terlalu suka menceritakan tentang diriku dan latar belakangku. Tidak ada yang spesial. Dan juga, aku tak terlalu suka ditatap kasihan hanya karena aku seorang yatim piatu. Menjelang maghrib, Kayla mengajak sholat maghrib bersama. Setelahnya aku pamit kembali ke kamar. Mau istirahat. Begitu kataku. Tapi sebenarnya aku belum ingin memejamkan mata. Aku pamit karena aku mau membaca buku peninggalan ibuku. Buku itu cukup tebal, dan satu halaman pun belum aku baca. Aku hanya membaca surat dari ibuku kemarin. Aku merebahkan badan di kasur ukuran single yang disediakan oleh ibu kos saat pertama kali aku menyewa kamar ini. Kasurnya bagus, kasur spring bed. Empuk, tidurku selalu nyenyak. Kecuali jika sedang terjadi sesuatu yang membuat pikiranku kusut. Mimpi buruk itu tidak pernah lupa untuk mampir. Aku mengambil buku bersampul hijau kusam dari dalan tas. Mengambil amplop putih di dalamnya, kemudian menyimpannya baik-baik di lemari. Aku kembali ke buku kusam itu. Mulai membuka halaman pertama buku itu. Kanaya ingat kejadian saat toko kita bangkrut? Itu kalimat pertama yang ditulis ibuku. Aku mengernyit. Apa maksudnya? Kenapa membahas kejadian toko bangkrut? Saat itu aku tidak tahu persis apa yang terjadi, yang aku tahu hanya toko kami tiba-tiba tidak lagi beroperasi. Lalu beberapa waktu kemudian, toko itu sudah menjadi milik orang lain. Aku bertanya pada ayahku apa yang terjadi, tapi ayah hanya bilang bahwa ada orang yang membeli toko kami. Itu saja yang aku tahu. Waktu itu Kanaya belum tahu apa-apa. Tapi toko kita bangkrut karena kesalahan ibu dan ayah. Toko kita saat itu besar, 'kan? Banyak orang yang berbelanja ke toko kita. Karena toko kita lengkap dan murah. Karena itu, ayah memberi usul agar toko kita menjual lebih banyak lagi barang. Salah satunya beras. Ayah dan ibu mencari supplier beras yang bagus dan murah. Supaya bisa dijual dengan harga murah. Singkat cerita, ibu menemukannya. Mereka sepasang suami istri, bukan orang asli kota kita. Mereka perantau. Waktu ayah dan ibu ke rumah mereka, mereka sangat baik dan bisa dipercaya. Stok beras di rumah mereka juga bagus dan banyak. Harga pun bersahabat. Ibu dan ayah pikir, ini supplier yang kita inginkan. Sayangnya, semua tidak berjalan sesuai yang kita inginkan, Nduk. Setelah ayah membayar uang muka dengan nominal yang tidak sedikit, orang itu menghilang. Beras sebanyak 5 kwintal tidak pernah sampai ke toko kita. Nomornya pun mendadak tidak bisa dihubungi. Kita datangi ke rumahnya pun kosong. Tidak ada jejaknya sama sekali. Seolah rumah itu tak pernah ditempati. Bahkan, saat kita tanyakan ke tetangga di sekitar soal nama dua orang itu, tak ada satupun yang mengenal mereka. Ibu lemas sekali ketika itu, Nduk. Bagaimana bisa kita tertipu begini? Uang dua juta melayang begitu saja. Itu modal yang selalu diputar untuk menjalankan toko kita, Nduk. Tapi ayah tidak patah semangat. Ayah mencoba melapor ke polisi. Polisi ikut bergerak, sampai ke asal kota mereka. Tapi hasilnya nihil. Uang dua juta itu raib, Nduk. Aku sedikit mengingat kejadian itu. Saat ayah jadi sering pulang malam, begitu pulang wajahnya kusut sekali. Saat itu, ibu sudah jarang membuka toko. Berhari-hari setelahnya, saat akhirnya ibu membuka toko, barang-barang di toko terlihat semakin sedikit. Aku pikir itu tak masalah, ibu hanya lupa membeli stok barang. Tapi, yang tidak kutahu ternyata ada kasus penipuan di belakangnya. Sejak saat itu, ibu yang selalu ceria menjadi sering melamun dan jarang keluar rumah. Ayah juga begitu, jadi jarang sekali mengajakku bermain. Aku tidak tahu, sama sekali tidak tahu bahwa saat itu orang tuaku sedang kesulitan. Aku menghela nafas. Menatap langit-langit kamar. Pikiranku berkelana ke kejadian saat itu. Kenangan-kenangan kala itu seolah tergambar jelas di langit-langit kamarku yang putih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD