10 - Sabrina

1350 Words
Aku belum menyelesaikan membaca surat itu. Kulipat kembali dan memasukkannya ke amplop. Meletakkan buku usang bersampul hijau itu di bawah bantal. Lalu merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku menghela nafas pelan. Kemarin, aku masih makan soto ayam dengan tenang. Tapi hari ini, sudah berapa liter air mata yang kukeluarkan? Kemarin, aku masih menganggap ibuku sudah tiada. Sama seperti ayahku. Tapi hari ini, anggapan itu menjadi kenyataan. Kemarin, aku masih menganggap diriku seorang diri di dunia ini, tapi hari ini aku mengetahui fakta baru bahwa aku memiliki seorang adik tiri. Aku lelah. Aku ingin tidur, kalau bisa tidak usah bangun lagi. Hidup ini terlalu melelahkan untukku. Persis saat aku hendak memejamkan mata, ketukan di pintu membuatku terperanjat. "Tidur, Nduk?" Suara Tante Lisa. "Enggak, Tante." Aku beranjak. Membuka pintu. "Sabrina datang." Kalimat Tante Lisa singkat, tapi sukses membuat mataku membulat. "Ayo keluar dulu." Aku merapikan pakaianku. Mengekor di belakang Tante Lisa. Ruang tamu rumah Tante Lisa, yang kemarin dipenuhi banyak orang kini sudah kembali normal. Kursi-kursi sudah ditata kembali. Di salah satu kursi itu, seorang anak berusia sekitar enam tahun duduk menunduk. Di sebelahnya, seorang perempuan berusia tiga puluhan tersenyum padaku. Kutebak ia pasti istri Om Dito. "Assalamualaikum, Naya." Wajahnya tersenyum ramah. Tangannya terjulur. "Wa'alaikumsalam." Aku menyambut uluran tangannya. Duduk di salah satu kursi yang kosong. "Naik motor, Cit?" Tante Lisa bertanya. "Iya." Perempuan itu masih tersenyum, mengangguk. "Naya belum kenal Tante, ya? Kenalin, Tante istrinya Om Dito. Panggil aja Tante Citra." "Iya, Tante." Aku mengangguk, tersenyum canggung. "Tadi Mas, eh, Om Dito bilang katanya Naya pengen ketemu Sabrina. Jadi ini habis mandi, makan, langsung ke sini." Tante Citra menoleh ke anak kecil di sebelahnya. "Ayo, sapa Kak Naya." Suaranya lembut. Tangannya mengelus punggung Sabrina. Anak kecil mengangkat kepala. Aku terperangah. "Loh, ibu nikah sama bule?" Aku bertanya tanpa basa-basi. Terlalu terkejut melihat penampilan Sabrina. Rambutnya pendek lurus sebahu, warnanya coklat. Matanya bulat indah, warna iris bola matanya coklat muda, tampak indah jika terkena sinar matahari. Hidungnya mancung, mewarisi hidung ibuku. Bibirnya kemerahan, tipis dan mungil. Kulitnya pucat, lebih pucat dari kulit ibuku. Seingatku. Tante Citra terkekeh pelan. "Enggak. Mas Joko orang jawa. Tapi masa Naya nggak tahu?" "Eh, tahu apa?" Alisku terangkat. Bingung. "Naya nggak tahu kayaknya, Cit." Tante Lisa kembali dari dapur. Membawa dua gelas teh hangat dan setoples kue kering. "Oh, kakek buyutmu itu orang Belanda." Tante Citra menjawab sembari tersenyum. "Sayangnya gen Belandanya itu nggak nurun ke generasi pertama dan kedua. Nurunnya justru ke generasi ketiga, itupun baru terlihat di Sabrina ini. Anak-anak Tante nggak ada yang kebule-bulean. Hahaha." Tante Lisa tergelak di akhir kalimatnya. Aku terbelalak. Mataku mengerjap-ngerjap. Mulutka menganga. Aku baru tahu fakta ini. "Meski begitu, tidak ada untungnya kok punya garis keturunan orang Belanda. Orang Indonesia banyak yang begitu. Negara kita dulu 'kan dijahah Belanda ratusan tahun. Pasti ada saja orang Belanda yang nikah dengan orang Pribumi." Ucap Tante Lisa santai. Ia mencomot kue kering dari dalam toples. Aku berdehem pelan. Malu jika ketahuan sampai menganga begitu. Benar juga kata Tante Lisa. Dosenku juga pernah cerita, ada profesor dari Belanda yang wajahnya khas orang Jawa. Kulit sawo matang, warna iris mata gelap, dan lain-lain. Tapi profesor itu mengaku orang tuanya adalah orang asli Belanda. Itu artinya ia memiliki garis keturunan orang Jawa, hanya saja baru diturunkan ke dirinya. Selebihnya tak ada percakapan serius. Aku mencoba menyapa Sabrina, mengajak mengobrol ringan. Bagaimanapun, ia adik tiriku. Aku harus akrab dengannya. Sabrina anak yang baik, tapi ia tak banyak bicara. Ia hanya bicara ketika ditanya. Mungkin batinnya masih terguncang oleh kematian ibu kami. Atau mungkin ia masih sulit beradaptasi dengan orang baru. Entahlah. Nasib Sabrina hampir sama sepertiku. Ditinggal mati oleh salah satu orang tua dan orang tua yang tersisa tak tahu ada di mana. Bedanya, Sabrina diasuh oleh keluarga yang baik dan menyayanginya. Sementara aku? Ah, sudahlah! Sebelum pulang, Tante Citra berpesan untuk sering-sering menelepon atau memberi kabar. Sabrina akan senang jika mengetahui bahwa ia tak sendirian di dunia ini. Ada kakak tirinya yang juga menyayanginya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Tak berani menjawab. Apakah sekarang aku sudah punya tempat untuk pulang? Tempat bernama keluarga, di bawah naungan rumah yang manis dan hangat. *** "Tadi itu adikmu?" Naufal menemaniku duduk di ruang tamu. Tante Citra dan Sabrina sudah kembali. Aku mengangguk. "Wah, kayak bule, ya? Ayah tirimu bule?" "Bukan. Ternyata kakek buyutku orang Belanda. Gennya baru nurun ke Sabrina." "Oalah, makanya kamu cantik." Ucap Naufal asal ceplos. Pipiku merona. "Nggak usah becanda." Aku pura-pura kesal. Padahal hatiku berbunga-bunga. Hey, perempuan mana sih yang nggak suka dibilang cantik? "Loh, serius!" Naufal menatapku. Wajahnya benar-benar serius. "Udah, ah!" Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Kemudian beranjak. "Mau ke mana?" Naufal mencegah langkahku. "Ke kamar. Mau baca buku yang dikasi Om Dito tadi." "Oh…" Naufal mengangguk-angguk. "Nay…" "Hm?" "Aku keluar dulu, ya? Mau jalan-jalan. Eman udah jauh-jauh ke kota orang tapi nggak jalan-jalan." Naufal cengengesan. "Oke. Bilang Tante Lisa juga, ya? Biar nggak dicariin." "Oke. Kamu nggak ikut?" "Enggak. Aku nggak mood." Aku melambaikan tangan lalu masuk ke kamar. Merebahkan tubuhku di kasur. Mengambil buku usang itu kemudian kembali meneruskan membaca surat dari ibuku. *** Belakangan ini ibu sakit-sakitan. Darah tinggi. Kamu hati-hati, ya, Nduk. Kamu punya keturunan darah tinggi dari ibu. Dijaga pola makan dan istirahatmu. Beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya ibu didagnosa stroke. Sedih sekali rasanya. Karena ibu masih punya tanggung jawab adikmu. Ibu harus membesarkan Sabrina. Ibu takut umur ibu nggak panjang. Ibu takut ibu meninggal sebelum Sabrina bisa mandiri. Ibu nggak menyerah, Nduk. Ibu mencontoh kamu. Kamu nggak menyerah meski harus hidup seorang diri di usia yang masih sangat belia. Jadi ibu tetap melanjutkan berjualan mie ayam. Sabrina selalu membantu ibu. Dia anak yang baik, sama seperti kamu. Aku tersenyum sekaligus sedih. Hari-hari yang dilalui ibuky pasti sangat berat. Ibuku ternyata orang yang sangat kuat. Tidak sepertiku, yang selalu menyalahkan keadaan. Aku melanjutkan membaca surat itu hingga selesai. Isinya hanya seputar penyakit ibuku. Sepertinya surat ini ditulis saat kondisi ibu sudah sangat menurun. Aku membayangkan betapa menderitanya ibu saat itu. Selesai membaca surat, kulipat lagi kertas itu. Memasukkannya ke dalam amplop. Tadinya aku berniat tidur dan mulai membaca lagi buku ini nanti malam. Tapi aku penasaran, apa isinya? Maka kuputuskan untuk membuka-buka bukunya sekilas dan cepat. Wah, buku ini hampir penuh hingga halaman terakhir! Apa yang ditulis ibuku? Maka, kucoba membuka halaman pertama. Kanaya anakku. Setelah bertahun-tahun hidup bersembunyi, hari ini, saat mengetahui kabar tentang meninggalnya ayahmu, ibu mulai menulis buku ini. Meski ibu tak tahu, apakah buku ini akan sampai padamu atau tidak. Nduk, ibu mau kamu tahu kejadian yang sebenarnya saat itu. Ibu mau kamu tidak membenci ayah atau ibu. Ibu dan ayah sama sekali tak ingin meninggalkanmu sendirian. Terlebih ibu, ibu sangat ingin mengajakmu pergi bersama ibu. Tapi keadaan tidak mengizinkan. Sekeras apapun ibu memaksa, sekeras itu pula keadaan menentangnya. Nduk, kalau buku ini bisa sampai padamu, ketahuilah, ibu sangat menyayangimu. Ayahmu pun begitu. Kita hanya tidak bisa melawan keadaan. Ah, atau ibu dan ayah yang terlalu lemah, Nduk? Maafkan ibu. Aku tergugu. Kenapa ibuku tidak mencariku dan memilih menulis buku ini? Kenapa ibuku tak mencoba menghubungiku daripada hanya memantauku lewat media sosial? Kenapa ibu memilih membiarkanku hidup seorang diri? Kenapa buku ini tidak sampai padaku saat ibuku masih ada? Setidaknya, aku juga bisa menunjukkan bahwa aku sangat menyayanginya. *** Pukul tiga sore aku terbangun dengan tubuh gemetar hebat, keringat dingin bercucuran, air mataku tumpah. Aku terisak. Suaraku pilu tertahan. Dadaku sesak, hatiku nyeri. Aku mimpi buruk. Mimpi yang sama dengan mimpi yang kualami beberapa hari lalu. Pun mimpi yang sama ddngan mimpi yang kualami beberapa tahun terakhir. Tubuhku menggigil, aku menarik selimut sembarangan. Menutupi tubuhku. Baju bagian atasku basah oleh keringat. Aku terus terisak. Tangis anak kecil di dalam mimpiku itu sungguh menyayat hati. Seolah merobek-robek hatiku. "Naya kenapa?" Maya masuk kamar dengan wajah kebingungan. Aku menggeleng. Tubuhku terus bergetar, air mataku terus deras mengucur. Suara isakanku semakin menjadi. Maya loncat ke atas kasur. Ia membawa tubuhku ke dalam dekapannya. Pelukannya hangat dan erat. Tiba-tiba, perasaan sedih yang amat pekat buncah begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD